Yogyakarta (ANTARA) - Mantan Direktur Utama (Dirut) PT Taru Martani Nur Achmad Affandi divonis 8 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Yogyakarta terkait dengan perkara tindak pidana korupsi pengelolaan operasional BUMD itu.
Putusan majelis hakim yang diketuai Wisnu Kristiyanto dibacakan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Yogyakarta, Kamis.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Nur Achmad Affandi dengan pidana penjara selama 8 tahun dikurangi selama terdakwa ditahan dengan perintah terdakwa tetap ditahan," kata hakim.
Nur Achmad dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan primer melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Tak hanya pidana penjara, Nur Achmad turut dijatuhkan pidana denda sebesar Rp100 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan.
Mantan Direktur PT Taru Martani itu juga dihukum untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp17,4 miliar paling lama dalam waktu 1 bulan sesudah putusan berkekuatan hukum tetap atau inkrah.
Jika dalam waktu 1 bulan sejak putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap terdakwa tidak membayar uang pengganti, harta bendanya disita oleh jaksa dan dilelang untuk membayar uang pengganti.
"Apabila harta benda yang disita tidak cukup untuk membayar uang pengganti, terdakwa menjalani pidana penjara sebagai pengganti dari uang pengganti selama 2 tahun penjara," ujar hakim.
Vonis hakim untuk hukuman penjara tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) Kejati DIY, yakni 13 tahun.
Demikian pula vonis hukuman uang pengganti lebih ringan dari tuntutan jaksa, yakni Rp18,4 miliar.
Kasi Penerangan Hukum Kejati DIY Herwatan menjelaskan bahwa Nur Achmad saat menjabat Direktur PT Taru Martani telah melakukan investasi melalui perdagangan berjangka komoditas berupa kontrak berjangka emas (emas derivatif) dengan PT Midtou Aryacom Futures selaku perusahaan pialang, yang sumber dananya berasal dari PT Taru Martani tanpa melalui persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Kasus itu disebutkan terjadi dalam kurun waktu 2022 hingga Mei 2023.
Menurut Herwatan, mulanya terdakwa melakukan pembukaan rekening pada PT Midtou Aryacom Futures Yogyakarta dengan deposit awal sebesar 10.000 dolar AS yang berasal dari dana pribadi terdakwa.
Untuk memenuhi target, terdakwa kemudian melakukan pembukaan rekening lagi dengan deposit awal sebesar Rp10 miliar yang sumber dananya berasal dari uang kas PT Taru Martani. "Namun, akun tetap atas nama pribadi terdakwa," ujar Herwatan.
Selaku direktur perusahaan cerutu tersebut, Nur kemudian memerintahkan Kepala Divisi Keuangan PT Taru Martani untuk mentransfer dana dari rekening PT Taru Martani ke rekening PT Midtou Aryacom Futures dalam rangka kerja sama investasi, secara bertahap hingga jumlah total Rp8,7 miliar.
Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan PT Taru Martani Tahun Buku 2022 yang ditetapkan dalam RUPS dan dituangkan dalam Berita Acara RUPS PT Taru Martani, tidak terdapat rencana investasi trading.
"Akibat perbuatan terdakwa merugikan keuangan negara," ujar Herwatan.