Jakarta (ANTARA) -
Jika mengamati pemberitaan soal vaksin COVID-19 dalam beberapa bulan terakhir, kemungkinan hanya China yang berani mengatakan bahwa vaksin buatan mereka akan menjadi global public goods alias barang milik bersama yang dapat digunakan oleh seluruh warga dunia.
Sikap itu diutarakan langsung oleh Presiden China Xi Jinping saat membuka pertemuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) ke-73 yang diadakan secara virtual pada 18 Mei 2020.
“Vaksin COVID-19 yang dikembangkan di China, jika telah disetujui dan tersedia, akan menjadi barang publik yang dapat digunakan masyarakat dunia,” kata Xi. Ia menambahkan langkah itu akan menjadi kontribusi China untuk memastikan akses dan keterjangkauan vaksin COVID-19 bagi negara-negara berkembang.
Tidak hanya itu, Xi memastikan pengembangan vaksin COVID-19 di negaranya akan dilakukan secara terbuka dan China bersedia memperluas kerja sama dengan negara lain dan lembaga multilateral, khususnya WHO, untuk mempercepat pengembangan vaksin COVID-19.
Pengumuman yang disampaikan Presiden Xi menerima sambutan baik dan diapresiasi banyak pihak, mengingat China memiliki banyak informasi dan pengetahuan awal mengenai virus corona jenis SARS-CoV-2, penyebab COVID-19 karena penyakit itu diketahui pertama kali dilaporkan di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China, akhir tahun lalu.
Otoritas China pada 31 Desember 2019 memberi tahu WHO ada penyakit pneumonia yang sebabnya belum diketahui menjangkit puluhan orang di Kota Wuhan.
Adu cepat
Kurang dari empat minggu setelah China mengumumkan temuan itu ke masyarakat dunia, Pusat Penanggulangan dan Pencegahan Penyakit China pada 26 Januari 2020 mulai mengembangkan vaksin untuk virus yang saat itu masih disebut dengan 2019-nCoV. Saat itu, COVID-19 telah ditemukan di Thailand, Jepang, Australia, dan Amerika Serikat.
China tentunya jadi negara yang pertama memulai penelitian pengembangan vaksin COVID-19, meskipun beberapa ilmuwan dari negara lain, salah satunya Australia juga mulai mengembangkan kultur virus yang dapat menjadi sumber data pembuatan vaksin.
Sejumlah ilmuwan dari Peter Doherty Institute for Infection and Immunity, lembaga riset yang berpusat di Melbourne, Australia, pada 27 Januari mengumumkan mereka berhasil membuat kultur virus COVID-19 setelah mendapatkan sampel dari pasien pertama di negara tersebut.
Sebelum WHO menetapkan COVID-19 sebagai pandemi pada medio Maret, 20 calon vaksin telah dikembangkan di beberapa negara dunia, dan beberapa perusahaan serta lembaga riset China mendominasi daftar itu. Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus saat jumpa pers rutin di Jenewa, Swiss, pada 28 Februari mengumumkan lebih dari 20 calon vaksin telah dikembangkan dan tujuh calon obat COVID-19 telah memasuki tahapan uji klinis.
Data WHO per 9 September 2020 menunjukkan 35 calon vaksin telah memasuki uji klinis III, tahap akhir uji coba kandidat vaksin ke manusia sebelum produksi massal, dan 145 calon vaksin lainnya memasuki evaluasi praklinis.
Dari daftar tersebut, hampir setengah dari keseluruhan pembuat vaksin merupakan lembaga riset/universitas/perusahaan farmasi asal China.
Beberapa lembaga riset/perusahaan China yang tercatat dalam daftar WHO itu, di antaranya CanSino Biological Inc/Beijing Institute of Biotechnology; Sinovac; Wuhan Institute of Biological Products/Sinopharm; Anhui Zhifei Longcom Biopharmaceutical/Institute of Microbiology, Chinese Academy of Science; West China Hospital, Sichuan University; Beijing Wantai Biological Pharmacy/Xiamen University; dan People’s Liberation Army Academy of Military Sciences/Walvax Biotech.
Sejak bulan lalu, calon vaksin buatan Sinovac Biotech dan Sinopharm telah mengantongi izin penggunaan darurat dari Pemerintah China.
Di samping China, Rusia juga mengeluarkan izin untuk calon vaksin COVID-19 buatan Gamaleya Research Institute.
Di tengah pencapaian itu, otoritas di China juga meningkatkan kerja sama dengan banyak negara, termasuk Indonesia, untuk kerja sama produksi vaksin saat salah satu kandidat anti virus SARS-CoV-2 itu melewati tahapan uji coba terakhir, uji klinis III.
Nasionalisme China
Jika membayangkan nilai nasionalisme dalam definisi sempit, langkah China berbagi informasi dan bekerja sama dengan banyak negara dalam pengembangan vaksin tentu akan sulit dipahami. Namun, China justru menerjemahkan nasionalisme dalam pengertian yang lain, yaitu bagaimana perusahaan dan lembaga riset asal China jadi negara terdepan untuk menempatkan pengaruh Made in China di banyak negara dunia.
Nasionalisme semacam itu justru sejalan dengan paham multilateral yang mengedepankan inklusivitas dan kolaborasi daripada sikap eksklusif dan menutup diri.
Tabloid Global Times yang berada di bawah naungan harian People's Daily secara berkala menerbitkan opini dan tajuk rencana yang menunjukkan bagaimana China memahami nasionalisme dalam konteks upaya bersama menemukan vaksin COVID-19.
Dalam sebuah kolom opini yang diterbitkan Global Times bulan lalu, seorang pengamat hubungan internasional China, Hua Song menyebut langkah pemerintahnya berbeda dengan visi America First, slogan pemerintah AS di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump. Song menjelaskan China justru memilih kerja sama dan kolaborasi daripada menyimpan sendiri hasil penelitian dan pengembangan vaksin yang dibuat oleh lembaga pemerintah, kampus, dan perusahaan swasta.
Sementara itu, kantor berita resmi China, Xinhua, dalam tajuk rencananya pada 9 September 2020 kembali menunjukkan nasionalisme tidak lagi dipahami dalam pengertian sempit, melainkan nilai tersebut justru dapat sejalan dengan nilai-nilai keterbukaan dan inklusivitas.
"China telah menyebutkan dalam banyak kesempatan bahwa vaksin COVID-19 akan menjadi barang bersama saat anti virus itu tersedia, dan China akan berkontribusi memastikan ketersediaan serta keterjangkauan pengembangan vaksin, termasuk di antaranya negara-negara Afrika," tulis Xinhua dalam editorialnya.
Xinhua lanjut menyebutkan bagi China isu vaksin terkait dengan prinsip kerja sama yang saling menguntungkan atau win-win cooperation.
"Di tengah pandemi, tidak ada satu negara pun yang dapat mengklaim kemenangan seorang diri. China melihat isu vaksin dalam prinsip kerja sama yang saling menguntungkan, mengingat faktor kesehatan dan keselamatan dari banyak populasi itu saling terhubung," demikian editorial Xinhua.
Meskipun sikap China terkesan anti monopoli vaksin, tentu perlu diwaspadai bagaimana dominasi China dalam produksi anti virus dapat menjadikan banyak negara bergantung pada superioritas China.
Oleh karena itu, kemandirian dalam memproduksi vaksin, yang tidak seluruhnya bergantung pada China, juga perlu diwujudkan. Ada satu adagium yang cukup terkenal untuk situasi semacam itu: "There's no free lunch". Artinya, sikap dermawan China berbagi calon vaksin COVID-19 juga punya maksud lain yang perlu jadi perhatian banyak negara, termasuk Indonesia.
Melihat nasionalisme terselubung China dalam slogan "vaksin untuk semua"
Senin, 14 September 2020 5:09 WIB