Jakarta (ANTARA) - Pemerintah dinilai perlu untuk benar-benar menyiapkan strategi besar dalam mengantisipasi dampak perang dagang antara dua raksasa global, Amerika Serikat dan China, yang akan berpengaruh terhadap kondisi perekonomian nasional.
Wakil Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah dalam rilis di Jakarta, Selasa, memperkirakan tekanan nilai tukar rupiah terhadap dolar masih belum mereda sebagai dampak dari kondisi ekonomi global yang belum membaik.
Said Abdullah menilai selain imbas normalisasi kebijakan moneter The Fed (bank sentral AS), pelemahan rupiah juga dipicu perang dagang antara China dan AS yang kemudian menjadi perang mata uang.
"Jadi, kalau dua negara raksasa ekonomi ini berperang, maka akan membuat arus perdagangan dan rantai pasar global terhambat. Alhasil, kinerja ekspor Indonesia pun berpeluang terganggu karena penurunan permintaan," katanya.
Untuk itu, politisi PDIP itu meminta pemerintah menyiapkan strategi besar karena China dan AS merupakan negara-negara tujuan ekspor terbesar Indonesia.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan pemerintah akan fokus mendorong ekspor industri tekstil dan produk tekstil (TPT) untuk memperbaiki neraca perdagangan pada semester I 2019 yang saat ini telah mencapai angka 1,90 miliar dolar AS.
"Peningkatan ekspor di tengah situasi yang tidak pasti ini, kami harus melakukannya," kata Enggartiasto saat ditemui usai rapat pembahasan RAPBN 2020 di Gedung DPR RI, Jakarta, Jumat (16/8).
Menurut dia, langkah strategis itu diambil dengan memanfatkan situasi perang dagang antara China dengan Amerika Serikat.
"Peluang itulah yang kami ambil, seperti halnya Indonesia dengan Amerika Serikat, ekspor TPT meningkat 20 persen, tetapi di sisi lain Indonesia impor kapas dari mereka. Semakin meningkat impor kapas, semakin meningkat pula TPT, jadi kami melihat peluang itu dengan mengambil market share dari China," ujarnya.
Selain itu, lanjut dia, pemerintah juga akan memanfaatkan peluang dari adanya relokasi industri yang terjadi di China dan Taiwan akibat dampak perang dagang tersebut.
"Kami ambil (relokasi industri) itu sebagai peluang, terutama dari sisi investasi, karena kalau tidak ada investasi maka Indonesia tidak mungkin bisa ekspor," ucapnya.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik merilis data neraca perdagangan Indonesia pada Juli 2019 yang masih mengalami defisit 63,5 juta dolar. Adapun secara akumulasi selama semester I 2019, neraca perdagangan itu defisit sebesar 1,9 miliar dolar.