Beijing (ANTARA) - Pemerintah China kembali menjatuhkan sanksi kepada sejumlah perusahaan militer dari Amerika Serikat (AS) terkait bantuan persenjataan untuk Taiwan.
"Baru-baru ini Amerika Serikat sekali lagi, memberikan bantuan militer dan penjualan senjata dalam jumlah besar ke Taiwan yang masuk dalam wilayah China," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning dalam konferensi pers di Beijing, Jumat (27/12).
"Pemerintah China memutuskan untuk mengambil tindakan balasan terhadap tujuh perusahaan pertahanan AS dan eksekutif senior terkait," demikian Mao Ning menambahkan.
Pada 20 Desember 2024, Presiden AS Joe Biden menyetujui bantuan militer senilai 571,3 juta dolar AS (sekitar Rp9,3 triliun) untuk Taiwan berupa barang dan jasa pertahanan Departemen Pertahanan AS, serta pendidikan dan pelatihan militer kepada Taiwan.
"Selain itu, Undang-Undang Otorisasi Pertahanan Nasional Amerika Serikat untuk tahun anggaran 2025 juga memuat larangan tertentu terhadap China," ungkap Mao Ning.
Kedua hal tersebut, menurut Mao Ning, melanggar Tiga Komunike bersama China-AS, mencampuri urusan dalam negeri China dan secara serius melemahkan kedaulatan dan kesatuan teritorial China.
"Mengupayakan 'kemerdekaan Taiwan' pasti akan gagal. Apa yang telah dilakukan AS untuk membantu upaya 'kemerdekaan Taiwan' dengan mempersenjatai Taiwan hanya akan menjadi bumerang," ungkap Mao Ning.
Mao Ning menyebut tindakan AS yang menerapkan larangan-larangan terhadap China dipenuhi dengan mentalitas "zero-sum" dan bias ideologis Perang Dingin tanpa dasar faktual dengan memainkan narasi "ancaman dari China".
Selanjutnya, Mao Ning menyatakan,"Menyerukan dukungan militer kepada Taiwan dan mencari alasan untuk meningkatkan pengeluaran militer maupun mempertahankan hegemoni akhirnya hanya mengganggu perdamaian dan stabilitas regional."
"Kami mendesak AS untuk mematuhi prinsip 'Satu China' dan ketentuan dalam tiga komunike bersama China-AS, khususnya Komunike 17 Agustus 1982, segera berhenti mempersenjatai Taiwan dalam bentuk apa pun," Mao Ning menegaskan.
Dia juga menyebutkan dua komunike lainnya yakni memandang perkembangan hubungan China-AS secara objektif dan secara rasional agar tidak menerapkan pasal-pasal negatif mengenai China dan menghentikan pernyataan dan perbuatan salah yang merugikan kepentingan China.
Mao Ning pun menegaskan China akan terus mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk secara tegas menjaga kedaulatan, keamanan dan kepentingan pembangunannya.
Dalam pengumuman di laman Kementerian Luar Negeri China disebutkan "Sesuai dengan Pasal 3, 4, 5, 6, 9, dan 15 Undang-Undang Anti-Sanksi Asing Republik Rakyat China, China telah memutuskan untuk mengambil tindakan balasan terhadap perusahaan industri militer dan manajer senior AS".
Tindakan tersebut adalah, pertama, membekukan barang bergerak, properti dan kepemilikan lain di dalam wilayah China.
Kedua, melarang organisasi dan individu di dalam wilayah negara China untuk terlibat dalam transaksi, bekerja sama, maupun kegiatan lain yang relevan dengan perusahaan atau individu yang terkena sanksi.
Adapun perusahaan militer tersebut adalah Insitu, Inc; Hudson Technologies, Co; Saronic Technologies, Inc; Raytheon Canada (anak perusahaan Raytheon yang berbasis di Kanada); Raytheon Australia (anak perusahaan Raytheon yang berbasis di Australia); Aerkomm Inc, dan Oceaneering International.
Sanksi tersebut mulai berlaku pada 27 Desember 2024. Selain itu, China telah menjatuhkan sanksi ke perusahaan-perusahaan dan individu lain dari AS terkait penjualan persenjataan ke Taiwan.
Pada 5 Desember 2024 lalu, China juga telah menjatuhkan sanksi kepada 13 perusahaan senjata asal AS karena AS menyetujui usulan penjualan suku cadang untuk F-16 dan sistem radar, serta peralatan komunikasi, ke Taiwan, dalam kesepakatan dengan nilai total 385 juta dolar AS (sekitar Rp6,24 triliun) pada 29 November 2024.
Sementara pada Juni 2024, Badan Kerja Sama Keamanan Pertahanan AS pada Juni 2024 juga mengumumkan persetujuan atas penjualan persenjataan hingga 720 unit Switchblade 300, 291 unit ALTIUS 600M-V ke Taiwan, 101 unit sistem pengendalian tembakan SB300 dan peralatan lain.
Peralatan tersebut diperkirakan bernilai hingga 300 juta dolar AS (sekitar Rp4,7 triliun), sedangkan sistem anti-tank guided weapon (ATGW) dan peralatan lain bernilai hingga sekitar 60,2 juta dolar AS (sekitar Rp976,2 miliar) yang merupakan paket penjualan senjata ke-15 ke Taiwan pada masa pemerintahan Presiden AS Joe Biden.