Ubud (Antaranews Kalbar) - Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menilai salah satu isu terpenting yang harus dibahas dalam pertemuan telekomunikasi tingkat ASEAN di Ubud, Bali, adalah mengenai keamanan siber di tingkat regional ASEAN.
Saat ini di Ubud, Bali, berlangsung "Telecommunications and Information Technology Senior Officials Meeting (Telsom)" dan "ASEAN Telecommunications and Information Techology Ministers Meeting (Telmin)".
"Terutama mengenai keamanan siber, dari sepuluh negara ASEAN, semua setuju itu merupakan tantangan yang perlu dicarikan solusinya segera," kata Rudiantara saat ditemui di acara TELSOM TELMIN 2018 di Ubud, Bali, Rabu (5/12).
Baca juga: Situs torrent jadi sarana aksi penjahat siber
Rudiantara mengemukakan belum ada protokol yang berlaku di ASEAN, misalnya apa yang harus dilakukan sebuah negara jika negara tetangga terkena serangan siber, apakah hanya perlu melihat atau turut serta membantu. "Protokol itu harus segera dibuat," kata dia.
Selain masalah keamanan siber, Indonesia juga menyoroti masalah perlindungan data pribadi karena berkaitan dengan ekosistem ekonomi digital.
Uni Eropa tahun 2018 ini menerapkan undang-undang perlindungan data General Data Protection Regulation (GDPR). Ketika disunggung kapan ASEAN akan memiliki kebijakan serupa, Rudiantara berpendapat setiap negara anggota perlu memiliki undang-undang perlindungan data pribadi sebelum dibawa ke tingkat regional.
Baca juga: Indonesia dan Inggris kerja sama keamanan siber
Dia khawatir jika negara belum punya peraturan mengenai perlindungan data pribadi, akan kesulitan untuk mengikuti peraturan tingkat regional.
Indonesia baru akan membahas kebijakan perlindungan data pribadi tahun 2019 dan sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Menurut Rudiantara, GDPR adalah salah satu referensi untuk peraturan di Indonesia, dia juga mempelajari aturan di negara lain.
Salah satu konsep GDPR yang disoroti Rudiantara adalah mengenai "consent" atau persetujuan dari kedua belah pihak, penyedia layanan dan konsumen.
"GDPR itu lebih banyak pada 'consent'. Jadi, akan kita pakai sebagai salah satu rujukan. Kita juga belajar dari negara lain yang sudah ada (peraturan perlindungan data)," kata dia.