Seminar Internasional dan Ekspedisi Napak Tilas Damai Tumbang Anoi 1894 di Cagar Budaya Rumah Betang Damang Batu, Desa Tumbang Anoi, Kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah, 22 – 24 Juli 2019, murni swadaya masyarakat Suku Dayak.
“Sepenuhnya inisiatif Suku Dayak, sebagaimana terjadi pada 125 tahun silam, yaitu pada 22 Mei – 24 Juli 1894 di Tumbang Anoi, berhasil menyepakati 9 point mencakup 96 pasal hukum adat, di antaranya menghentikan praktik perbudakan dan potong kepala manusia,” kata Dagut Herman Djunas, Ketua Panitia Seminar Internasional dan Ekspedisi Napak Tilas Damai Tumbang Anoi 1894, dalam siaran persnya, Rabu.
Kegiatan tersebut nantinya akan melibatkan masyarakat Suku Dayak dari Kerajaan Brunei Darussalam, Federasi Malaysia dan Republik Indonesia, sebagai tindak lanjut dari Temenggung International Conference, Sintang, Provinsi Kalimantan Barat, 28 – 30 Nopember 2018, dan International Dayak Justice Congress di Hotel Perkasa, Distrik Keningau, Negara Bagian Sabah, Federasi Malaysia, 14 – 16 Juni 2019.
Baca juga: Lomba sumpit, meriahkan Gawai Dayak di Sintang
Hasil IDJC 2019 di Keningau sepakat membentuk Dewan Hakim Adat Dayak Internasional atau International Dayak Justice Council dan di Indonesia dibentuk Majelis Hakim Adat Dayak Nasional (MHADN).
Menurut Dagut, kalaupun ada para Kepala Daerah di wilayah Indonesia dari Suku Dayak hadir secara fisik, sifatnya pribadi, sebagai salah satu wujud kepedulian terhadap makna dari pertemuan damai di Tumbang Anoi pada 125 tahun silam (22 Mei – 24 Juli 1894, 22 – 24 Juli 2019).
Para Kepala Daerah dari Suku Dayak itu memang diberikan kesempatan menyampaikan pengalamannya di dalam menyusun konsep pembangunan berkeadilan bagi Suku Dayak, dengan menempatkan hutan sebagai sumber dan simbol peradaban.
Hutan sebagai simbol dan sumber peradaban, berhasil membentuk karakter manusia Suku Dayak beradat, yaitu berdamai dan serasi dengan leluhur, berdamai dan serasi dengan alam semesta, serta berdamai dan serasi dengan sesama.
“Setelah 125 tahun kemudian, persatuan Dayak mau dibawa kemana, sehingga perlu seiring dan sejalan untuk mencapai tujuan, agar terwujudnya pembangunan berkeadilan bagi masyarakat Suku Dayak. Suku Dayak harus berani mempertahankan hak hidupnya sebagai penduduk asli yang dilindungi dunia internasional,” kata Dagut Herman Djunas.
Baca juga: Spirit Of The Hornbill tampil memukau di RWMF 2019
Dagut mengatakan, dalam pertemuan yang akan menghasilkan Protokol Tumbang Anoi 2019, minimal ada 6 point aturan internasional yang dijadikan rujukan bagi masyarakat Suku Dayak sebagai penduduk asli, di dalam mempertahankan hak hidupnya.
Yaitu, International Labour Organization (ILO) Convention Nomor 107 year 1957 Concerning the Protection and Integration of Indigenous and Other Tribal and Semi Tribal Population in Independent Countries (Konvensi Organisasi Perburuhan Dunia Nomor 107 berkenaan dengan Perlindungan dan Integrasi Masyarakat Adat dan Masyarakat Kesukuan dan Semi Kesukuan di Negara-negara Merdeka).
Konvensi yang disetujui tahun 1957 ini mengakui eksistensi masyarakat adat beserta hak-hak mereka yang sederajat dengan hak-hak masyarakat lainnya yang lebih besar.
Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Nomor 4 Tahun 1967, tentang Toponimy atau Pembakuan Nama Rupabumi, dimana digariskan penyebutan nama wilayah harus sesuai kearifan lokal.
Baca juga: DAD Sintang gelar lomba lagu Dayak
Convention Nomor 169 year 1989 Concerning Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries (Konvensi Organisasi Perburuhan Dunia Nomor 169 Tahun 1989 mengenai Masyarakat Adat dan Suku-suku di Negara-negara Merdeka).
Berbeda dengan Konvensi ILO 107 yang menggunakan pendekatan asimilasi dan integrasi, maka Konvensi 169 yang mulai berlaku pada tanggal 5 September 1991 ini lebih mengutamakan prinsip pemeliharaan/pelestarian (preservation) dan partisipasi masyarakat hukum adat dalam kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi mereka. Konvensi ini mengakui masyarakat hukum adat sebagai kelompok yang merupakan pemilik atau subjek dari hak-hak yang harus dilindungi oleh Konvensi.
Resolution of World Conservation Strategy; “Caring for the Eart” (Keputusan Strategi Konservasi Dunia; “Menjaga Bumi”) tahun 1991Pada pertemuan ini secara eksplisit menyatakan dukungannya pada peran khusus dan penting dari masyarakat hukum adat sedunia dalam upaya-upaya untuk menjaga dan melestarikan lingkungan.
Rio Declaration tahun 1992 Deklarasi yang disahkan dalam Konperensi PBB mengenai Lingkungan Hidup dan Pembangunan atau United Nations Conference on Environment and Development (UNCED), Juni 1992, di Rio de Janeiro, Brazilia, dikenal juga dengan nama “Piagam Bumi” (Earth Charter) ini, secara eksplisit mengakui dan menjamin hak-hak masyarakat hukum adat dalam semua program pelestarian lingkungan hidup di seluruh dunia, terutama dalam Pasal 22 (Principle 22).
Baca juga: Ribuan warga padati malam Gawai Dayak Sintang 2019
United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples, Deklarasi PBB tentang Hak Hak Masyarakat Adat, Nomor 61/295, tanggal 13 September 2007. Deklarasi ini menegaskan bahwa masyarakat adat memiliki hak-hak kolektif, yang terpenting diantaranya adalah hak untuk menentukan nasib sendiri; hak atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam; hak atas identitas budaya dan kekayaan intelektual; hak atas free, prior and informed consent (FPIC); serta hak untuk menentukan model dan bentuk-bentuk pembangunan yang sesuai bagi mereka.
Diungkapkan Dagut, tim akan membahas beberapa hal penting sebagai tindak lanjut dari International Dayak Justice Congress di Sabah, Malaysia, 14 – 16 Juni 2019.
Berkaitan dengan itu, pembahasan seminar internasional, menelurkan Protokol Tumbang Anoi 2019 yang dibagi menjadi kelompok, yaitu protokol bersifat internasional dan protokol khusus bagi Suku Dayak di wilayah Indonesia, terutama menyangkut masalah rencana pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan.
Protokol Tumbang Anoi 2019 bertaraf internasional, ditandatangani peserta dari Kerajaan Brunei Darussalam, Federasi Malaysia dan Republik Indonesia.
Protokol Tumbang Anoi 2019 wilayah Indonesia, mengacu kepada protokol internasional, dengan mempertajam materi, dimana para penandatangannya hanya orang Dayak di wilayah Indonesia.
Baca juga: Perhelatan Festival Budaya Dayak di Bengkayang kenalkan ikon dan budaya
Di antara masalah di dalam negeri di Indonesia, yaitu posisi hutan sebagai simbol dan sumber peradaban, dan mensikapi secara intelektual dan bermartabat sehubungan pemindahan ibukota negara dari Jakarta ke Kalimantan.
Dikatakan Dagut, pembahasan dan penentuan kalimat di dalam Protokol Tumbang Anoi 2019, betul-betul ilmiah, ada acuan hukum secara internasional dan nasional, sehingga terhindar dari tudingan Dayak ingin merdeka atau rasis.
“Sebagai penduduk pribumi, Suku Dayak berhak hidup secara berkeadilan, tetapi tetap mempertahankan identitas diri di Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam,” ujar Dagut H Djunas.
Kontak person Dagut H Djunas, Ketua Panitia: (+6281282492199)
E.P. Romong, Koordinator Seksi Hubungan Masyarakat: (+6281257393141)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2019
“Sepenuhnya inisiatif Suku Dayak, sebagaimana terjadi pada 125 tahun silam, yaitu pada 22 Mei – 24 Juli 1894 di Tumbang Anoi, berhasil menyepakati 9 point mencakup 96 pasal hukum adat, di antaranya menghentikan praktik perbudakan dan potong kepala manusia,” kata Dagut Herman Djunas, Ketua Panitia Seminar Internasional dan Ekspedisi Napak Tilas Damai Tumbang Anoi 1894, dalam siaran persnya, Rabu.
Kegiatan tersebut nantinya akan melibatkan masyarakat Suku Dayak dari Kerajaan Brunei Darussalam, Federasi Malaysia dan Republik Indonesia, sebagai tindak lanjut dari Temenggung International Conference, Sintang, Provinsi Kalimantan Barat, 28 – 30 Nopember 2018, dan International Dayak Justice Congress di Hotel Perkasa, Distrik Keningau, Negara Bagian Sabah, Federasi Malaysia, 14 – 16 Juni 2019.
Baca juga: Lomba sumpit, meriahkan Gawai Dayak di Sintang
Hasil IDJC 2019 di Keningau sepakat membentuk Dewan Hakim Adat Dayak Internasional atau International Dayak Justice Council dan di Indonesia dibentuk Majelis Hakim Adat Dayak Nasional (MHADN).
Menurut Dagut, kalaupun ada para Kepala Daerah di wilayah Indonesia dari Suku Dayak hadir secara fisik, sifatnya pribadi, sebagai salah satu wujud kepedulian terhadap makna dari pertemuan damai di Tumbang Anoi pada 125 tahun silam (22 Mei – 24 Juli 1894, 22 – 24 Juli 2019).
Para Kepala Daerah dari Suku Dayak itu memang diberikan kesempatan menyampaikan pengalamannya di dalam menyusun konsep pembangunan berkeadilan bagi Suku Dayak, dengan menempatkan hutan sebagai sumber dan simbol peradaban.
Hutan sebagai simbol dan sumber peradaban, berhasil membentuk karakter manusia Suku Dayak beradat, yaitu berdamai dan serasi dengan leluhur, berdamai dan serasi dengan alam semesta, serta berdamai dan serasi dengan sesama.
“Setelah 125 tahun kemudian, persatuan Dayak mau dibawa kemana, sehingga perlu seiring dan sejalan untuk mencapai tujuan, agar terwujudnya pembangunan berkeadilan bagi masyarakat Suku Dayak. Suku Dayak harus berani mempertahankan hak hidupnya sebagai penduduk asli yang dilindungi dunia internasional,” kata Dagut Herman Djunas.
Baca juga: Spirit Of The Hornbill tampil memukau di RWMF 2019
Dagut mengatakan, dalam pertemuan yang akan menghasilkan Protokol Tumbang Anoi 2019, minimal ada 6 point aturan internasional yang dijadikan rujukan bagi masyarakat Suku Dayak sebagai penduduk asli, di dalam mempertahankan hak hidupnya.
Yaitu, International Labour Organization (ILO) Convention Nomor 107 year 1957 Concerning the Protection and Integration of Indigenous and Other Tribal and Semi Tribal Population in Independent Countries (Konvensi Organisasi Perburuhan Dunia Nomor 107 berkenaan dengan Perlindungan dan Integrasi Masyarakat Adat dan Masyarakat Kesukuan dan Semi Kesukuan di Negara-negara Merdeka).
Konvensi yang disetujui tahun 1957 ini mengakui eksistensi masyarakat adat beserta hak-hak mereka yang sederajat dengan hak-hak masyarakat lainnya yang lebih besar.
Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Nomor 4 Tahun 1967, tentang Toponimy atau Pembakuan Nama Rupabumi, dimana digariskan penyebutan nama wilayah harus sesuai kearifan lokal.
Baca juga: DAD Sintang gelar lomba lagu Dayak
Convention Nomor 169 year 1989 Concerning Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries (Konvensi Organisasi Perburuhan Dunia Nomor 169 Tahun 1989 mengenai Masyarakat Adat dan Suku-suku di Negara-negara Merdeka).
Berbeda dengan Konvensi ILO 107 yang menggunakan pendekatan asimilasi dan integrasi, maka Konvensi 169 yang mulai berlaku pada tanggal 5 September 1991 ini lebih mengutamakan prinsip pemeliharaan/pelestarian (preservation) dan partisipasi masyarakat hukum adat dalam kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi mereka. Konvensi ini mengakui masyarakat hukum adat sebagai kelompok yang merupakan pemilik atau subjek dari hak-hak yang harus dilindungi oleh Konvensi.
Resolution of World Conservation Strategy; “Caring for the Eart” (Keputusan Strategi Konservasi Dunia; “Menjaga Bumi”) tahun 1991Pada pertemuan ini secara eksplisit menyatakan dukungannya pada peran khusus dan penting dari masyarakat hukum adat sedunia dalam upaya-upaya untuk menjaga dan melestarikan lingkungan.
Rio Declaration tahun 1992 Deklarasi yang disahkan dalam Konperensi PBB mengenai Lingkungan Hidup dan Pembangunan atau United Nations Conference on Environment and Development (UNCED), Juni 1992, di Rio de Janeiro, Brazilia, dikenal juga dengan nama “Piagam Bumi” (Earth Charter) ini, secara eksplisit mengakui dan menjamin hak-hak masyarakat hukum adat dalam semua program pelestarian lingkungan hidup di seluruh dunia, terutama dalam Pasal 22 (Principle 22).
Baca juga: Ribuan warga padati malam Gawai Dayak Sintang 2019
United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples, Deklarasi PBB tentang Hak Hak Masyarakat Adat, Nomor 61/295, tanggal 13 September 2007. Deklarasi ini menegaskan bahwa masyarakat adat memiliki hak-hak kolektif, yang terpenting diantaranya adalah hak untuk menentukan nasib sendiri; hak atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam; hak atas identitas budaya dan kekayaan intelektual; hak atas free, prior and informed consent (FPIC); serta hak untuk menentukan model dan bentuk-bentuk pembangunan yang sesuai bagi mereka.
Diungkapkan Dagut, tim akan membahas beberapa hal penting sebagai tindak lanjut dari International Dayak Justice Congress di Sabah, Malaysia, 14 – 16 Juni 2019.
Berkaitan dengan itu, pembahasan seminar internasional, menelurkan Protokol Tumbang Anoi 2019 yang dibagi menjadi kelompok, yaitu protokol bersifat internasional dan protokol khusus bagi Suku Dayak di wilayah Indonesia, terutama menyangkut masalah rencana pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan.
Protokol Tumbang Anoi 2019 bertaraf internasional, ditandatangani peserta dari Kerajaan Brunei Darussalam, Federasi Malaysia dan Republik Indonesia.
Protokol Tumbang Anoi 2019 wilayah Indonesia, mengacu kepada protokol internasional, dengan mempertajam materi, dimana para penandatangannya hanya orang Dayak di wilayah Indonesia.
Baca juga: Perhelatan Festival Budaya Dayak di Bengkayang kenalkan ikon dan budaya
Di antara masalah di dalam negeri di Indonesia, yaitu posisi hutan sebagai simbol dan sumber peradaban, dan mensikapi secara intelektual dan bermartabat sehubungan pemindahan ibukota negara dari Jakarta ke Kalimantan.
Dikatakan Dagut, pembahasan dan penentuan kalimat di dalam Protokol Tumbang Anoi 2019, betul-betul ilmiah, ada acuan hukum secara internasional dan nasional, sehingga terhindar dari tudingan Dayak ingin merdeka atau rasis.
“Sebagai penduduk pribumi, Suku Dayak berhak hidup secara berkeadilan, tetapi tetap mempertahankan identitas diri di Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam,” ujar Dagut H Djunas.
Kontak person Dagut H Djunas, Ketua Panitia: (+6281282492199)
E.P. Romong, Koordinator Seksi Hubungan Masyarakat: (+6281257393141)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2019