Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Yang dijamin kembali pada Pasal 31 ayat (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Undang-undang ini tentunya berlaku untuk seluruh warga negara Republik Indonesia dari Aceh hingga Papua, yang di di antaranya membentang ribuan pulau, yang di kotak-kotakkan oleh laut serta dipecah belah oleh gunung, sungai, dan danau.
Apa hendak di kata, kenyataan membentang di mata bahwa di usia hampir seabad, Indonesia masih terus berbenah dalam dunia pendidikan. Pemandangan sumbang yang mempertontonkan anak-anak putus sekolah, nikah di usia muda, sekolah tak bergedung, gedung sekolah tak bersiswa, sekolah tidak ada guru, pengangguran guru beribu-ribu, guru bergaji sehari sepuluh ribu, sekolah harus bayar ini dan itu, masih menjadi kenyataan yang membuat pilu.
Pendidikan merupakan tonggak kemajuan suatu bangsa, suatu bangsa dinilai maju jika pendidikan di negaranya terbilang bermutu. Namun di sisi lain pendidikan juga menjadi kambing hitam masalah bangsa. Mega skandal masalah bangsa, seperti pertikaian elit bangsa yang tak kunjung usai dan masalah korupsi yang merajalela, yang tak pernah alpa dalam berita di media, tak lain tak bukan dilakoni oleh orang-orang yang terpelajar, bahkan mayoritas didalangi orang dengan pendidikan tinggi, sarjana, doktor, b ahkan profesor.
Jika insan pendidikan tidak lagi dapat memberikan teladan, lantas kepada siapa lagi penerus bangsa hendak berkaca. Jika tidak ada gairah lagi anak bangsa untuk sekolah, terbayanglah bagaimana nasib bangsa selanjutnya. Jika pendidikan tak menggambarkan solusi, jalur apa lagi yang harus dilalui. Jika yang berpendidikan terus-menerus tersandung pidana, tentu ada yang salah dengan pendidikan di negara kita.
Ada hal yang fundamental yang sering terabaikan dalam pelaksanaan pendidikan kekinian. Yaitu "pengkarakteran nilai-nilai karakter". Sistem pendidikan yang berorientasi pasar, membuat guru dan pelajar hanya fokus mengejar nilai berbasis angka yang tertulis hitam di atas putih. Sekolah akan fokus bagaimana nilai kelulusan siswa saat ujian nasional baik, kemudian dapat melanjutkan ke sekolah atau perguruan yang favorit. Namun sekolah terkadang mengabaikan penanaman nilai-nilai karakter dalam keseharian siswa. Pendidikan karakter hanya dijadikan label dan basa basi dalam perakteknya. "Pengkarakteran nilai-nilai karakter" sangatlah penting mengingat nilai-nilai karakter inilah yang menjadi penentu mutu output pendidikan yang dihasilkan, bukan sekedar menjadi sarjana, namun menjadi sarjana yang berkarakter, yang sadar akan perannya dalam memajukan bangsa. Bukan menjadi pembuat masalah namun menjadi penyelesai masalah bangsa.
Indonesia yang berkemajuan dalam pendidikan tentulah bukan sekedar mimpi di siang bolong. Kita semua percaya masih banyak para negarawan yang bercokol di tanah air ini yang akan mewariskan generasi unggul melalui pendidikan. Untuk itu perlu kita tata kembali semangat dan optimisme merawat Indonesia melalui pendidikan, seraya mengokohkan kembali komitmen dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pendidikan di akar rumput.
Ujung tombak pendidikan di akar rumput adalah guru. Di k elas-kelas kecil gurulah arah bangsa ini di tentukan. Sebagus apapun desain kurikulum nasional di rumuskan, sebanyak apapun kebijakan pemerintah pusat digelontorkan, selengkap apapun fasilitas pendidikan di berikan, tetap saja eksekutor di lapangannya adalah seorang guru, gurulah faktor kunci keberhasilan pendidikan. Baik gurunya maka baik pula pembelajarannya. Baik pembelajarannya, maka baik pula output yang akan dihasilkan.
Memahami betapa strategisnya peran seorang guru dalam partikel bangsa ini. Sudah sepantasnya guru mendapat perhatian lebih dari segenap elemen bangsa. Sudah sewajarnya guru diperhitungkan keberadaan dan perannya dalam menelurkan generasi bangsa yang berkualitas. Semoga kita bisa memberikan nilai terbaik atas kontribusi guru dalam merawat bangsa ini. Kontribusi yang kita sadari tiada terbilang dengan uang.
Bukan tentang guru negeri atau guru honorer. Setiap guru memiliki peran dan kontribusi sama persis dan sama besar untuk bangsa ini. Sama mencetak pewaris negeri.
(*Aktivis pendidikan marginal_Relawan Guru di pedalaman Kapuas Hulu)
Paradoks Pendidikan Marginal
Selasa, 29 November 2016 15:54 WIB