Jakarta (Antara Kalbar) - Pendiri CSR Indonesia Jalal mengatakan industri rokok telah melakukan jawab sosial perusahaan atau "corporate sosial responsibility" (CSR) palsu karena tidak pernah bisa menghindari dan meminimalkan dampak negatif produknya.
"Apa yang dilakukan industri rokok dengan beragam kegiatan sosial itu tidak bisa dianggap sebagai CSR, melainkan hanya upaya untuk menutupi dampak negatifnya," kata Jalal dihubungi di Jakarta, Jumat (19/8) malam.
Jalal mengatakan penggunaan istilah CSR untuk sesuatu yang sesungguhnya bertentangan dengan tujuan CSR sendiri disebut "CSR-washing" atau "fake CSR" atau "CSR palsu".
Setiap perusahaan diyakini memiliki dampak positif dan negatif yang harus dipertanggungjawabkan. Tujuan CSR adalah menangani dampak yang ditimbulkan perusahaan, baik yang positif maupun negatif.
Pertanggungjawaban dampak positif relatif mudah, yaitu mengenali potensi kemudian memaksimalkan. Namun, tanggung jawab atas dampak negatif cukup pelik mulai dari mengenali potensi, menghindari, meminimalisasi, merestorasi, dan mengompensasi.
Salah satu ciri CSR palsu yang paling tegas adalah seakan-akan memaksimalkan dampak positifnya, teyapi tidak mengurus dampak negatif secara memadai.
"Karena industri rokok tidak bisa menghindari dan meminimalkan dampak negatif kesehatan dari konsumsi produknya, serta tidak bisa merehabilitasi dan mengompensasi sakit dan mati yang diakibatkannya,� jelas dampak negatif itu tidak diurus dengan benar," tuturnya.
Menurut Jalal, banyak orang yang menyatakan bahwa semua hal itu sah-sah saja karena rokok adalah produk yang dinyatakan legal. Namun dalam pandangan CSR, masalah tidak berhenti ketika suatu produk, perusahasn atau industri sudah dinyatakan legal.
CSR memiliki beberapa prinsip seperti patuh pada hukum, hormat pada pemangku kepentingan, berperilaku etis dan hormat pada norma-norma internasional.
Jalal mengatakan industri rokok tidak hormat pada banyak pemangku kepentingan di Indonesia, terutama yang memperjuangkan kesehatan masyarakat, HAM, keadilan sosial dan lingkungan. Pemangku kepentingan yang lain, yaitu anak-anak dan generasi mendatang bahkan benar-benar dilecehkan.
"Mereka juga jelas tidak menghormati norma-norma internasional seperti Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau atau FCTC dan Kovenan Internasional tentanh Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya atau Kovenan Ekosob," katanya. (T.D018) Sigit Pinardi