Maya Fajar Puspita adalah salah satu dokter hewan berstatus pegawai negeri sipil (PNS) di Dinas Pertanian, Peternakan, dan Perkebunan Kabupaten Ketapang.
Secara struktural, dia staf dari Khoirul Syahri, Kepala Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian, Peternakan, dan Perkebunan Kabupaten Ketapang.
Sudah 8 tahun wanita asal Petanahan, Kebumen, Jawa Tengah, itu bekerja di dinas tersebut. Dia sudah mendapat pelatihan tentang "one health" di Kabupaten Ketapang pada bulan Juli 2017.
Pada tahun 2014, dia sempat panas dingin gara-gara rabies. Pada saat itu tengah terjadi kasus luar biasa rabies sejumlah kecamatan di wilayah pehuluan dan pedalaman Kabupaten Ketapang.
Di Kota Ketapang sendiri relatif masih aman, belum ada laporan. drh. Maya tengah bertugas di Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan) Ketapang. Ada sepasang suami istri dari Kota Ketapang, yang datang sambil membawa seekor anjing.
Anjing tersebut tampak lemah tak bertenaga sehingga pemiliknya mendatangi puskeswan tempat Maya bertugas.
Maya kemudian bermaksud menyuntik anjing tersebut dengan vaksin rabies. Anjing itu belum pernah diberi vaksin rabies. Vaksin ini dimaksudkan untuk menimbulkan antibodi di tubuh anjing terhadap rabies. Pembentukan antibodi ini berkejaran waktu dengan virus rabies.
Apabila antibodi terbentuk sebelum virus rabies mencapai otak, hewan tersebut dalam 14 hari juga tidak akan mati. Namun, sebaliknya, jika virus mencapai otak terlebih dahulu, nyawa hewan itu tidak terselamatkan.
Belum sempat disuntik, anjing itu secara tiba-tiba mengigit. Jari di tangan kiri ibu dua anak itu pun luka robek yang tidak terlalu besar. Bekasnya pun kini tak tampak lagi. Dia lalu menyuntik anjing itu sembari bertanya kepada pemilik mengenai asal usulnya.
Saat itulah dia tersentak. Berdasarkan informasi sang pemilik, anjing tersebut bukan berasal dari dalam Kota Ketapang, melainkan hadiah dari saudara pemilik anjing yang tinggal di Kecamatan Sandai. Kecamatan Sandai terletak di pedalaman Kabupaten Ketapang. Pikirannya berkecamuk.
Belum lagi, sebelumnya dia mendapat informasi kalau ada korban GHPR asal pedalaman Kabupaten Ketapang yang meninggal di Rumah Sakit Agoesdjam Ketapang dengan gejala positif rabies.
Namun, Maya tetap tenang. Si pemilik lalu membawa anjing tersebut pulang. Maya kemudian mencuci luka gigitan anjing itu dengan air mengalir selama 10 hingga 15 menit. Itu adalah prosedur standar kalau terjadi GHPR. Setelah itu, luka tersebut diberi antiseptik.
Setelah menenangkan diri kembali, dia keluar puskeswan dan menstarter sepeda motornya menuju rumah pemilik anjing yang telah mengigitnya itu.
Sesampai di sana, dia meminta izin kepada pemilik anjing untuk melakukan observasi selama 14 hari. Maya memilih untuk tidak disuntik vaksin antirabies (VAR) dengan pertimbangan masih menyusui anaknya yang baru berusia 5 bulan.
Meski pilihan tersebut bukannya tanpa risiko, Maya tetap memilihnya. Dia khawatir suntikan VAR itu akan memengaruhi bayinya. Periode observasi 14 hari itulah masa yang sangat berat bagi Maya. Dia didera rasa takut luar biasa. Belum lagi, korban meninggal karena rabies terus berjatuhan dari berbagai kecamatan di Kabupaten Ketapang. Bahkan, dia sempat berwasiat kepada suaminya agar kedua anaknya diurus dengan baik kalau terjadi hal yang fatal pada dirinya.
Baca juga: Kisah Alvin dan panas dingin tergigit HPR - 1
Kekurangan Stok VAR
Saat itu Kabupaten Ketapang mengalami kekurangan stok VAR karena kasus GHPR luar biasa banyak. Pasokan dari Dinas Kesehatan setempat ke puskesmas-puskesmas tersendat karena butuh waktu untuk pengadaan dan pembiayaan. Stok VAR yang ada pun digunakan sebagai VAR pertama dalam kasus gigitan di tengah masyarakat.
RSUD Agoesdjam Ketapang menjadi rujukan utama bagi manusia yang terkena GHPR dan positif rabies. Maya juga mengalah. Dia tidak mau memaksakan diri untuk memperoleh VAR pertama.
Pengetahuannya sebagai dokter hewan membuat dirinya memutuskan sendiri bahwa luka yang dialami karena gigitan anjing itu masuk dalam risiko kecil. Artinya, tidak terlalu berbahaya meski risiko kematian tetap ada apabila tertular rabies dengan jangka waktu di atas 3 bulan.
Risiko tinggi apabila terkena jilatan atau luka di bagian tubuh, luka gigitan di atas daerah bahu, seperti muka, kepala dan leher, luka pada jari tangan/kaki, genetalia, luka yang lebar/dalam, dan luka yang banyak atau multiple. Risiko kematian dapat terjadi apabila positif rabies dalam jangka waktu 1 s.d. 3 bulan.
Luka risiko rendah apabila tidak diberi VAR pertama setelah digigit masih diperbolehkan sambil menunggu observasi terhadap hewan penular rabies (HPR). Namun, bagi luka dengan risiko tinggi, harus diberi VAR pertama.
Maya sendiri belum pernah diberi VAR sebelumnya. Idealnya, sebagai tenaga kesehatan yang berhubungan dengan HPR sebaiknya diberi VAR terlebih dahulu agar tercipta antibodi pelawan rabies.
Kekhawatiran lainnya Maya adalah dia belum memiliki antibodi rabies. Sementara itu, anjing yang mengigitnya itu setelah disuntik memiliki antibodi. Permasalahannya, anjing tersebut mengigit sebelum diberi vaksin rabies.
Setelah 14 hari yang mencekam perasaannya, akhirnya Maya lega. Anjing tersebut tetap hidup. Observasi yang dilakukan menunjukkan anjing tersebut tidak menunjukkan gejala mengidap rabies.
Pada minggu ketiga setelah digigit, dia kemudian disuntik VAR secara lengkap. Sebagai petugas teknis di lapangan, dia merasakan betul perubahan yang terjadi antara sebelum dan sesudah penerapan "one health".
Lingkup kerja drh. Maya cukup luas meliputi empat kecamatan, yakni Delta Pawan, Benua Kayong, Matan Hilir Utara, dan Muara Pawan. Sebelum "one health" diterapkan, dia hanya fokus menangani HPR.
Ia tidak memperhatikan kondisi dari korban gigitan. Dia cukup menangani HPR serta memberikan vaksin rabies ke HPR sebagai upaya pencegahan.
Baca juga: Menyekat rabies dengan "one health"