Kuala Lumpur (Antara Kalbar/Reuters) - Hampir sepertiga dari sekitar 350.000 buruh industri elektronik Malaysia--yang merupakan titik krusial rantai suplai konsumen internasional--mengalami kondisi perbudakan modern, demikian penelitian lembaga Verite yang didanai Departemen Ketenagakerjaan Amerika Serikat menyatakan.
Verite menemukan sejumlah pelanggaran hak-hak buruh--terutama terhadap pekerja dari Nepal, Myanmar, dan Indonesia--meluas di sektor yang diperkirakan bernilai 75 milyar dolar AS itu.
Sejumlah perusahaan multinasional asal Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan beroperasi di Malaysia, termasuk di antaranya adalah Samsung Electronics Co Ltd, Sony Corp, Advance Micro Devices (AMD.N), Intel, dan Bosch Ltd.
Malaysia sendiri adalah negara berpendapatan menengah yang sebelumnya dinilai menerapkan standar perburuhan yang lebih baik dibanding negara-negara tetangga seperti Tiongkok.
Verite tidak menyebutkan perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam praktik pelanggaran hak buruh dalam laporannya. Lembaga itu justru menyalahkan kebijakan pemerintah Malaysia yang memberi keleluasaan terhadap perusahaan rekrutmen pekerja untuk menetapkan gaji dan persyaratan lain.
"Penemuan ini menunjukkan bahwa perburuhan paksa terjadi di industri elektronik. Praktik ini bisa dikatakan telah meluas," kata Verite.
Sejumlah perusahaan asal Amerika Serikat yang beroperasi di Malaysia menolak berkomentar sebelum memeriksa laporan Verite. Juru bicara Intel mengatakan bahwa sebagian besar buruh--yang totalnya 8.200--adalah warga negara Malaysia dan tidak menggunakan perusahaan "outsourcing" dalam merekrut pekerja.
Tiga bulan yang lalu, Departemen Ketenagakerjaan Amerika Serikat menurunkan peringkat Malaysia sampai pada level "Tier 3" dalam laporan tahunan Perdagangan Manusia. Laporan itu menunjuk pada kurangnya perlindungan terhadap pekerja asing yang berjumlah sekitar empat juta.
Laporan itu menemukan bahwa 28 persen pekerja mengalami situasi "perburuhan paksa", di mana para pegawai dipaksa untuk bekerja untuk melunasi hutang dari potongan perusahaan "outsourcing."
Bagi pekerja asing angka tersebut naik 32 persen, yang sering kali tertipu mengenai gaji ketika mereka direkrut dari negara asal.
Industri elektronik di Malaysia berkontribusi 33 persen dari keseluruhan ekspor 2013. Sementara pada 2011, investasi asing di sektor itu mencapai 86,5 persen (senilai 2,68 milyar dolar AS) dari keseluruhan investasi.
Malaysia mendapat keuntungan dari reputasi stabilitas pemerintahan dan rendahnya biaya.
Dalam temuan Verite, para pekerja yang disurvei rata-rata harus membayar 925 dolar AS kepada perusahaan perekrut di negara asal dan juga di Malaysia sebagai bayaran atas pengangkatannya.
Karena tidak dapat membayar di muka, lebih dari dua pertiga buruh terpaksa harus meminjam uang ke pihak lain.
Satu dari lima buruh imigran harus bekerja lembur lebih dari 60 jam setiap pekannya.
Penelitian : Praktik Perbudakan Moderen Meluas di Industri Elektronik Malaysia
Rabu, 17 September 2014 14:50 WIB