Jakarta (ANTARA) - Wakil Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Alexandra Askandar mengatakan investasi untuk mendukung penanganan perubahan iklim masih dinilai mahal oleh pemangku kepentingan bisnis meskipun memiliki manfaat jangka panjang yang nyata.
“Investasi terkait climate ini dinilai masih mahal. Mengapa hal itu dinilai mahal ? Karena biaya yang harus kita keluarkan di saat ini lebih besar daripada manfaat jangka pendeknya. Padahal, kita sama-sama pasti meyakini bahwa manfaat jangka panjangnya jelas dan nyata,” kata Alexandra saat bincang-bincang bersama media di Jakarta, Kamis.
Sebagai green market leader dengan pangsa pasar lebih dari 30 persen di Indonesia, Alexandra mengungkapkan terdapat berbagai tantangan yang dihadapi Bank Mandiri dalam mendukung target Indonesia menuju ekonomi rendah karbon, khususnya dalam mempromosikan investasi iklim.
Menurut dia, tantangan terbesar yang dihadapi saat ini yaitu menyeimbangkan antara peluang dan kepatuhan regulasi dalam pembiayaan iklim.
Alexandra mengatakan, tidak semua pemangku kepentingan menganggap investasi terkait iklim sebagai prioritas mengingat kepentingan bisnis tetap menjadi perhatian utama bagi pelaku industri dan bank komersial.
“Itulah yang menjadi tantangan nyata buat kita, bagaimana kita bisa mendorong para stakeholder, khususnya juga nasabah Bank Mandiri dan debitur Bank Mandiri mulai bertransisi ke arah yang lebih bersifat hijau,” ujar dia.
Salah satu dukungan yang dibutuhkan, jelas Alexandra, yaitu kebijakan kuat yang dapat menjadi pemicu utama untuk mendorong pembiayaan iklim.
Menurut dia, penting untuk membuat hal ini lebih menarik bagi semua pihak melalui mekanisme insentif dan pengurangan biaya untuk mendorong semua pihak bergerak menuju praktik bisnis yang lebih hijau, seperti insentif proyek hijau atau pajak karbon.
Sebagai salah satu kunci pendorong (key driver), Alexandra memandang bahwa mekanisme pajak karbon (carbon tax) dapat menjadi dukungan untuk meningkatkan permintaan pembiayaan hijau.
Mekanisme pajak karbon memberikan konsekuensi finansial tertentu bagi bisnis yang menghasilkan emisi tinggi dan insentif bagi bisnis yang beralih menuju praktik berkelanjutan.
“Sinergi antara penetapan pajak karbon dan pembiayaan hijau memainkan peran penting untuk mempercepat transisi global menuju ekonomi rendah karbon,” ujar Alexandra.
Ia mencontohkan negara tetangga seperti Singapura yang memperkenalkan pajak karbon pada tahun 2019 dan memiliki berbagai kebijakan serta insentif terkait investasi hijau.
Singapura telah menunjukkan pertumbuhan yang sangat baik, dengan memiliki porsi investasi hijau yang relatif besar di Asia Tenggara atau lebih dari 20 persen total investasi hijau antara tahun 2020 sampai dengan 2023.
“Singapura yang sudah mengenakan carbon tax mulai dari tahun 2019. Dan dalam kurun waktu yang relatif pendek, 2020-2023, investasi terkait dengan green projects di negara Singapura itu kelihatan sekali sangat signifikan,” jelas Alexandra.
Alexandra optimis Indonesia memiliki perkembangan yang juga baik. Meskipun kebijakan pajak karbon masih dalam tahap pengembangan, regulator telah melakukan uji coba Sistem Perdagangan Emisi (ETS) di sektor energi dan memulai perdagangan karbon di bursa karbon pada tahun 2023.
“Sekali lagi, menyeimbangkan antara peluang dan kepatuhan regulasi adalah hal yang krusial. Kami percaya bahwa beralih dari partisipasi voluntary menjadi mandatory dapat meningkatkan dampak kolektif kami dan memperkuat upaya keberlanjutan kami,” kata Alexandra.