Dua tahun setelah rabies kembali marak di Kalbar, upaya untuk mengendalikannya terus dilakukan. Tidak hanya dari pemerintah, organisasi lain yakni Food and Agriculture Organization (FAO), melalui kantornya di Indonesia, ikut berupaya menekan rabies termasuklah di Kalbar.
Program yang diusung adalah "one health", ini adalah program yang bersifat lintas sektoral yang tidak hanya melibatkan satu bidang saja melainkan tiga sekaligus yakni kesehatan manusia, kesehatan hewan, dan lingkungan.
Hidayatullah menuturkan, untuk mempersiapkan program tersebut, ia diminta pihak FAO untuk membuat modul pelatihan. Ia tidak sendiri, namun bersama peserta lain dari berbagai daerah di Indonesia.
Mereka disebut "master trainer", terutama berlatar belakang pekerjaan berkaitan dengan penanganan rabies. Modul yang dibuat tidak langsung jadi. Melainkan harus melalui evaluasi berkali-kali yang melibatkan pihak FAO dan kementerian terkait.
Setelah modul tersebut jadi, baru dijalankan. Ia mendapatkan pelatihan sebagai master of trainer (MT) di Semarang, Jawa Tengah. Dari Kalbar, ada drh Ahmad Mike, rekan sejawatnya di instansi yang sama.
Usai mendapat status sebagai MT, Hidayatullah tidak langsung melatih di Ketapang atau Kalbar. Ia malah diminta melatih di Boyolali, Jawa Tengah. Kebetulan di Boyolali juga termasuk dalam project "one health" FAO, dengan kasus utama anthrak. Drh Ahmad Mike melatih di daerah lain di Jawa. Ia melatih selama lima hari. Mulai dari teori di kelas hingga praktik di lapangan khusus tentang kesehatan hewan.
Kemudian, sempat terjadi kevakuman. Tidak ada tindak lanjut dari Kementerian Kesehatan atau Kementerian Lingkungan Hidup. Ini karena berkaitan dengan tiga bidang dalam "one health".
Akhirnya, dari FAO Indonesia mengambil inisiatif untuk kembali melatih MT dari tiap sektor, kesehatan hewan, kesehatan masyarakat dan lingkungan. Setelah semua sektor tersebut dilatih, lalu dibentuk modul baru. Setelah modul baru ini disepakati, akhirnya digelar pelatihan MT gabungan, yang disebut "MT one health".
Hidayatullah sempat masuk dalam daftar MT one health ini. Namun kemudian ditunda dan dari Dinas Pangan, Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Kalimantan Barat, hanya Ahmad Mike yang ikut. Selain itu, ada dr Eko dari Kabupaten Ketapang, dr Akram dari BKSDA Kalbar, dan Hendri SKM dari Dinas Kesehatan Provinsi Kalbar.
Melatih Daerah
Kemudian, pada tahun 2017 dibuat pelatihan di Kabupaten Ketapang. Masing-masing instansi terkait sesuai bidang, mengirim sekitar 20 orang sehingga total keseluruhan ada 80an peserta.
Mereka dibagi dalam tiga kelas. Langkah ini ternyata efektif. Kabupaten Ketapang sebagai daerah awal terjadinya rabies di Kalbar, mencatat penurunan kasus yang cukup baik.
Pada tahun 2017, angka GHPR 59 kasus dengan pemberian vaksin anti rabies (VAR) sebanyak 59, angka kematian nol persen. Pada tahun 2018, hingga 11 April, terdapat lima kasus GHPR dan empat kali pemberian VAR.
Hidayatullah menuturkan, pada tahun 2014 ? 2017, sebelum adanya program one health, sulit untuk melaksanakan koordinasi tiga sektor tersebut. Bahkan ia tidak memungkiri kalau kondisi tersebut menjadi salah satu pemicu menyebarnya rabies di Kalbar.
Ia mencontohkan, sebelum ada program tersebut, untuk menangani satu kasus GHPR, masing-masing sektor bekerja sendiri-sendiri. Dari sektor kesehatan hewan hanya mengurus HPR saja, sektor kesehatan manusia menangani manusia yang menjadi korban GHPR, tanpa melibatkan sektor lingkungan. Jadi masing-masing merasa cukup bekerja di sektor sendiri tanpa memperdulikan apa yang harus dilakukan selanjutnya.
Kabupaten Ketapang menjadi pilihan untuk memulai program one health. Salah satunya selain karena akses yang semakin terbuka antara Kabupaten Ketapang dengan Provinsi Kalteng sebagai daerah endemis rabies, juga sumber daya manusia untuk program one health relatif lebih lengkap.
Kemudian, ada juga ancaman di sektor lingkungan hidup berupa penyebaran rabies dari hewan domestik ke hewan liar. Kabupaten Ketapang merupakan salah satu habitat bagi orangutan jenis pongo pygmaeus. Sehingga penyebaran rabies misalnya dari anjing ke primata atau hewan lain yang berdarah panas adalah memungkinkan.
Dalam beberapa kasus, ada temuan kematian satwa liar namun tidak ada pelaporan karena bangkainya langsung dikubur.
Sapi Pun Tertular
Di Kabupaten Ketapang juga pernah ditemukan kasus satu ekor sapi yang digigit HPR. Drh Faradilla, bertugas di Balai Penyuluh Pertanian Kecamatan Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang. Waktu tempuh dari Kota Ketapang, sekitar tujuh jam perjalanan darat. Akhir tahun 2014, rabies mewabah di kecamatan itu. Sebelum mewabah, warga setempat tidak terlalu mengenal penyakit ini.
Adapun satu kasus rabies, langsung ditangani dengan baik serta menjadi perhatian dari jajaran kesehatan hewan Kabupaten Ketapang.
Namun, penambahan korban GHPR terjadi dengan cepat. Bahkan lebih cepat dari yang dibayangkan Faradilla. Berbagai kasus membuat perhatian fokus hanya ke HPR saja. Sampai pada suatu hari, ada warga datang ke tempatnya bertugas. Warga tersebut meminta agar Faradilla memeriksa sapinya di kandang.
Berdasarkan pengakuan si pemilik, sapinya itu bertingkah aneh. Gelisah di kandang, menabrakkan diri ke dinding kandang, bahkan kini terlepas dari kandang dan kepala si sapi menabrak pohon.
Faradilla bergegas mengikuti pemilik sapi itu. Ia pun terkejut saat tiba dan melihat sapi Bali indukan yang dalam kondisi liar dan mulut penuh busa.
Ia lalu bertanya ke si pemilik, sejak kapan sapi itu bertingkah liar dan apakah pernah sapi tersebut digigit anjing. Si pemilik mengaku baru satu atau dua hari terakhir sapinya bertingkah gila seperti itu.
Si pemilik juga tidak tahu apakah sapinya itu pernah atau tidak digigit anjing sebelumnya.
Faradilla curiga kalau sapi berbobot sekitar 200an kilogram itu terkena rabies. Kemudian ia meyakinkan si pemilik agar mau menyembelih sapi itu. Dengan susah payah, sapi yang "gila" itu berhasil ditangkap dan langsung di sembelih.
Faradilla meminta otak sapi itu dan difasilitasi Dinas Pertanian, Peternakan dan Perkebunan Kabupaten Ketapang, untuk dikirim ke laboratorium Balai Veteriner Banjar Baru, Kalsel.
Sedangkan bagi si pemilik, apabila mau memakan daging dari sapi tersebut, harus dimasak dengan benar. Paling tidak dalam kurun waktu satu jam dimasak dengan suhu 60 derajat Celcius.
Ia menjelaskan risiko yang mungkin dapat terjadi kalau tidak dimasak dengan benar. Faradilla sendiri belum yakin 100 persen kalau sapi tersebut tertular rabies karena harus menunggu hasil dari laboratorium Balai Veteriner Banjar Baru.
Selama menjadi dokter hewan, ia belum pernah menemukan langsung kasus sapi yang tertular rabies. Namun secara teori, hal itu memungkinkan mengingat virus rabies dapat menular di hewan berdarah panas.
Ternyata, hasil dari laboratorium Balai Veteriner Banjar Baru membenarkan dugaan Faradilla. Sapi yang ia kirim otaknya itu positif tertular virus rabies.
Menurut dia, tidak hanya sapi itu yang tertular rabies. Ada satu lagi sapi di Tumbang Titi yang juga mengidap gejala yang sama. Mulut keluar busa, kelakuan menjadi liar. Namun ia kesulitan untuk memastikan karena sapi anakan itu akhirnya ditemukan mati di dalam hutan.
Proses mengambil otak sapi pun susah karena sapi itu sudah dikubur oleh pemiliknya. Masa inkubasi yang cukup lama, yakni maksimal sekitar enam bulan, membuat hewan-hewan tersebut tidak serta merta diketahui mengidap rabies.
Inkubasi adalah rentang waktu dari ketika korban digigit HPR hingga menimbulkan gejala yang dapat dilihat. Pemilik ternak mungkin tidak mengetahui kalau hewan peliharaannya sebetulnya digigit HPR.
Ketika menunjukkan gejala-gejala tidak sehat, bukan tidak mungkin pemiliknya sudah berpindah tangan. Tanpa pengetahuan yang baik tentang penyebaran rabies, virus ini pun dapat menyebar tanpa melalui gigitan.
Menyerang Syaraf
Virus rabies menyebar melalui jaringan syaraf. Ketika orang yang memotong atau membersihkan hewan tertular tanpa sesuai prosedur, virus rabies dapat masuk melalui celah luka di tubuh orang tersebut dan masuk ke jaringan syaraf.
Tanpa penanganan yang baik, maka masa inkubasi dapat semakin cepat. Semakin dekat dengan sumber utama syaraf tubuh (otak), masa inkubasi pun semakin cepat. Kelajuan virus rabies di dalam syaraf adalah mencapai 2 mili meter per jam. Korban yang digigit HPR di bagian kepala dengan yang digigit di kaki, maka masa inkubasinya umumnya berbeda.
Dengan kondisi tersebut, maka sektor lingkungan hidup atau badan konservasi sumber daya alam juga dilibatkan.
Sementara Hendri SKM menambahkan, sebelum ada one health, dalam penanganan korban GHPR sifatnya parsial. Ia mencontohkan di sisi dinas kesehatan, hanya fokus menangani ke korban manusia.
Mereka bahkan tidak mengetahui apakah HPR tersebut kembali mengigit di tempat lain atau menyebarkan virus rabies ke hewan-hewan lainnya.
Mudah Koordinasi
Melalui one health, penanganan rabies menjadi lebih efektif dan terarah. Pelatihan bersama membuat satu sama lain menjadi lebih saling kenal dan mempermudah dalam hal koordinasi.
Peserta yang sudah dilatih membuat grup komunikasi khusus di whatsapp. Setiap ada laporan kasus GHPR, langsung dilontarkan ke dalam grup tersebut. Bagi petugas yang berada di dekat lokasi kejadian, segera merespon dan menindaklanjutinya.
Baik dari sisi kesehatan manusia, kesehatan hewan serta lingkungan. Petugas puskesmas yang sudah dilatih, akan memberi vaksin anti rabies apabila dari sisi HPR menunjukkan adanya gejala rabies.
Penanganan awal luka gigitan seperti mencuci luka dengan sabun atau diterjen menggunakan air mengalir selama 10 menit hingga 15 menit lalu diberi antiseptic. Korban kemudian dibawa ke puskesmas atau rumah sakit untuk mendapat tata laksana penanganan kasus gigitan HPR sesuai prosedur.
Sedangkan mantri hewan yang juga ke lokasi akan meninjau kondisi hewan tersebut. Selain itu, juga dicek apakah hewan yang mengigit sudah diberi vaksinasi atau tidak sebelumnya sehingga dapat dipilah masuk kategori risiko tinggi atau tidak.
Bagi korban yang masuk dalam risiko tinggi, maka dapat diberikan vaksin anti rabies secara lengkap.
Sebaliknya, bagi yang berisiko rendah, pemberian vaksin anti rabies dapat dihentikan setelah koordinasi lanjutan meninjau kondisi korban maupun HPR dua minggu sesudahnya.
Hendri SKM menuturkan, ada beberapa keuntungan lanjutan dari one health ini. Pertama, pemberian vaksin menjadi efektif karena dalam beberapa kasus tidak perlu digunakan. Atau, pemberian vaksin tidak perlu lengkap menjadi empat kali untuk setiap kasus gigitan karena melihat kondisi dari HPR maupun korban. Dari sisi anggaran, pengadaan vaksin ini dapat digunakan untuk kondisi yang lebih darurat dan penting.
Kedua, dengan tiga sektor yang terlibat sekaligus maka pemahaman tentang rabies menjadi lebih menyeluruh. Misalnya bahaya dari rabies, kenapa vaksin hewan dan menjaga lingkungan sama pentingnya. Masyarakat akan mendapat edukasi yang sama ketika tim turun ke lapangan bersamaan.
Ia mengambil contoh ada beberapa kasus korban tertular rabies setelah mengonsumsi HPR yang diolah tanpa prosedur kesehatan pangan yang tepat. Tidak hanya yang mengonsumsi, mereka yang mengolah daging-daging HPR juga berisiko tertular.
Harapannya, setelah mendapat pemahaman yang menyeluruh tentang rabies, maka masyarakat tahu bagaimana penanganan pertama terhadap korban yang digigit HPR, serta terhadap hewan yang mengigit. Selain itu, upaya untuk mencegah agar rabies tidak menyebar dengan cepat yakni dengan pemberian vaksin ke hewan.
Baca juga: Sebaran rabies yang menghantui Kalbar