Jakarta (ANTARA Kalbar) - Proses untuk menyederhanakan nomimal nilai rupiah atau redenominasi yang menurut rencana dimulai pada 2014 akan berlangsung selama delapan tahun hingga 2022, kata Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara Kementerian Keuangan Agus Suprijanto.
"Jadi memang lama dan proses pelaksanaannya sangat panjang, butuh waktu delapan tahun," ujarnya di Jakarta, Jumat.
Menurut Agus, apabila proses pembahasan UU redenominasi selesai pada akhir 2013 dan setelah melalui beberapa tahap sosialisasi kepada masyarakat, proses redenominasi akan selesai pada 2022.
"Pembahasan UU telah diajukan pada badan legislatif DPR RI dan menjadi prioritas satu dalam masa sidang tiga dan empat, Januari hingga Juni 2013. Persiapan draf pun sudah sejak 2011 lalu," katanya.
Redenominasi merupakan proses penyederhanaan nominal nilai mata uang dengan menghilangkan tiga nol dalam satuan rupiah saat ini, sehingga uang Rp1.000 nantinya akan menjadi Rp1 dengan nilai yang tidak berubah.
Ia memaparkan proses redenominasi kepada masyarakat dimulai sejak awal 2014 hingga 2018, di mana jenis rupiah dengan nominal baru akan mulai beredar, namun jenis rupiah lama belum akan ditarik pemerintah.
Dengan demikian, pada periode tersebut, para penjual barang maupun pemilik usaha diwajibkan untuk melampirkan dua label harga barang yang mencantumkan harga sebelum dan sesudah redenominasi.
"Di warung waralaba tertentu ini sudah mulai dilakukan, namun perlu sosialisasi di pasar tradisional agar proses ini tidak menimbulkan inflasi. Selain itu akan ada sanksi kalau mereka tidak memasang dua label ini," kata Agus.
Sementara, pada periode 2019 hingga 2022, pemerintah akan mulai mengedarkan uang dengan nilai nominal dan desain baru serta mulai menarik uang dengan nominal lama sehingga proses redenominasi mulai berlaku efektif.
"Proses transisi ini lumayan lama karena hal ini dilakukan untuk menjaga kestabilan harga," kata Agus.
Agus mengatakan Indonesia telah belajar dari negara-negara yang berhasil dalam menerapkan redenominasi seperti Turki, Rumania, Polandia dan Ukrania serta negara yang gagal seperti Rusia, Argentina, Brasil dan Zimbabwe.
"Kebanyakan negara yang gagal menerapkan redenominasi karena momentum implementasi yang kurang pas padahal perekonomian mereka sedang tidak stabil dan mengalami inflasi tinggi," katanya.
Menurut dia, proses sosialisasi kepada masyarakat merupakan hal tersulit yang dilakukan karena apabila tidak berjalan dengan baik akan menimbulkan kebingungan di kalangan pelaku ekonomi dan berdampak inflasi.
"Selain itu, masih ada kekhawatiran di masyarakat bahwa redenominasi sama dengan sanering yang merupakan pemotongan nilai mata uang, makanya pemerintah akan berhati-hati dalam melakukan sosialisasi," kata Agus.
Untuk itu, pemerintah akan melakukan beberapa pendekatan dalam sosialisasi tersebut antara lain melalui dialog dengan para ekonom dan akademisi maupun pertemuan satu arah dengan masyarakat di lingkungan pedesaan.
Agus mengatakan pemerintah memutuskan untuk melakukan redenominasi karena rupiah dengan nominal saat ini menimbulkan inefisiensi dalam transaksi jual beli dan menyebabkan ketidakpraktisan dalam penghitungan melalui alat elektronik.
"Proses redenominasi sedang berjalan. Apalagi DPR telah mendukung dan ikut berpartisipasi dalam sosialisasi dengan mengusulkan pembentukan tim pemantau untuk mengukur kesiapan masyarakat," ujarnya.
(S034)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012
"Jadi memang lama dan proses pelaksanaannya sangat panjang, butuh waktu delapan tahun," ujarnya di Jakarta, Jumat.
Menurut Agus, apabila proses pembahasan UU redenominasi selesai pada akhir 2013 dan setelah melalui beberapa tahap sosialisasi kepada masyarakat, proses redenominasi akan selesai pada 2022.
"Pembahasan UU telah diajukan pada badan legislatif DPR RI dan menjadi prioritas satu dalam masa sidang tiga dan empat, Januari hingga Juni 2013. Persiapan draf pun sudah sejak 2011 lalu," katanya.
Redenominasi merupakan proses penyederhanaan nominal nilai mata uang dengan menghilangkan tiga nol dalam satuan rupiah saat ini, sehingga uang Rp1.000 nantinya akan menjadi Rp1 dengan nilai yang tidak berubah.
Ia memaparkan proses redenominasi kepada masyarakat dimulai sejak awal 2014 hingga 2018, di mana jenis rupiah dengan nominal baru akan mulai beredar, namun jenis rupiah lama belum akan ditarik pemerintah.
Dengan demikian, pada periode tersebut, para penjual barang maupun pemilik usaha diwajibkan untuk melampirkan dua label harga barang yang mencantumkan harga sebelum dan sesudah redenominasi.
"Di warung waralaba tertentu ini sudah mulai dilakukan, namun perlu sosialisasi di pasar tradisional agar proses ini tidak menimbulkan inflasi. Selain itu akan ada sanksi kalau mereka tidak memasang dua label ini," kata Agus.
Sementara, pada periode 2019 hingga 2022, pemerintah akan mulai mengedarkan uang dengan nilai nominal dan desain baru serta mulai menarik uang dengan nominal lama sehingga proses redenominasi mulai berlaku efektif.
"Proses transisi ini lumayan lama karena hal ini dilakukan untuk menjaga kestabilan harga," kata Agus.
Agus mengatakan Indonesia telah belajar dari negara-negara yang berhasil dalam menerapkan redenominasi seperti Turki, Rumania, Polandia dan Ukrania serta negara yang gagal seperti Rusia, Argentina, Brasil dan Zimbabwe.
"Kebanyakan negara yang gagal menerapkan redenominasi karena momentum implementasi yang kurang pas padahal perekonomian mereka sedang tidak stabil dan mengalami inflasi tinggi," katanya.
Menurut dia, proses sosialisasi kepada masyarakat merupakan hal tersulit yang dilakukan karena apabila tidak berjalan dengan baik akan menimbulkan kebingungan di kalangan pelaku ekonomi dan berdampak inflasi.
"Selain itu, masih ada kekhawatiran di masyarakat bahwa redenominasi sama dengan sanering yang merupakan pemotongan nilai mata uang, makanya pemerintah akan berhati-hati dalam melakukan sosialisasi," kata Agus.
Untuk itu, pemerintah akan melakukan beberapa pendekatan dalam sosialisasi tersebut antara lain melalui dialog dengan para ekonom dan akademisi maupun pertemuan satu arah dengan masyarakat di lingkungan pedesaan.
Agus mengatakan pemerintah memutuskan untuk melakukan redenominasi karena rupiah dengan nominal saat ini menimbulkan inefisiensi dalam transaksi jual beli dan menyebabkan ketidakpraktisan dalam penghitungan melalui alat elektronik.
"Proses redenominasi sedang berjalan. Apalagi DPR telah mendukung dan ikut berpartisipasi dalam sosialisasi dengan mengusulkan pembentukan tim pemantau untuk mengukur kesiapan masyarakat," ujarnya.
(S034)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012