Jakarta (Antara Kalbar) - Wacana kebijakan program sekolah sehari penuh (full day school) yang dilontarkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy menuai respons beragam dari masyarakat, baik yang pro maupun kontra terhadap usulan tersebut.
Pada umumnya para orang tua khawatir dengan kebijakan tersebut karena dinilai akan membebani siswa yang harus seharian berada di sekolah.
Di sisi lain, program itu dikhawatirkan sulit diterapkan karena harus melibatkan banyak aspek, dan tidak semua sekolah akan mampu melaksanakan kebijakan tersebut.
Ada sejumlah hal yang harus dipenuhi jika ingin melaksanakan kebijakan itu, di antaranya adalah kemampuan siswa itu sendiri, kesiapan sekolah, kemapanan orang tua, serta ketersediaan tenaga pengajar.
Untuk program itu, tentu saja sekolah harus menyiapkan makan siang untuk para siswa sehingga harus dipikirkan dari mana sumber pendanaannya.
Dalam hal kemampuan siswa, pemerintah juga perlu mempertimbangkan interaksi anak dengan keluarga dan lingkungan di luar sekolah, karena siswa harus seharian berada di sekolah.
Hal lain yang tidak kalah penting adalah kesiapan tenaga pengajar untuk memenuhi program sekolah sehari penuh. Dengan program ini, para guru dituntut untuk berada di sekolah sehari penuh.
Jika kebijakan ini ingin meniru program serupa di negara-negara maju, kondisinya tentu berbeda dengan di Indonesia.
Di negara-negara maju, program sekolah sehari penuh tidak banyak menimbulkan masalah karena sekolah memiliki fasilitas yang sangat memadai, dengan guru berpenghasilan tinggi dan orang tua siswa yang sudah mapan.
Menanggapi kekhawatiran masyarakat itu, Mendikbud Muhadjir Effendy menegaskan bahwa konsep sekolah sehari penuh itu tidak seperti yang dikhawatirkan masyarakat. Program yang akan menyasar sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) itu justru akan membuat para siswa senang meskipun seharian berada di sekolah.
Muhadjir, yang belum genap sebulan dilantik menjadi Mendikbud menggantikan Anies Baswedan itu, menyebut sedikitnya tiga konsep dalam sekolah sehari penuh.
Pertama, dalam program ini akan ada pemberian jam tambahan namun tidak ada mata pelajaran yang bisa membuat para siswa bosan, karena kegiatan yang dilakukan adalah ekstrakurikuler.
Kegiatan ekstrakurikuler tersebut akan merangkum hingga 18 karakter seperti jujur, toleransi, disiplin, hingga cinta Tanah Air. Dengan kegiatan tersebut, para siswa bisa dijauhkan dari pergaulan yang negatif.
Kedua, pertimbangan lain dari program sekolah sehari penuh ini adalah persoalan hubungan antara orang tua dan anak. Untuk masyarakat yang tinggal di perkotaan, pada umumnya orang tua bekerja hingga pukul 17.00 WIB. Dengan program tersebut, orang tua bisa menjemput anak mereka di sekolah saat pulang kerja.
Ketiga, program sekolah sehari penuh juga dianggap akan dapat membantu guru untuk mendapatkan durasi jam mengajar 24 jam per minggu sebagai syarat mendapatkan sertifikasi guru.
Sebelumnya Presiden Joko Widodo berpesan bahwa kondisi ideal pendidikan di Indonesia adalah ketika dua aspek pendidikan bagi siswa terpenuhi, yakni aspek pendidikan karakter dan pengetahuan umum.
"Merujuk arahan Presiden Joko Widodo, kami akan memastikan bahwa memperkuat pendidikan karakter peserta didik menjadi rujukan dalam menentukan sistem belajar mengajar di sekolah," kata Mendikbud Muhadjir.
Oleh karena itu, katanya, program sekolah sehari penuh akan dirancang untuk memastikan siswa dapat mengikuti kegiatan-kegiatan penanaman pendidikan karakter, misalnya mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, dengan suasana lingkungan sekolah yang menyenangkan.
Ganggu Interaksi Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Ni�am Sholeh menilai wacana sekolah sehari penuh jika diterapkan akan mengganggu kehidupan sosialisasi anak sehari-hari, khususnya masalah intensitas interaksi anak.
Menurut dia, anak-anak butuh interaksi dengan teman sebaya di sekolah, teman di lingkungan tempat tinggal, dan dengan keluarga di rumah.
Masing-masing siswa juga memiliki kondisi yang berbeda-beda dan tak bisa disamakan. Ada siswa yang orang tuanya bekerja di rumah, ada juga yang tak bekerja.
Bagi orang tua yang tidak bekerja, tentu akan mengurangi intensitas pertemuan dengan anaknya. Olah karena itu, Asrorun menilai wacana ini justru akan merugikan anak, terlebih tanpa didahului kajian yang matang.
Penolakan terhadap wacana sekolah sehari penuh juga datang dari sejumlah kepala daerah yang menyatakan tidak akan menerapkan kebijakan tersebut karena tidak sesuai dengan kondisi di daerahnya.
Di Jakarta, bahkan muncul petisi yang menolak wacana tersebut. Salah satu orang tua siswa bernama Deddy Mahyarto Kresnoputro menggagas petisi "Tolak Pendidikan Full Day/Sehari Penuh di Indonesia" di www.change.org.
Petisi ini ditujukan kepada Presiden RI, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, serta para orang tua siswa.
"Belum selesai kita membenahi masalah kurikulum yang kerap kali diacak-acak, sekarang muncul wacana untuk anak Sekolah Sehari Penuh, dengan alasan pendidikan dasar saat ini tidak siap menghadapi perubahan zaman yang begitu pesat. Semoga bapak-bapak dan ibu-ibu tahu bahwa tren sekolah di negara-negara maju saat ini adalah less school time, no homework, more about character building," tulis Deddy mengenai latar belakang petisi yang digagasnya.
Hingga Senin (15/8) pagi, hampir 50 ribu orang menyatakan mendukung petisi ini.
Deddy berharap, melalui petisi ini, para pembuat kebijakan mempertimbangkan wacana yang dinilainya justru membahayakan masa depan anak.
"Semoga dengan mengisi petisi ini kita bisa membuat para pembuat kebijakan sadar bahwa pilihan ini justru berbahaya, dan mendorong kita para orang tua dan praktisi pendidikan untuk dapat mencari solusi terbaik bagi anak-anak kita di jangka pendek dan bagi kemajuan Bangsa Indonesia di jangka panjang," ujar Deddy.
Petisi penolakan sistem sekolah sehari penuh itu cukup beralasan mengingat tidak ada penelitian atau statistik yang ditunjukkan oleh Mendikbud Muhadjir yang membuktikan bahwa benar anak Indonesia akan lebih baik dengan kebijakan ini. Sistem sekolah sehari penuh dinilai sebuah coba-coba.
Kajian Mendalam Hal yang sama diungkapkan pemerhati anak Seto Mulyadi yang menilai kebijakan sekolah sehari penuh membutuhkan pengkajian lebih mendalam, khususnya untuk merespons reaksi masyarakat.
Demikian pula setiap daerah yang memiliki kebijakan masing-masing dalam penerapan waktu kegiatan belajar mengajar di sekolah.
Proses belajar mengajar seharusnya mempertimbangkan hak-hak anak karena yang penting adalah proses belajar itu harus ramah anak dan demi kepentingan terbaik bagi anak.
"Jadi belajar juga bukan hanya formal, bisa juga nonformal di tengah masyarakat melalui sanggar-sanggar, bisa juga di dalam keluarga dan tidak semua juga ibu itu bekerja," ujar Seto Mulyadi yang kini kembali "menghidupkan" dan memimpin Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI).
Oleh karena itu, wacana sekolah sehari penuh seharusnya masih dalam tahap sosialisasi pemerintah dan membutuhkan masukan-masukan dari masyarakat, termasuk dalam segi sosial dan geografis dari berbagai wilayah di Indonesia.
Pro kontra soal wacana sekolah sehari penuh akhirnya ditanggapi Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani yang menyebut wacana itu belum akan diterapkan karena harus dikaji ulang dan dibuat satu percontohan yang jelas.
Mendikbud disarankan agar mengundang orang tua murid, tenaga pengajar, dan masyarakat untuk membahas sistem yang diusulkan itu secara mendalam.
Membangun dunia pendidikan Indonesia memang tidak mudah dan memerlukan waktu yang panjang. Berbagai gagasan bagus termasuk ide mengembangkan kegiatan ekstra kurikuler perlu disiapkan secara matang.
Oleh karena itu, adanya skenario besar atau grand design sebagai pedoman untuk mengembangkan kurikulum pendidikan nasional sangat diperlukan untuk menciptakan generasi muda berkarakter, sehingga ke depan tidak ada lagi anekdot "ganti menteri, ganti kebijakan".