Istanbul (ANTARA) - China menyebut pernyataan Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. membesar-besarkan situasi maritim di Laut China Selatan (LCS).
"Pernyataan tersebut mengabaikan sejarah dan fakta serta dirancang untuk memperkuat posisi Filipina yang salah," kata Kementerian Luar Negeri China dalam sebuah pernyataan, Senin.
Berbicara dalam Dialog Shangri-la di Singapura mengenai perselisihan di LCS, Presiden Marcos Jr. mengatakan jika dengan tindakan yang disengaja seorang warga negara Filipina, bukan hanya prajurit militer, terbunuh maka itu berarti perang.
"Oleh karena itu, kami akan menanggapi dengan sebagaimana mestinya," kata Marcos Jr.
Menanggapi pernyataan itu, China menyebut komentar Marcos Jr. dirancang untuk sengaja mendistorsi dan membesar-besarkan situasi maritim.
Hubungan Manila dan Beijing semakin memburuk akibat perselisihan yang sudah berlangsung lama mengenai wilayah di LCS.
China telah menembakkan meriam air untuk menghentikan kapal-kapal Filipina mencapai pulau-pulau yang disengketakan di perairan tersebut.
“Kedaulatan teritorial dan hak serta kepentingan maritim China di Laut China Selatan didasarkan pada dasar sejarah dan hukum yang kuat,” kata Kemlu China.
Kementerian itu menilai patroli China, penegakan hukum, dan kegiatan produktif di perairan di bawah yurisdiksi Beijing telah sesuai dengan hukum internasional, termasuk Konvensi PBB tentang Hukum Laut, sehingga kegiatan tersebut tidak dapat dikritisi.
“Khususnya, didorong oleh perhitungan geopolitik yang egois, AS telah memainkan peran yang sangat tercela dengan mendukung dan membantu Filipina dalam melanggar kedaulatan China, dan dengan mengeksploitasi masalah Laut China Selatan untuk menciptakan perpecahan antara China dan negara-negara lainnya di kawasan,” kata kementerian tersebut.
Kemlu China menilai putusan arbitrase mengenai LCS adalah ilegal dan batal demi hukum.
"Tanggung jawab atas eskalasi baru-baru ini di Laut China Selatan sepenuhnya berada di pihak Filipina," kata kementerian tersebut.
Beijing mengklaim wilayah maritim yang luas di Laut China Selatan berdasarkan apa yang disebut sembilan garis putus-putus.
Klaim tersebut, menurut putusan Pengadilan Arbitrase Internasional pada 2016, tidak memiliki dasar hukum berdasarkan hukum internasional.
China mengatakan putusan itu tidak sah dan telah berunding dengan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) sejak 2002 untuk menyusun tata perilaku di laut yang disengketakan itu.
Sumber: Anadolu