Surabaya (Antara Kalbar) - Ketua Umum PBNU Prof Dr K.H. Said Aqil Siroj MA menjadi guru besar bidang tasawuf di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya setelah menunggu selama empat tahun lebih (2010-2014).
"Proses Kiai Said Aqil menjadi guru besar itu empat tahunan karena berkasnya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sempat menghilang," kata Sekjen Kemenag Prof Dr H. Nur Syam MSi saat menghadiri pengukuhan itu di Surabaya, Sabtu.
Di hadapan mantan Mendikbud Mohammad Nuh, Menristek Prof Muhammad Nasir, Mensos Khofifah, Menteri PDT Marwan Djakfar, Rais Aam Syuriah PBNU K.H. Mustofa Bisri, Wagub Jatim H. Saifullah Yusuf, dan sejumlah ulama, ia menyebut M. Nuh berjasa dalam pengukuhan K.H. Said Aqil Siroj itu.
"Pengukuhan Kiai Said bisa terlaksana sekarang (29/11), karena permintaan Pak Nuh saat menjadi Mendikbud kepada Rektor UIN Sunan Ampel Prof Abd A'la untuk memproses pengukuhan Kiai Said Aqil di Surabaya saja agar cepat," katanya.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya Prof Abd A'la mengatakan pihaknya sudah mengkaji kontribusi K.H. Said Aqil Siroj dalam bidang keilmuan dan ternyata memenuhi syarat sebagai guru besar ke-47 di UINSA.
"UINSA (UIN Sunan Ampel) juga menilai guru besar bidang tasawuf itu langka dan Kiai Said Aqil merupakan guru besar bidang tasawuf satu-satunya di UINSA, jadi komitmen UINSA pada aspek keilmuan dan kecerdasan spiritual itu tidak main-main," katanya.
Namun, pengukuhan itu juga memberi kewajiban kepada orang nomor satu di PBNU itu, untuk mengajar.
"Mungkin saja beliau harus mengajar 1-2 kali dalam setiap semester dan menggunakan 'team teaching' untuk mengajar lebih dari itu," katanya.
Tersebar
Dalam kesempatan itu, mantan Mendikbud Mohammad Nuh mengatakan pengukuhan K.H. Said Aqil Siroj menunjukkan sumber keilmuan itu tidak harus ada pada satu universitas tapi tersebar.
"Secara aturan, Kiai Said Aqil merupakan Guru Besar Dosen Tidak Tetap (GB-DTT), karena beliau bukan dosen UINSA, tapi kapasitas keilmuannya bisa dimanfaatkan untuk UINSA," katanya.
Said Aqil Siroj dalam pidato pengukuhannya mengemukakan modernitas telah gagal, karena materi dan rutinitas kerja justru menghancurkan makna kehidupan.
"Modernitas itu memang ada sisi positif dalam kemajuan material dan teknologi, tapi modernitas juga meminggirkan manusia dari eksistensinya hingga terjadilah kelelahan hidup," katanya.
Menurut doktor alumnus Ummul Qurra Mekkah itu, kehancuran makna hidup mendorong manusia melirik agama, kearifan lokal, tasawuf, dan spiritualitas.
"Tasawuf memang dituduh sebagai kemunduran umat Islam dan bahkan bid'ah, padahal tasawuf itu bukan soal baik dan buruk, tapi soal indah dan bermakna," katanya.
Artinya, katanya, tasawuf bukan sekadar memperbanyak ibadah, sedekah, tarekat, surga-neraka, dan pengasingan (zuhud), melainkan adanya nur dari Allah, meninggalkan nafsu, dan dzikir.
"Jadi, tasawuf itu revolusi spiritualitas yang lebih tinggi daripada revolusi mental (Program kerja Presiden Jokowi, red.)," katanya.
(E011/M.H. Atmoko)