Pontianak (ANTARA Kalbar) - Tim Penyidik dari Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat akan kembali memeriksa saksi dari pihak Badan Pertanahan Nasional untuk mengusut dugaan korupsi dalam ganti rugi lahan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Pontianak senilai Rp12,5 miliar.
"Besok (14/6), saksi dari BPN yang akan kembali diperiksa," kata Humas Kejati Kalbar Arifin Arsyad di Pontianak, Rabu.
Ia melanjutkan, secara keseluruhan ada 13 saksi yang diperiksa dalam kasus tersebut. Ia mengakui, dari penasihat hukum tersangka, EE (48), yang ditahan sejak Senin (11/6) malam, meminta penangguhan.
"Tim penyidik akan rapat dan mempelajarinya," kata Arifin Arysad.
Sementara itu, Kepala Kanwil Hukum dan HAM Kalbar, Lukardiono mengatakan pihaknya akan bersikap kooperatif terkait penyidikan kasus itu. Ia menambahkan, Kemenkum dan HAM sudah menelusuri proses hingga akhirnya ada ganti rugi tersebut.
Ia mengungkapkan, sebelumnya ada audit dari BPK terhadap laporan keuangan Kementerian Hukum dan HAM yang menyatakan "disclaimer opinion".
"Masih ada aset yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap," kata dia.
Kemudian, ada tim percepatan yang melibatkan sejumlah instansi salah satunya BPN terkait inventarisasi aset tersebut.
Lalu, dibentuk tim mediasi yang melibatkan Kementerian Hukum dan HAM yang rekomendasinya berupa pembayaran terhadap aset yang kini berdiri LP Klas II A Pontianak.
Sebelumnya, Kepala Kejati Kalbar Jasman Panjaitan menyatakan semua yang menerima kucuran dana tersebut akan dibidik.
Jasman juga tengah mendalami indikasi keterlibatan pihak pusat dalam kasus ganti rugi tanah tersebut.
Ia mengatakan penyidikan Kejati Kalbar menemukan banyak kejanggalan dalam ganti rugi tanah Lapas, mengingat tanah tersebut sudah dikuasai sejak tahun 1965. Kemudian pada 1982, Lapas dibangun namun pada 2010 dilakukan ganti rugi tanah yang telah dikuasai kepada ahli waris tanah, Nursiah.
Menurut dia, ganti rugi tersebut patut dipertanyakan karena tanah tersebut berdasarkan kesimpulan sementara milik Lapas. Sementara kalau milik ahli waris, pemilik hanya menerima Rp6,1 miliar.
Ia juga mengritisi proses ganti rugi yang janggal. Proses mediasi kedua belah pihak tidak selayaknya langsung merekomendasikan untuk membayar ganti rugi. Namun, merekomendasikan agar diproses di pengadilan supaya mendapat kepastian hukum.
Kejati meminta agar pihak yang membantah adanya kejanggalan terhadap proses ganti rugi tanah itu menjelaskan pembangunan Lapas tahun 1982, namun tahun 2010 muncul anggaran untuk ganti rugi.
(T011)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012
"Besok (14/6), saksi dari BPN yang akan kembali diperiksa," kata Humas Kejati Kalbar Arifin Arsyad di Pontianak, Rabu.
Ia melanjutkan, secara keseluruhan ada 13 saksi yang diperiksa dalam kasus tersebut. Ia mengakui, dari penasihat hukum tersangka, EE (48), yang ditahan sejak Senin (11/6) malam, meminta penangguhan.
"Tim penyidik akan rapat dan mempelajarinya," kata Arifin Arysad.
Sementara itu, Kepala Kanwil Hukum dan HAM Kalbar, Lukardiono mengatakan pihaknya akan bersikap kooperatif terkait penyidikan kasus itu. Ia menambahkan, Kemenkum dan HAM sudah menelusuri proses hingga akhirnya ada ganti rugi tersebut.
Ia mengungkapkan, sebelumnya ada audit dari BPK terhadap laporan keuangan Kementerian Hukum dan HAM yang menyatakan "disclaimer opinion".
"Masih ada aset yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap," kata dia.
Kemudian, ada tim percepatan yang melibatkan sejumlah instansi salah satunya BPN terkait inventarisasi aset tersebut.
Lalu, dibentuk tim mediasi yang melibatkan Kementerian Hukum dan HAM yang rekomendasinya berupa pembayaran terhadap aset yang kini berdiri LP Klas II A Pontianak.
Sebelumnya, Kepala Kejati Kalbar Jasman Panjaitan menyatakan semua yang menerima kucuran dana tersebut akan dibidik.
Jasman juga tengah mendalami indikasi keterlibatan pihak pusat dalam kasus ganti rugi tanah tersebut.
Ia mengatakan penyidikan Kejati Kalbar menemukan banyak kejanggalan dalam ganti rugi tanah Lapas, mengingat tanah tersebut sudah dikuasai sejak tahun 1965. Kemudian pada 1982, Lapas dibangun namun pada 2010 dilakukan ganti rugi tanah yang telah dikuasai kepada ahli waris tanah, Nursiah.
Menurut dia, ganti rugi tersebut patut dipertanyakan karena tanah tersebut berdasarkan kesimpulan sementara milik Lapas. Sementara kalau milik ahli waris, pemilik hanya menerima Rp6,1 miliar.
Ia juga mengritisi proses ganti rugi yang janggal. Proses mediasi kedua belah pihak tidak selayaknya langsung merekomendasikan untuk membayar ganti rugi. Namun, merekomendasikan agar diproses di pengadilan supaya mendapat kepastian hukum.
Kejati meminta agar pihak yang membantah adanya kejanggalan terhadap proses ganti rugi tanah itu menjelaskan pembangunan Lapas tahun 1982, namun tahun 2010 muncul anggaran untuk ganti rugi.
(T011)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012