Salah seorang yang paling berduka menyusul terbakarnya Rumah Betang Sungulok Apalin di Putussibau Utara, Kapuas Hulu pada 13 September, adalah Hermayani Putera, yang pernah empat kali berkunjung ke cagar budaya nusantara tersebut.
"Saya ada 4 kali berkunjung ke sana. Kunjungan pertama sekitar tahun 2001, menginap dan bertemu temenggung yang tinggal di bilik paling ujung," kata Hermayani Putera, Kalimantan Regional Leader WWF Indonesia beberapa waktu lalu.
Rumah Betang Sungulok Apalin berada di Dusun Sungai Uluk Palin, Desa Sungai Uluk Palin, Kecamatan Putussibau Utara, Kabupaten Kapuas Hulu. Rumah betang ini salah satu cagar budaya nusantara. Ditetapkan oleh Kemdikbud RI dengan nomor registrasi KM10/PW.007/MKP/03, bersama sejumlah situs lainnya di Kalbar.
Rumah Betang Panjang ini milik masyarakat suku Dayak Embaloh. Rumah memiliki luas bangunan 3.424 meter persegi. Rumah yang dapat menampung ratusan kepala keluarga itu pada Sabtu (13/9) malam sekitar pukul 23.00 WIB, musnah dilalap api.
Tak ada yang tersisa lagi dari situs bersejarah itu. Menurut Hermayani, rumah tersebut banyak menyimpan tempayan antik berumur ratusan tahun. Serta produk seni bernilai sejarah lainnya.
"Jadi saya dapat merasakan betapa kehilangannya. Dan saat tahu rumah Betang terbakar, tentu membuat saya terkejut," kata Hermayani.
Hermayani memiliki kenangan khusus dengan Rumah Betang "Sungulok Palin". Kenangan itu ketika tahun-tahun pertama bergabung di LSM internasional WWF. Ia bergabung di WWF sejak 1999. Kunjungan pertama ke rumah betang, ketika menjadi manajer program pada tahun 2001.
Kunjungan berikutnya berulang hingga tiga kali, yakni ketika ia menjadi Project Leader WWF Betung Kerihun 2003-2006, Safe Manager WWF Kapuas Hulu 2006-2008, hingga sebagai Program Manager WWF Kalbar 2008-2014.
Sejak Februari 2014, alumni Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (1992-1997) tersebut menduduki posisi sebagai Kalimantan Regional Leader WWF Indonesia, dan dapat tetap berkantor di Pontianak.
Kini, bersama aktivis lingkungan dan Komunitas Pariwisata Kapuas Hulu (Kompakh), WWF Indonesia Kalimantan menggalang solidaritas berupa membuka posko bantuan bagi warga korban kebakaran rumah betang tersebut.
Galang bantuan
Penggalangan bantuan baik berupa uang maupun barang sudah dimulai sejak hari pertama setelah terbakarnya rumah betang. WWF Indonesia Kalimantan, membuka posko di kantor Jalan Jl. Karna Sosial, Gg. Wonoyoso No.3. CP: Theresia 081345508875, kata alumni SMA Negeri I Pontianak, tahun 1990 itu.
Saat ini WWF regional Kalimantan telah menerima bantuan pakaian pantas, bahan kebutuhan pokok dan uang yang diperlukan warga korban musibah kebakaran tersebut. Sebagian bantuan sudah disalurkan ke para korban.
Suami dari Reny Hidjazie dan ayah Fikri Miftahuddin (14), Akbar Zamzami (12) dan Aulia Rahma Madina (8) itu pun berharap, musibah tidak mematahkan semangat para penggiat, pemerhati dan pencinta kebudayaan adiluhur yang masih eksis di Kapuas Hulu.
Penggalangan bantuan, menurut dia juga bagian dari bentuk kepedulian WWF yang "concern" terhadap upaya pelestarian keragaman hayati untuk generasi saat ini dan akan datang.
Dia menambahkan, WWF kini pun "concern" persoalan pengurangan konsumsi "over use" (berlebihan dalam penggunaan). Misalnya penggunaan bahan bakar, listrik, makanan, dan air.
"Belum adilnya tatanan dunia saat ini, karena ada yang kelebihan mengakses, sementara ada pula yang belum mendapatkannya. Pembagiannya harus berbasis hak dasar (manusia)," kata pria kelahiran Sanggau, 27 Juli 1971 itu.
Terutama, lanjutnya lagi, masyarakat di sekitar sumber daya alam. Kebanyakan dari masyarakat di sekitar SDA rentan terhadap perubahan iklim dengan berkurangnya SDA yang ada. Mereka mengalami kesulitan mengakses SDA, padahal tidak memiliki sumber penghidupan lainnya.
"Tugas kami sebagai pekerja sosial harus mengingatkan itu. Termasuk juga mengingatkan pemerintah," imbuhnya. Selain itu tentu saja untuk masyarakat luas.
Menurut aktivis yang juga sempat menjadi relawan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta itu, sesungguhnya saat ini pun dirinya sedang menyiapkan masa depan untuk anak-anaknya sendiri.
Ia mengaku khawatir, anak-anaknya akan kehilangan haknya mendapatkan kehidupan yang layak karena hutan dan alam yang rusak. Jangan sampai yang dipinjam dari anak-anaknya dan anak pada umumnya, tak bisa dikembalikan kepada mereka karena sudah rusak atau bahkan punah.
"Saya juga sedang memastikan anak-anak saya dapat hidup dengan baik ke depan. Dengan mengajak orang berbuat baik," kata Hermayani yang pada waktu khusus mengajak serta anaknya ke lapangan melakukan aktivitas pelestarian lingkungan, dan lain-lain.
Lantas apa yang menginspirasi Hermayani sehingga tertarik bergelut sebagai aktivis lingkungan?
"Saya kecil-kecil aktif Pramuka. Dasa Dharma Pramuka terutama pada poin kedua, tertanam dalam diri saya," kata Hermayani yang aktif Pramuka hingga tingkatan Penegak.
Bunyinya, "Cinta alam dan kasih sayang sesama manusia." "Begitu membekas sekali. Saya setuju jika gerakan Pramuka dikembangkan lagi," kata aktivis yang sempat kuliah Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada 1990-1993 tersebut.
(N005/Z003)
Profil - Hermayani Dan Keprihatinan Cagar Budaya "Sungulok Apalin"
Kamis, 25 September 2014 21:48 WIB