Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana memberi penilaian atas pernyataan Presiden AS Joe Biden menyoal ASEAN sebagai pusat Indo Pasifik yang bebas dan terbuka, menyusul pernyataan bersama RI dan China terkait Laut China Selatan (LCS) pada 9 November 2024.
Pasca pertemuan Presiden Prabowo Subianto dengan Presiden China Xi Jinping itu, kedua pemerintahan mencapai kesepakatan tentang pengembangan bersama wilayah maritim yang saat ini tengah berada dalam situasi klaim yang tumpah tindih.
Hikmahanto menuturkan meski Kementerian Luar Negeri sudah menjelaskan bahwa maksud pengembangan bersama pada pernyataan itu bukan berarti Indonesia mengakui klaim sepihak China mengenai sembilan garis putus-putus, namun bagi AS dan negara-negara di ASEAN hal tersebut masih menimbulkan pertanyaan.
“Kenapa Joe Biden tiba-tiba bicara soal FOIP (Indo-Pasifik Bebas dan Terbuka), jadi selama ini China mau mengakui wilayah di Laut China Selatan. Nah kemudian dia cerita South China Sea, ini bacaan dari Amerika, Indonesia jatuh ke tangan China,” kata Hikmahanto saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Rabu.
Guru besar UI itu menjelaskan di kawasan ASEAN, banyak negara yang berkonflik dengan China terkait sembilan garis putus, negara-negara tersebut adalah Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, dan Vietnam.
Sementara itu, AS selalu berada di belakang Vietnam dan Filipina jika China ingin melakukan serangan terkait konflik Laut China Selatan.
“Intinya adalah jangan kemudian Indonesia terus memikirkan diri sendiri, tapi kita punya tanggung jawab bersama. Dari sisi ekonomi Indonesia mungkin dapat banyak dari China, tapi kita punya tanggung jawab bersama di kawasan. Kira-kira begitu menurut Biden,” ucap Hikmahanto.
Adapun pada pernyataan bersama yang dirilis Gedung Putih seusai pertemuan antara Presiden Prabowo dan Presiden Biden dalam rangka memperingati 75 tahun hubungan diplomatik RI-AS, disampaikan kedua pemimpin berjanji untuk bekerja guna memastikan Indonesia yang kuat, tangguh, dan sejahtera.
Prabowo dan Biden sama-sama menggarisbawahi komitmen bersama untuk mendorong perdamaian dan stabilitas di Asia Tenggara dan kawasan Indo-Pasifik.
Kedua pemimpin menekankan dukungan teguh untuk menegakkan kebebasan navigasi dan penerbangan, serta menghormati hak-hak kedaulatan dan yurisdiksi negara pesisir atas zona ekonomi eksklusif.
Kesemua itu sesuai dengan hukum laut internasional, seperti yang tercermin dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS).
Keduanya juga mengakui pentingnya pelaksanaan penuh dan efektif Deklarasi Perilaku Pihak-Pihak di Laut China Selatan 2002.
Selain itu kedua pemimpin juga mendukung upaya ASEAN mengembangkan Kode Etik yang efektif dan substansial di Laut China Selatan yang mematuhi hukum internasional, khususnya UNCLOS, dan menghormati hak serta kepentingan pihak ketiga.