Jakarta (ANTARA) - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Ad Interim Erick Thohir menekankan aksi perlindungan terhadap laut merupakan upaya krusial dalam mengatasi perubahan iklim.
“Kita tidak dapat melakukan mitigasi perubahan iklim tanpa aksi laut," ujar Erick dalam World Economic Forum (WEF) Ocean Pavilion at United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) The 28th Conference of the Parties (COP28) di, Dubai, UEA, Kamis (30/11), sebagaimana keterangan di Jakarta, Jumat.
Dalam kesempatan itu, Erick menegaskan komitmen Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim. Indonesia merupakan penjaga lautan dunia dengan lebih dari 70 persen wilayah berupa lautan.
Erick menyebut perairan Indonesia merupakan rumah bagi sebagian besar terumbu karang, lamun, dan bakau global, yang dapat memulihkan setidaknya 17 persen karbon biru global.
"Laut mengatur iklim kita dan secara signifikan dapat menahan dampak terburuk perubahan iklim, dengan menyerap emisi karbon dioksida dan panas dari atmosfer yang disebabkan aktivitas manusia," sambungnya.
Erick mengatakan perubahan suhu laut mempengaruhi pola migrasi ikan dan mengganggu musim penangkapan ikan tradisional. Indonesia, sambungnya, juga mengambil langkah konkret dalam mengatasi pencemaran ekosistem laut akibat plastik dan dapat merusak ekosistem laut.
"Untuk melindungi lautan dan keanekaragaman hayati lautnya, Indonesia telah menetapkan hampir 10 persen lautan sebagai kawasan perlindungan laut," lanjutnya.
Erick mengatakan pemerintah bahkan mengalokasikan 30 persen lautan Indonesia sebagai kawasan perlindungan laut pada 2045. Selain itu, Indonesia telah melaksanakan proyek restorasi terumbu karang untuk memitigasi dampak pemutihan karang dan hutan bakau sebagai sumber karbon biru penting yang dapat melindungi wilayah pesisir.
"Dunia akan mendapatkan manfaat dari 3,36 juta hektare hutan bakau kita dan 1,8 juta hektare padang lamun. Tak hanya itu, selain manfaat ekologis, ekosistem karbon biru juga dapat mendukung penghidupan pesisir," ucapnya.
Erick mengatakan polusi plastik menjadi salah satu prioritas pemerintah lewat rencana aksi nasional penanganan sampah plastik di laut sejak 2019. Upaya tersebut berdampak signifikan dalam mengurangi kebocoran sampah plastik laut sekitar 36 persen pada akhir 2022.
"Dengan dukungan dari para mitra, kami optimistis dapat mencapai target pengurangan sebesar 70 persen pada akhir tahun 2025 dan polusi plastik near zero pada 2040," sambung Erick.
Erick menyebut mitigasi perubahan iklim memerlukan upaya kolaboratif komunitas internasional. Erick pun mengapresiasi upaya kolaboratif WEF dan Indonesia pada agenda kelautan (Ocean20) dalam G20 dalam membangun platform kolaborasi multi pemangku kepentingan untuk mengatasi polusi plastik laut melalui kemitraan aksi plastik nasional, serta inisiatif baru mengenai pengelolaan karbon biru.
"Sekarang saatnya beraksi. Warisan kita bisa berupa ketahanan, tanggung jawab, dan komitmen untuk memelihara lautan, demi bangsa kita, dunia, dan generasi mendatang," kata Erick.