Jakarta (ANTARA) - Oktober adalah bulan dimulainya musim hujan, demikian kalender musim yang sudah dipahami masyarakat.
Pelajaran pada jenjang sekolah paling dini hingga menengah juga ditanamkan mengenai periode musim.
Indonesia yang berada di garis khatulistiwa, berlaku dua musim, yakni hujan dan kemarau.
Pada dua musim itu ada semacam periodisasi yakni musim hujan pada Oktober-April, sedangkan kemarau pada April-September.
Namun periodisasi itu kadang tidak "pas" (tepat) betul karena kadang ada pergeseran dan penyimpangan, misalnya, pada Juli-Agustus tahun ini beberapa daerah justru dilanda hujan deras yang menyebabkan banjir.
Pada September lalu, banjir melanda beberapa wilayah seperti Lubuk Linggau (Sumatera Selatan), Minahasa Tenggara (Sulawesi Utara) serta Lebak dan Rangkasbitung (Banten).
Selain itu Luwu (Sulawesi Selatan) dan Palangkaraya (Kalimantan Tengah).
Semua itu menunjukkan bahwa periode musim saat ini tidak mutlak karena adanya penyimpan atau pergeseran tadi.
Namun, pergeseran atau penyimpangan itu tetap saja ada dampaknya. Apalagi tak jarang hujan deras menimbulkan banjir, bahkan banjir bandang yang dampaknya lebih dahsyat dari banjir biasa.
Karena itu, kini menangani dampak banjir sepertinya telah menjadi pekerjaan sepanjang tahun. Artinya, tidak semata-mata berpatokan pada periode musim tetapi sewaktu-waktu.
Warga daerah rawan banjir pun perlu mengubah pemahaman bahwa musibah banjir tak lagi semata-mata pada musim hujan. Kini antisipasi banjir juga perlu dilakukan sepanjang tahun.
Dengan demikian, jika sewaktu-waktu banjir datang, warga sudah tahu apa yang harus dilakukan. Juga tahu langkah penyelamatan harta benda dan jalur evakuasi sehingga dampak buruknya dapat ditekan seminimal mungkin.
Rawan banjir
DKI Jakarta, seperti sudah banyak diketahui publik, juga merupakan wilayah yang rawan banjir. Bisa dikatakan, banjir terjadi setiap tahun.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta telah menjadikan langkah dan upaya mengantisipasi musibah itu seperti pekerjaan rutin.
Setiap tahun sumber daya tidak sedikit dikerahkan untuk mengantisipasi dan mengatasinya.
Hari-hari ini kesibukan mengantisipasi banjir terlihat di berbagai lokasi seperti pengerukan sungai, waduk dan saluran atau drainase.
Pengerahan peralatan dilakukan secara besar-besaran dengan dukungan personel yang optimal.
Pengerahan sumber daya dalam kegiatan itu merupakan inti dari "Gerebek Lumpur" untuk mengantisipasi banjir.
Menurut Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, "gerebek lumpur" terus dilakukan secara masif dan serentak di lima wilayah kota Jakarta sampai Desember 2021.
Kegiatan ini telah dimulai sejak 24 Maret 2021 di wilayah Jakarta Timur dan dilanjutkan di empat wilayah kota lainnya secara bertahap mulai September hingga Desember 2021.
"Gerebek Lumpur" adalah salah satu upaya pengerukan sedimen lumpur dan sampah pada saluran air, sungai dan kali di Jakarta. Pengerukan dilakukan dengan alat berat dan pendukung lainnya.
Setidaknya 408 personel dari lima wilayah kota dilibatkan dalam kegiatan ini. Mereka dilengkapi 46 alat berat berjenis ekskavator amfibi dan 123 truk jungkit (dump truck).
Pengerukan sedimen lumpur dan sampah ini dilakukan sebagai upaya meningkatkan volume tampungan air di sungai pada saat musim hujan serta melancarkan aliran air yang tersumbat sampah.
Akan tetapi, meski sudah ada kegiatan ini, tetap perlu peran dan kerja sama warga untuk disiplin membuang sampah pada tempatnya.
Selain itu menjaga kebersihan lingkungan untuk mencegah terjadinya genangan saat musim hujan.
Masyarakat harus aktif memantau kondisi sungai di sekitar kediamannya untuk kemudian ditindaklanjuti oleh Pemprov DKI berdasarkan laporan masyarakat.
"Bantu kami untuk bantu Anda," kata Anies saat meninjau pengerukan lumpur di Kali Krukut.
Kalau melihat sungai atau kali di dekat rumah penuh lumpur dan sampah, warga diminta memfoto. Lalu laporkan lewat aplikasi JAKI dan langsung ditindaklanjuti oleh Pemprov DKI.
Enam jam
Seperti tahun lalu, Pemprov DKI Jakarta menargetkan genangan air saat musim hujan di Ibu Kota surut dalam waktu kurang dari enam jam setelah hujan berhenti.
Namun Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BPBD DKI Sabdo Kurnianto mengatakan, target itu diharapkan tercapai apabila curah hujan tidak lebih dari 100 milimeter atau tidak dalam keadaan hujan ekstrem.
"Kecuali hujan ekstrem karena kami punya drainase itu hanya (menampung) 100 mm hujan," katanya.
Untuk mencapai target itu, Pemprov DKI sudah melakukan mitigasi banjir, antara lain pengerukan sungai dan waduk untuk menampung debit air lebih besar ketika musim hujan.
Dengan mitigasi itu pula, risiko bencana banjir diharapkan dapat ditekan termasuk mencegah korban jiwa berjatuhan. Pengerukan lumpur bertujuan untuk memperlancar aliran air.
Artinya, semakin lancar aliran, maka genangan atau banjir semakin cepat surut sehingga dampaknya dapat ditekan seminimal mungkin.
Berdasarkan data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), puncak musim hujan diperkirakan terjadi pada Januari hingga Februari 2022.
Di sisi lain, seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) DKI Jakarta diharapkan saling berkolaborasi dalam melaksanakan mitigasi potensi bencana banjir.
Yang jelas Pemprov DKI sudah rutin menghadapi musim hujan. Artinya sudah punya banyak pengalaman.
Harapannya tak ada lagi banjir di Ibu Kota. Jika tahun ini banjir akhirnya datang juga maka penanganannya perlu lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.
Melihat upaya antisipasi banjir di Jakarta
Minggu, 3 Oktober 2021 0:54 WIB