Penghargaan itu dari tiga organisasi lingkungan dan konservasi terkemuka yakni The Nature Conservancy (TNC), World Resources Institute (WRI) dan World Wildlife Fund (WWF).
Penghargaan tersebut diberikan atas kepeloporan SBY dalam menyadari pentingnya sumber daya alam dan bekerja untuk menjaga kelestariannya.
Ketiga organisasi tersebut mengakui kiprah penting Presiden SBY dalam menghargai alam dan mengharapkan Indonesia akan terus melanjutkan kepemimpinan yang nyata di bidang konservasi.
Menurut Kepala Pusat Informasi Kementerian Kehutanan, Sumarto, Presiden SBY secara khusus diakui kepemimpinannya dalam membentuk Prakarsa Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle Initiative on Coral Reef, Fisheries and Food Security/CTI).
Prakarsa ini bersifat multilateral guna melestarikan sumber daya laut dan pesisir yang luar biasa di enam negara: Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Kepulauan Solomon, dan Timor-Leste.
Wilayah tersebut merupakan salah satu daerah yang paling beragam secara biologis, menjadi rumah bagi lebih dari 75 persen spesies karang yang dikenal dan lebih dari 37 persen ikan terumbu karang.
Sumber daya ini menyediakan lapangan kerja, sumber makanan dan peluang bisnis bagi jutaan orang di wilayah tersebut.
Dimotori oleh Presiden SBY, Prakarsa Segitiga Terumbu Karang menyatukan kemitraan yang belum pernah terjadi sebelumnya antara pemerintah dengan sektor publik, sektor swasta, LSM dan lainnya, dan menawarkan model untuk mengkaitkan konservasi laut dengan kesehatan, kesejahteraan dan ketahanan pangan masyarakat lokal.
Dan di bawah pemerintahan Presiden Yudhoyono pula, Indonesia telah berikrar untuk mencapai 10 juta hektare kawasan perlindungan laut pada tahun 2010 dan 20 juta hektare pada tahun 2020 yang perlindungan dan pendanaannya akan diterapkan secara ketat.
Sampai saat ini, Indonesia telah mencapai 13,4 juta hektare kawasan perlindungan laut, jauh melebihi target 10 juta hektare pada tahun 2010.
Direktur WWF Program Kalimantan Barat, Hermayani Putra menyatakan, jika penghargaan tersebut terkait dengan komitmen Presiden SBY terhadap pelestarian lingkungan, di tataran implementasi komitmen tersebut masih kendor.
"Presiden SBY itu bagian komitmen tingkat nasional. Persoalannya yang ada hutan itu di provinsi dan kabupaten. Di sini tantangannya," katanya.
Ia mengatakan, selama ini koordinasi antara pusat dan daerah tidak berjalan dengan lancar dan semestinya. Padahal koordinasi antara pusat dan daerah itu sangat penting bagi upaya pelestarian alam dan konservasi.
Seperti penetapan Kapuas Hulu sebagai bagian dari kawasan "Heart of Borneo" atau jantung borneo sehingga perlu konservasi dengan menanamkan prinsip "sustainable" (berkelanjutan).
"Semestinya Pemkab Kapuas Hulu diajak bicara sehingga bisa menjadi komitmen bersama," katanya mengingatkan.
Hermayani mempertanyakan komitmen apa yang ditunjukkan Presiden SBY kepada daerah seperti Kapuas Hulu yang mempunyai beban menjaga kawasan hutan. Lantas apa timbal baliknya bagi daerah tersebut?
Ia menyebut fakta yang ada saat ini, koordinasi yang terjadi di lapangan tidak tuntas.
"Saya berusaha menangkap 'suasana batin' teman-teman yang ada di tingkat kabupaten," katanya.
WWF Program Kalbar juga menjangkau pembinaan masyarakat di sekitar kawasan taman nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum di Kapuas Hulu yang juga menjadi kawasan HoB.
Banyak PR
Aktivis lainnya menyatakan ada banyak pekerjaan rumah (PR) yang belum dikerjakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait dengan persoalan pelestarian lingkungan dan konservasi.
Menurut Direktur Program Indonesia Fauna Flora Indonesia (FFI), Darmawan Liswanto, masih banyak PR yang tidak dikerjakan SBY dalam konteks lingkungan tersebut, misalnya ketegasannya terhadap oknum perusak lingkungan.
Ia mempertanyakan bagaimana SBY mempunyai ketegasan kepada bupati dan gubernur dengan tidak lagi membuka kawasan hutan hingga prosesnya dilakukan secara legal?
"Karena ada banyak kasus itu, Presiden SBY hanya bersikap diam," kata Darmawan saat dihubungi dari Pontianak, Sabtu (6/10).
Ia menambahkan, selama ini Presiden SBY bicara dimana-mana bahwa pihaknya peduli terhadap lingkungan. "Tetapi banyak PR yang tidak dikerjakan," kata dia lagi.
Jika Presiden SBY ada ketegasan, menurut Darmawan, bisa dipastikan akan memberikan manfaat besar.
"Kalau ketidaktegasan selalu muncul, ya repotlah," katanya.
Aktivis lingkungan itu mengharapkan Presiden SBY bukan sekadar "ngomong" tetapi juga disertai dengan tindakan.
Selain itu, Presiden SBY oleh sebagian kalangan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga dinilai tidak bisa tegas terhadap persoalan pembakaran lahan yang kini menimbulkan kabut asap.
"Sikap tidak tegas itu juga menjadi preseden bagi pemerintah daerah," kata Darmawan lagi. Jika SBY masih tidak bisa bersikap tegas lagi, korupsi di kabupaten yang melibatkan bupati saat pembukaan hutan akan gampang saja terjadi.
Karena itu, Darmawan mengatakan tidak melihat adanya konteks atau situasi yang ada hubungannya sehingga teman-temannya dari tiga lembaga peduli lingkungan internasional memberikan penghargaan tersebut.
Apalagi pada kenyataannya banyak PR yang belum diselesaikan Presiden SBY, tambahnya lagi.
Sementara Hermayani Putra mengingatkan, jika ingin mendorong pembangunan di sektor kehutanan pemerintah hendaknya juga harus ada upaya inovasi atau terobosan baru.
Inovasi itu yakni dengan tidak hanya mengambil hasil produksi hutan tetapi juga dapat memanfaatkan jasa lingkungan dan ekowisata yang ada.
Karena itu, ia mengatakan, koordinasi pusat harus semakin sering dilakukan. "Antara pusat dan daerah harus seiring sejalan," katanya.
Jika tidak kreatif dalam pembangunan kehutanan, khususnya pengembangan jasa lingkungan dan ekowisata, maka pembangunan itu hanya akan berlangsung sekejap saja.
Menurut Hermayani, perannya sebagai LSM dalam pelestarian alam adalah mengisi celah-celah yang selama ini belum ada.
Pihaknya lebih banyak bekerja di basis, karena di pemerintahan memiliki keterbatasan itu. Jadi peran itu diisi lembaga seperti WWF dan FFI.
"Kami melengkapi apa yang masih kurang. Tetapi harusnya lembaga pemerintah memperkuat itu," kata dia lagi.
Dengan semangat yang sama, sinergi dan kolaborasi untuk mempromosikan inisiatif akan menjadi bagus di lapangan.
Ia mencontohkan kerja sama yang yang sudah berjalan saat ini adalah pengembangan ekowisata di Kapuas Hulu yang sangat mengandalkan keaslian alamnya.
Kemudian di Kabupaten Sintang terdapat kawasan hutan adat di Ensaid Panjang yang diinisiasi dari hutan desa.
Di sana, WWF bersama Dinas Kehutanan Sintang dan Yayasan Titian mengembangkan hutan desa.
"Banyak inisiatif yang sudah berjalan bagus. Kalau semangat kolaborasi sudah berjalan, Kalbar bisa menjadi contoh provinsi yang sinergi kolaborasinya bagus dalam tata kelola pemerintahan," katanya mengakhiri.
N005
Menurut Direktur Program Indonesia Fauna Flora Indonesia (FFI), Darmawan Liswanto, masih banyak PR yang tidak dikerjakan SBY dalam konteks lingkungan tersebut, misalnya ketegasannya terhadap oknum perusak lingkungan.
Ia mempertanyakan bagaimana SBY mempunyai ketegasan kepada bupati dan gubernur dengan tidak lagi membuka kawasan hutan hingga prosesnya dilakukan secara legal?
"Karena ada banyak kasus itu, Presiden SBY hanya bersikap diam," kata Darmawan saat dihubungi dari Pontianak, Sabtu (6/10).
Ia menambahkan, selama ini Presiden SBY bicara dimana-mana bahwa pihaknya peduli terhadap lingkungan. "Tetapi banyak PR yang tidak dikerjakan," kata dia lagi.
Jika Presiden SBY ada ketegasan, menurut Darmawan, bisa dipastikan akan memberikan manfaat besar.
"Kalau ketidaktegasan selalu muncul, ya repotlah," katanya.
Aktivis lingkungan itu mengharapkan Presiden SBY bukan sekadar "ngomong" tetapi juga disertai dengan tindakan.
Selain itu, Presiden SBY oleh sebagian kalangan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga dinilai tidak bisa tegas terhadap persoalan pembakaran lahan yang kini menimbulkan kabut asap.
"Sikap tidak tegas itu juga menjadi preseden bagi pemerintah daerah," kata Darmawan lagi. Jika SBY masih tidak bisa bersikap tegas lagi, korupsi di kabupaten yang melibatkan bupati saat pembukaan hutan akan gampang saja terjadi.
Karena itu, Darmawan mengatakan tidak melihat adanya konteks atau situasi yang ada hubungannya sehingga teman-temannya dari tiga lembaga peduli lingkungan internasional memberikan penghargaan tersebut.
Apalagi pada kenyataannya banyak PR yang belum diselesaikan Presiden SBY, tambahnya lagi.
Sementara Hermayani Putra mengingatkan, jika ingin mendorong pembangunan di sektor kehutanan pemerintah hendaknya juga harus ada upaya inovasi atau terobosan baru.
Inovasi itu yakni dengan tidak hanya mengambil hasil produksi hutan tetapi juga dapat memanfaatkan jasa lingkungan dan ekowisata yang ada.
Karena itu, ia mengatakan, koordinasi pusat harus semakin sering dilakukan. "Antara pusat dan daerah harus seiring sejalan," katanya.
Jika tidak kreatif dalam pembangunan kehutanan, khususnya pengembangan jasa lingkungan dan ekowisata, maka pembangunan itu hanya akan berlangsung sekejap saja.
Menurut Hermayani, perannya sebagai LSM dalam pelestarian alam adalah mengisi celah-celah yang selama ini belum ada.
Pihaknya lebih banyak bekerja di basis, karena di pemerintahan memiliki keterbatasan itu. Jadi peran itu diisi lembaga seperti WWF dan FFI.
"Kami melengkapi apa yang masih kurang. Tetapi harusnya lembaga pemerintah memperkuat itu," kata dia lagi.
Dengan semangat yang sama, sinergi dan kolaborasi untuk mempromosikan inisiatif akan menjadi bagus di lapangan.
Ia mencontohkan kerja sama yang yang sudah berjalan saat ini adalah pengembangan ekowisata di Kapuas Hulu yang sangat mengandalkan keaslian alamnya.
Kemudian di Kabupaten Sintang terdapat kawasan hutan adat di Ensaid Panjang yang diinisiasi dari hutan desa.
Di sana, WWF bersama Dinas Kehutanan Sintang dan Yayasan Titian mengembangkan hutan desa.
"Banyak inisiatif yang sudah berjalan bagus. Kalau semangat kolaborasi sudah berjalan, Kalbar bisa menjadi contoh provinsi yang sinergi kolaborasinya bagus dalam tata kelola pemerintahan," katanya mengakhiri.
N005