Pontianak (ANTARA) - Wali Kota Pontianak, Edi Rusdi Kamtono mengatakan bahwa Pemerintah Kota (Pemkot) Pontianak berkomitmen untuk mengikis gratifikasi karena dampak negatif pada orang yang menerimanya sebab dapat mempengaruhi integritas dan profesionalismenya.
"Gratifikasi harus dihindari dan dianggap sebagai tindakan yang tidak etis. Pemkot Pontianak berkomitmen mengikis gratifikasi," ujarnya pada sosialisasi pengendalian gratifikasi bagi pegawai negara dan BUMD lingkup Pemkot Pontianak yang disampaikan oleh KPK RI di Aula Sultan Syarif Abdurrahman (SSA) Kantor Wali Kota, Senin.
Edi juga menambahkan, capaian Monitoring Center for Prevention (MCP) Pemkot Pontianak memperoleh nilai 90,05 persen di 2022. MCP merupakan aplikasi atau dashboard yang dikembangkan oleh KPK untuk melakukan pemantauan capaian kinerja program pencegahan korupsi melalui perbaikan tata kelola pemerintahan yang dilaksanakan pemerintah daerah di seluruh Indonesia.
"Jajaran Pemkot Pontianak berupaya untuk meningkatkan MCP melalui perbaikan dan evaluasi serta capaian-capaian target sebagai cerminan pelaksanaan pelayanan publik atau tata kelola di Pemerintahan Kota Pontianak," ungkapnya.
Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Direktorat dan Pelayanan Publik KPK RI, Muhammad Indra Furqon, menjelaskan, pemahaman makna gratifikasi oleh masyarakat memang masih sangat minim. Betapa tidak, di 2019, KPK melakukan survei partisipasi publik. Hasil dari survei itu ternyata hanya 37 persen saja masyarakat yang paham apa itu gratifikasi. Sedangkan 63 persennya tidak paham makna gratifikasi.
"Karena dari survei yang kami lakukan, banyak masyarakat yang termasuk dalam 63 persen itu beranggapan gratifikasi ini cabang ilmu pengetahuan alam," ungkapnya.
Oleh karena ketidakpahaman itulah, lanjutnya lagi, menjadi satu di antara penyebab, hanya 13 persen yang pernah melaporkan soal gratifikasi di 2019. Di beberapa tempat, ada yang mengklaim bahwa mereka tidak melaporkan karena di tempatnya nihil gratifikasi. Ternyata pendapat itu terbantahkan oleh Survei Penilaian Integritas di tahun yang sama, yang mana gratifikasi ditemukan di 91 persen peserta survei.
Baca juga: Pembangunan IKN dipastikan bebas korupsi
"Artinya gratifikasi itu ada, hanya belum mau lapor saja," sebut Indra.
Lebih lanjut, dia bilang, selain ketidakpahaman, penyebab lainnya orang tidak melaporkan gratifikasi adalah karena takut. Sehingga gratifikasi ini masih terjadi akibat tidak banyak yang melaporkannya.
"Soal gratifikasi, ada beberapa perspektif yakni perspektif logika, etika, agama dan hukum," tuturnya.
Menurutnya, dalam kaitan gratifikasi, tidak ada kriteria atau batasan nilai dari uang atau barang yang diberikan sebab gratifikasi luas maknanya. Sekecil apapun itu nilainya, kalau sudah termasuk kategori gratifikasi maka itu adalah gratifikasi.
Gratifikasi korelasinya dengan pelayanan publik, bisa menghancurkan sistem dan timbulnya diskriminasi dalam pelayanan publik. Kaitan dengan perizinan, perizinan itu harus transparan. Misalnya mulai dari persyaratan, berapa lama prosesnya, berapa biayanya, diumumkan di website, poster, media sosial dan sebagainya. Jika tidak ada transparansi, inilah yang menjadi pintu masuk gratifikasi.
"Tidak pantas kita sebagai pegawai negeri atau pejabat publik menerima pemberian atas pelayanan yang kita berikan karena hak berupa gaji dan insentif sudah kita terima, sementara pelayanan yang diberikan sudah menjadi tugasnya," tegasnya.
Baca juga: Mantan pejabat BPN Kalbar segera disidang di pengadilan tipikor
Baca juga: KPK amankan barang bukti kasus gratifikasi, TPPU Puput Tantriana Sari