Hari kelabu juga menjelang, saat suasana yang menggetarkan mengisi relung-relung cakrawala kawasan kampus Trisakti. Julian Sihombing hadir diantara yel-yel garang serdadu anti huru-hara yang suaranya terdengar menakutkan.
Mereka saling berhadapan dengan para mahasiswa berjaket biru yang bersiap beranjak kembali ke kampus karena gerimis mulai datang. Sejak siang mereka menggelar unjuk rasa menentang pemerintahan Suharto.
Sore itu, tanggal 12, dibulan Mei 14 tahun lalu, beberapa menit lagi, sejarah politik Indonesia akan ditorehkan oleh renteten peluru, kesumat kebencian, darah empat martir reformasi dari Grogol, serta catatan visual Julian dan para pewarta foto yang hadir manjadi mata bagi dunia. Momentum sekeping petang, yang akhirnya menumbangkan tirani kekuasaan Suharto sepekan kemudian.
Julian hadir di titik api peristiwa untuk mewartakan opini visualnya bagi siapapun di muka bumi. Setelah foto seorang mahasiswi terkapar tak berdaya, yang terlilit spanduk perlawanan yang dipotretnya termuat di KOMPAS esok paginya, maka jurnalistik tampak memperlihatkan kekuatan subyektifnya untuk berdiri pada nurani mereka-mereka yang ditindas.
Foto Julian tersebut mengumandangkan secara eksplisit betapa penindasan takkan mampu membungkam suara demokrasi. Foto tersebut kemudian menjadi icon spiritual yang menyertai siapapun anggota masyarakat melawan emporium otoriter Orde Baru.
Julian adalah pewarta foto KOMPAS paling berpengaruh dalam belantara fotografi jurnalistik Indonesia setelah angkatan mendiang Kartono Ryadi.
Secara profesi, dia layak disebut sebagai pewarta foto terbaik di Indonesia pada jamannya. Julian merupakan fotografer yang sadar untuk mengembangkan diri secara maksimal meskipun generasi sejamannya umumnya hidup dan berkembang secara otodidak.
Julian memiliki prasyarat utama sebagai seorang pewarta foto yang tangguh. Kepercayaan diri yang tinggi dan independen adalah cirinya.
Mata Julian terlatih karena lingkungan keluarganya memang melek visual. Abidan Sihombing, ayah Julian adalah seorang pengusaha yang gemar fotografi.
Julian kecil sudah terbiasa melihat karya foto landscape dan dokumentasi keluarga yang diabadikan ayah dan dipajangnya di ruang tamu di rumah mereka di bilangan Tanah Abang. Ibunya, Kasania boru Tobing, adalah juga "moviegoers". Tak heran, kedua orang tua Julian sering memboyongnya menonton gambar hidup di bioskop. Dia masih ingat "The Thief from Baghdad" (Ludwig Berger, 1940, meraih 3 Oscar) adalah film pertaa yang ditontonnya.
"One Flew Over the Cuckoo's Nest" film terbaik Oscar 1975 (termasuk Oscar pertama bagi Jack Nicholson dan sutradara Milos Forman) adalah satu film yang paling membekas dalam ingatan Julian.
Adaptasi yang keren dari Milos, juga penggarapan keseharian yang teliti dan realistik dari setiap karakter tokoh penghuni rumah sakit jiwa menambah kecintaan Julian pada kekuatan dari kehidupan nyata, seperti yang tersirat dari "One Flew Over the Cuckoo's Nest" karya terbaik Milos sebelum menggarap masterpiece lainnya, ¿Amadeus¿ (1984).
Julian dilahirkan di Jakarta 15 Januari 1959. Anak keenam dari 7 bersaudara. Kakak sulungnya, Bertram dan kakak ketiganya, Nahot adalah pencinta fotografi.
Bahkan kelak, Ucok, sibontot dari keluarga Sihombing itu, juga berkiprah sebagai pewarta foto olahraga profesional.
Di SMA 6, Julian sudah dikenal sebagai pelajar yang gemar memotret. Dia makin penasaran dengan fotografi dan menemukan oase bacaan fotografi di rumah sahabatnya di kawasan Menteng yang berlangganan sejumlah majalah fotografi yang memiliki banyak koleksi buku fotografi yang ketika itu termasuk barang langka.
Ketika kuliah di FISIP UI Rawamangun, pada 1980, Julian untuk pertama kalinya memiliki kamera SLR Canon AE1. Di kampus dia bersahabat dengan beberapa mahasiswa yang juga gemar fotografi.
Mereka kerap mendiskusikan fotografi dan membentuk suatu klub fotografi tanpa nama. Kelompok itu bahkan sempat menggelar pameran foto yang agak serius di kampus dengan kurator Miriam Budiardjo dan Yuwono Sudarsono.
Momentum itu membuat Julian semakin pede untuk serius menekuni fotografi. Dia mencoba peruntungan dengan melamar menjadi fotografer di suatu majalah berita bergambar grup Gramedia yang mengadaptasi gaya Paris Match.
Melihat portfolionya, pemred majalah Jakarta Jakarta, Noorca Massardi segera merekrutnya, bergabung dengan fotografer lainnya, Desiree Harahap. Julian akhirnya memilih menjadi kuli citra. Dan mengabaikan semester akhir kuliahnya.
Di majalah Jakarta Jakarta Julian banyak membuat "potraiture" figur publik, kendati sesungguhnya hasratnya adalah membuat foto-foto aksi panggung olahraga. Julian adalah atlet basket andalan sekolah sejak duduk di bangku SMP.
Dia juga gemar bertualang di alam bebas dengan rekan-rekannya. Dari sana mungkin prinsip persaudaraan dan solidaritas persahabatan tertanam dalam kesehariaannya hingga akhir hayat di kandung badan.
Dari penghasilannya, Julian kemudian membeli buku-buku fotografi karya fotografer olahraga idolanya, sebut saja Walter Ioos Jr, John Iacono dan Neil Leiffer.
Namun fotografer yang paling berpengaruh dalam hidupnya adalah Eugene Smith, salah seorang perintis esei foto yang sangat berpengaruh dalam blantika foto jurnalistik modern dunia. Karya-karya kemanusiaan Eugene yang penuh makna, berkedalaman dibalut dengan simbol dan estetika yang menyentuh, disimaknya dengan saksama.
Betapa dia kagum melihat karya-karya klasik Eugene semacam ¿Spanish Village¿, "County Doctor" dan tentu esi yang sangat kontroversial, pencemaran merkuri di Minamata, Jepang. Nama fotografer lain yang juga berpengaruh dalam hidupnya adalah Ernst Haas, Robert Doisneau, Robert Frank dan Alex Webb.
Merasa ingin memperoleh tantangan yang lebih luas, Julian kemudian pindah ke harian KOMPAS setelah sebelumnya dipinjamkan dari Jakarta Jakarta khusus untuk membantu liputan Sea Games Jakarta 1987.
Di harian paling berpengaruh di Indonesia itu, Julian menemukan dirinya. Selain karena dinamistis yang menjadi ciri periodikal harian, Julian dipersilahkan seniornya mendiang Kartono Ryadi untuk mengeksplorasi seluasnya dunia olahraga dan tentu foto-foto jurnalistik yang menjadi keseharian KOMPAS. Gaya pemotretannya adalah refleksi yang didapatnya dari sejumlah referensi yang dibacanya dengan teliti.
Julian termasuk salah satu pewarta foto yang menawarkan kepada publik pembaca, suatu karya jurnalistik yang disajikan dengan sejumlah sentuhan, khususnya segi artistik yang membalut foto-foto beritanya lebih enak dilihat dan hidup.
Waktu berputar, jaman berubah, regenerasi juga berlangsung di harian itu. Pewarta foto muda yang lebih enerjik hadir meneruskan tongkat estafet sebagai kuli citra.
Julian kini praktis jarang turun ke lapangan, dia menjadi editor foto senior dan mendapat tugas untuk membina lintas generasi dari pewarta-pewarta foto baru tadi.
Dia juga menangani proyek-proyek khusus KOMPAS termasuk seperti menjadi pengarah fotografi pada penerbitan buku fotografi jurnalistik "Mata Hati", sebuah buku antologi fotogarfi jurnalistik yang penting. Sampai kemudian dia meluncurkan buku foto perdananya, "Split Second, Split Moment" (Gramedia, 224 halaman, 2010) yang bermaterikan karya-karyanya selama menjadi kuli-citra Kompas, termasuk karya ikoniknya perihal Reformasi di jalan Kyai Tapa tadi.
Buku terakhir Julian adalah "Indonesia: A Surprise" dimana dia tampil dengan foto-foto dari Bromo, dan imaji dari liputannya di tanah Batak.
Dalam buku yang membawa misi keberagaman, dan diberi pengantar dan puisi oleh Goenawan Mohamad itu, karya Julian bersanding dengan Jay Subyakto, Jez O'Hare, Yori Antar, Riza Marlon, John Suryaatmadja, Hermanus Prihatna, Kemal Jufri, Ardiles Rante, dan Oscar Motuloh.
Ketika buku diluncurkan pada 21 Oktober 2011, di Galeri Salihara, Julian tak dapat hadir, tapi menjelang pameran berakhir, Julian sempat tertegun haru, mengamati foto di Bromo yang diabadikannya dipajang melekat dengan puisi GM tentang bayang-bayang.
"Para pewarta foto freelance masa kini, katakan, Kemal Jufri, Ardiles Rante, Wedha, atau Edi Purnomo, adalah sejumlah figur yang mewakili mata kita sekarang. Dibanding mereka mereka, saya merasa nggak ada apa-apanya.
Mereka benar-benar datang membawa prinsip dan karakter fotografi mereka sendiri ke dalam fotografi jurnalistik kita yang terus mendewasakan dirinya. Namun saya bisa tersenyum menyaksikan eksistensi mereka yang meneruskan representasi suara generasi jamannya, dimana saya tak lagi berdaya merekamnya dengan canggih dan bernas," kata Julian pada suatu tengah malam di GFJA.
Malam yang letih. Aroma fajar menyembunyikan purnama di balik awan, kelompok blues dari Bandung, Harry Pochang Blues Libre, bersiap menutup "live" nya dipanggung kecil di area gedung Antara Pasar Baru yang bersejarah itu. Semua hadirin, kebanyakan fotografer, termasuk Julian tentunya, bersama-sama melantunkan dengan khusuk "In My Life" balada psychedelic abadi dari Beatles:
There are places I'll remember
All my life, though some have changed
Some forever, not for better
Some have gone and some remain
All these places have their moments
With lovers and friends I still can recall
Some are dead and some are living
In my life, I've loved them all
(A025)
Julian Sihombing: Ars Longa Vita Blues (Bagian II)
Minggu, 14 Oktober 2012 19:47 WIB