Surabaya (Antara Kalbar) - Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkum HAM) Denny Indrayana yang juga pakar hukum tata negara menilai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak mungkin mengubah hasil rapat paripurna DPR RI tentang UU Pilkada pada 25 September lalu.
"Kalau tidak bicara politis, secara hukum tata negara, rapat paripurna itu sudah proses akhir, Presiden tinggal tanda tangan saja," katanya kepada Antara setelah memberi pengarahan pada rakernas kenotariatan di Universitas Narotama Surabaya, Sabtu.
Dalam Rakernas Forum Kerja Sama Prodi Magister Kenotariatan se-Indonesia selama dua hari (26-27/9) itu terbentuk dua asosiasi, yakni Asosiasi Dosen Kenotariatan (ADKN) Indonesia dan Asosiasi Mahasiswa Kenotariatan Indonesia (AMKI) serta penyetaraan kurikulum kenotariatan dan usulan gelar MKN menggantikan MH.
"Jadi, secara hukum, Presiden sudah ada kesepakatan dengan DPR, lalu DPR membahasnya, maka Presiden tinggal menerima hasil itu. Kalau melakukan perubahan justru Presiden akan disalahkan secara prosedur hukum," katanya.
Sebelumnya (25/9), Rapat Paripurna DPR RI melalui voting, menetapkan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD dengan komposisi yakni 226 suara yang menerima dan 135 suara yang menolak. Pada saat terakhir, Fraksi Demokrat melakukan "walk out" karena usulannya tidak diakomodasi oleh rapat paripurna.
Ditanya tentang pemeriksaan dirinya oleh penyidik Pidana Khusus Kejaksaan Agung terkait kasus korupsi pengurusan proses pengangkatan dan perpindahan notaris di lingkungan Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU) KemenkumHAM, Denny menyatakan dirinya justru ditanya keberhasilan KemenkumHAM membongkar kasus itu.
"Jadi, betul, saya diperiksa, tapi pemeriksaan itu justru untuk mengetahui upaya KemenkumHAM yang berhasil membongkar kasus itu. Anak buah saya yang terbukti menerima suap sudah ditetapkan sebagai tersangka, tapi saya tidak tahu nasib penyuapnya," katanya.
Dalam kasus dugaan korupsi pengurusan proses pengangkatan dan perpindahan notaris di lingkungan Ditjen AHU KemenkumHAM itu, penyidik telah menetapkan dua orang pejabat yang ditengarai menerima gratifikasi sebagai tersangka, yakni NA dan LSH.
"Awalnya, kami menerima laporan masyarakat, lalu kami membongkar kasus itu. Kami amankan barang bukti dan akhirnya kami simpan di KPK, tapi akhirnya dilimpahkan ke Kejaksaan, sehingga mereka (kejaksaan) yang menangani. Itulah keterangan saya," katanya.
Dalam pengarahan kepada 150-an peserta rakernas kenotariatan itu, WamenkumHAM menyatakan pihaknya sudah melakukan penataan kenotariatan dengan menerapkan "AHU Online" (daring atau dalam jaringan internet) sebagai perbaikan sistem.
Menurut dia, perbaikan sistem itu penting agar tidak terjadi saling serobot, antrean yang panjang, pekerjaan yang menumpuk, dan akhirnya mendorong terjadinya pungli, suap, dan korupsi.
"AHU Online itu sudah kami mulai sejak pembuatan Sisminbankum, lalu sekarang dikembangkan dengan sistem berbasis teknologi untuk pendaftaran notaris, fidusia, pengurusan akta yayasan atau perseroan, perubahan anggaran dasar yayasan atau perseroan, wasiat, dan sebagainya," katanya.
Hasilnya, waktu pengurusan yang lamanya 107 hari atau hampir bulan dan bahkan ada yang mencapai belasan tahun akhirnya bisa diselesaikan dalam waktu pengurusan kurang dari sepuluh menit.
"Dengan sistem berbasis teknologi itu, pemalsuan dokumen akan tertolak secara otomatis. Selain itu, PNBP (pendapatan negara bukan pajak) juga meningkat dari Rp9 miliar lebih pertahun menjadi lebih dari Rp350 miliar pertahun. Pungli, suap, dan korupsi juga sulit, karena semuanya dilakukan dengan mesin," katanya.
Oleh karena itu, Kementerian Penertiban Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN/RB) memberikan penghargaan sebagai Inovasi Pelayanan Publik 2014 untuk sembilan lembaga/instansi dengan satu-satunya lembaga tingkat nasional adalah AHU Online.
Wamenkumham: Presiden Tak Mungkin Ubah Hasil Paripurna DPR
Sabtu, 27 September 2014 20:43 WIB