Surabaya (ANTARA) - Puteri Indonesia Lingkungan 2023 Yasinta Aurellia mengajak generasi muda untuk membangun personal branding sejak dini di tengah derasnya arus digital dan ketatnya kompetisi global yang menuntut keaslian serta konsistensi diri.
“Personal branding itulah yang menjadi identitas dan reputasi yang membedakan seseorang dari jutaan lainnya. Kalau boleh mengutip dari Jeff Bezos, personal branding adalah bagaimana orang melihat, mengingat, dan membicarakan kita bahkan ketika kita tidak ada di ruangan itu,” kata Yasinta dalam Seminar Nasional Commposition 2025 bertema “Anak Muda, Gerakan Digital dan Jejak Perubahan” yang digelar Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “Veteran” Jawa Timur, Selasa.
Menurutnya, di era digital, visibilitas merupakan bentuk baru dari kredibilitas.
“Dikenal itu mudah, tapi dipercaya adalah seni yang sesungguhnya. Karena itu, personal branding bukan sekadar pencitraan, tapi tentang keaslian dan konsistensi,” katanya.
Ia juga menunjukkan data bahwa per Februari 2025 terdapat lebih dari satu juta lulusan perguruan tinggi di Indonesia yang belum mendapatkan pekerjaan.
Kondisi ini, kata dia, menuntut anak muda tampil berbeda dengan menunjukkan nilai dan potensi diri melalui personal branding yang kuat.
“Personal branding membuka peluang baru, membangun kepercayaan, dan menjadi investasi jangka panjang. Ini bukan tentang menjadi sempurna, tapi tentang menjadi autentik,” ujarnya.
Yasinta juga membagikan empat langkah membangun personal brand, yakni discover, decide, display, dan deliver. Ia menekankan pentingnya menemukan nilai diri, menentukan hal yang ingin dikenal, menampilkan diri secara konsisten, serta menjaga reputasi positif di dunia maya.
“Segala yang kita unggah membentuk citra kita. Gunakan media sosial sebagai portofolio diri, bukan sekadar tempat bersenang-senang. Ingat, internet tidak pernah lupa. Jadi, ayo membangun branding diri mulai sekarang,” pesannya.
Sementara itu, dosen Program Studi Televisi dan Film Universitas Jember Dr. Romdhi Fatkhur Rozi dalam materinya “Anak Muda, Kreativitas, dan Metric Crisis: Membaca Ulang Dialektika Ruang Digital di Era Attention Economy” menyoroti fenomena metric crisis yang membuat generasi muda terjebak dalam budaya angka dan validasi sosial.
“Kita hidup di tengah metric society, semua hal diukur dengan likes, views, engagement rate, dan traffic. Namun di balik itu, ada tekanan psikologis, bias kognitif, hingga homogenisasi kultural,” ujar Romdhi.
Ia menilai sistem algoritma menciptakan “ekonomi perhatian” yang membuat kreativitas kehilangan esensinya.
“Kita perlu beralih dari attention economy menuju conscious economy, yakni ekosistem digital yang berbasis nilai, kesadaran, dan keberlanjutan,” katanya.
Narasumber lain, Dr. Poppy Febriana, M.Med.Kom., dari Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, memaparkan materi bertajuk “Beauty by Algorithm: Siapa yang Mendefinisikan Wajah Ideal Hari Ini?” yang menyoroti media sosial sebagai mesin estetika baru.
“Platform digital bukan sekadar ruang berbagi, tetapi laboratorium algoritmik yang memproduksi dan memonetisasi wajah ideal,” tuturnya.
Adapun Dr. Ahmad Zamzamy, S.Sos., M.Med.Kom., menyoroti politik anak muda di era digital yang mengalami fase “liminalitas”, yakni aktif berekspresi namun belum sepenuhnya menjadi aktor politik mapan.
Koordinator Program Studi Ilmu Komunikasi UPN “Veteran” Jawa Timur Syafrida Nurrachmi Febriyanti bersyukur seminar tahunan tersebut berlangsung menarik dan saling melengkapi antarnarasumber.
“Kami berharap seminar ini menjadi landasan bagi mahasiswa untuk mempersiapkan diri menuju masa depan yang lebih cerah,” ujarnya.
