Jakarta (ANTARA) - Aspek keamanan di dunia maya atau cyber security menjadi penekanan penting pada penyelenggaraan Pemilu kali ini, karena itu peraturan perundang-undangan atau regulasi hukum harus mengejar kemajuan perkembangan dan transformasi teknologi.
Hal tersebut diungkapkan oleh Kepala Pusat Studi Cyber Law dan Transformasi Digital Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Dr. Tasya Safiranita Ramli, SH, M.H, kepada ANTARA yang menghubungi dari Jakarta, Kamis.
Tasya menjelaskan bahwa era transformasi digital saat ini membuat semua hal sudah bisa dikolaborasikan dengan teknologi. Meski demikian, kondisi hukum di Indonesia selalu tertinggal dari teknologi.
"Maka, hukum harus bisa mengejar teknologi sebagai bentuk atau wujud dari infrastruktur yang memang mendukung untuk apa pun yang terjadi di dalam dunia nyata," ujar Tasya.
Dosen di Departemen Teknologi Informasi Komunikasi dan Kekayaan Intelektual (TIK dan KI) Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran itu kemudian mencontohkan bagaimana kebijakan teknologi kecerdasan artifisial (AI) dapat dimanfaatkan pada sistem penghitungan suara dalam Pemilu.
Dalam kaitannya dengan keamanan di dunia maya, Tasya melanjutkan, setiap aktivitas teknologi tersebut juga mesti mengacu pada Undang-undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi.
Dia mengatakan, semisal, robot, software, atau siapa pun yang mengendalikan AI, harus mematuhi azas-azas perlindungan data pribadi sebagai basis legal dari pemrosesan data pribadi. Hal tersebut bisa dilihat dari Pasal 3 sampai Pasal 20. Jadi, larangan penggunaan data pribadi orang lain untuk keuntungan pribadi, papar Tasya, sangat jelas termaktub pada Pasal 65 dan Pasal 66 peraturan tersebut.
"Selain itu, nggak ada yang nggak mungkin pada saat Pemilu nanti, ternyata di suatu kampung terdapat 100 anggota masyarakat yang memiliki KTP, tetapi yang mencoblos hanya ada 70 orang. Sistem AI bisa memanfaatkan sisa 30 itu untuk ikut mencoblos dan memilih seseorang. Nah, inilah yang termasuk dalam larangan penggunaan data pribadi atau pemprosesan data pribadi," tegas dia.
Peneliti kelahiran Bandung 12 Juli 1988 tersebut menambahkan bahwa disrupsi digital pada penyelenggaraan Pemilu memang menjadi satu paradigma dengan nilai fundamental dalam kehidupan sosial masyarakat dan terkait erat dengan aspek regulasi. Pemanfaatan teknologi, juga harus dilihat secara bijak dan tepat sehingga memberikan manfaat untuk kepentingan bersama.
Ia juga mengapresiasi kolaborasi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang turut bekerja sama dengan sejumlah pihak termasuk Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) guna melahirkan regulasi paling tepat terkait pengaturan keamanan di dunia maya.
"Kemenkominfo sudah banyak bekerja sama dengan KPU dan BSSN dengan meramu berbagai tindakan. Tahun ini kami juga diminta BSSN untuk mengkaji regulasi siber. BSSN meminta bahwa Indonesia harus memiliki satu pengaturan undang-undang atau regulasi tentang cyber security dalam platform yang bisa digunakan untuk Pemilu, penggunaan AI, dan lain-lain. Sampai hari ini, pengaturan AI pada platform baru diatur dalam Surat Edaran Menkominfo," tutur Tasya.
Lebih lanjut Tasya pun berharap agar penyelenggaraan pesta demokrasi kali ini dapat memunculkan pemimpin yang amanah, jujur, dan bisa membawa Indonesia jauh lebih baik berbekal aturan hukum yang dapat mengimbangi perkembangan teknologi.
"Indonesia mungkin masih masuk dalam negara berkembang, namun kita bisa terus running terkait ketertinggalan tadi. Kalau kita katakan bahwa hukum masih tertinggal dari teknologi, maka harapannya hukum bisa mengimbangi teknologi. Mudah-mudahan para pemimpin kita bisa mewujudkan hal tersebut karena pada era transformasi digital sekarang, kita tidak mungkin meninggalkan teknologi," imbuh Tasya.