Menjelang acara pembukaan "The 3rd Singapore International Photography Festival" (SIPF) saya dan tiga rekan fotografer, Goenawan Widjaja, Rahmad Gunawan, Kiky Makkiah dari Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) menyempatkan waktu terlebih dahulu untuk menjenguk Julian Sihombing.
Dia adalah sahabat lama, pewarta foto senior harian Kompas yang tengah di rawat di National University Hospital (NUH) melawan kanker getah bening stadium lanjut yang dideritanya sejak setahun belakangan ini.
Jumat 5 Oktober yang terik. Kami berempat, tiba di NUH, yang terletak di Kent Bridge, Wing lantai 8, ward 8A. Ini bukan kamar Julian yang biasanya, meskipun juga terletak di lantai delapan.
Pada lantai ini, sejak medio September 2011, Julian keluar masuk ruang perawatan khusus di rumah sakit tersebut sejak pihak medis memvonis bahwa Julian mengidap kanker.
Ruang yang kali ini ditempatinya adalah kamar isolasi. Ini adalah salah satu dari dua kamar isolasi di sayap yang khusus menangani pasien penderita kanker stadium darurat.
Senyum khas Julian mengembang saat kami memasuki ruangan secara bergiliran. Mengenakan pakaian khusus, Julian menyapa dengan umpatan jorok khasnya, meskipun tak senyaring biasanya.
Adik bungsunya Stefan yang juga fotografer, hanya tersenyum geli di sofa tamu yang terletak di sebelah kiri ranjang Julian.
Pekan itu, Stefan yang akrab disapa dengan Ucok bertugas menemani Julian bergantian dengan Suri Dewanti Sihombing, istri Julian yang akan bergabung kembali pada Selasa berikutnya.
Hari itu, pas saat kedatangan kami, kata Ucok, Julian baru merampungkan serial kemoterapi dosis tinggi untuk perawatan lanjutan atas perkembangan sel-sel kanker yang menjalar dengan cepat dalam tubuh Julian.
Dia mendapat perawatan khusus baru berupa metoda terapi stem-cell yang para perintisnya baru-baru ini memperoleh penghargaan Nobel untuk penemuannya.
Menurut diagnosa medis yang dikutip Ucok, terapi ini adalah benteng pertahanan terakhir Julian. Artinya jika dia mampu menerobos masa kritis dua pekan setelah kemoterapi berakhir, maka untuk sementara sel-sel kanker yang menggerogoti tubuhnya dapat ditangkal, tapi mustahil untuk menyembuhkannya secara total.
Ada yang berbeda dalam kondisi Julian yang saya lihat kali ini. Di balik senyumnya, saya melihat ada seringai pada mimik Julian yang menandakan penderitaan yang sangat.
Sinar matanya redup, meskipun agak bercahaya ketika saya menyerahkan buku yang baru diluncurkan di GFJA, ¿Orangutan : Rhymes & Blues¿, karya pewarta foto muda Antara, Regina Safri yang khusus saya bawakan untuk dia.
Dia membuka satu persatu halaman buku dan tersenyum kecil tiap melihat foto bayi orangutan yang lucu.
"Wah ada nama gue dan tandatangan fotografernya pula," komentar dia. Pikiran Julian mungkin menerawang kembali ke saat-saat menyenangkan setiap kali dia menghadiri acara pameran atau peluncuran buku fotografi jurnalistik di GFJA.
Julian adalah salah satu pewarta foto senior yang setia menyambangi acara-acara di galeri foto yang terletak di tepi sungai Ciliwung dan berbaur dengan fotografer-fotografer muda yang senantiasa berkumpul di sekitarnya untuk menodong sejumlah pertanyaan-pertanyaan seputar fotografi dan pengalamannya sebagai pewarta terkemuka negeri ini.
Bahkan pada masa awal perawatan kankernya, Julian menyempatkan diri hadir dan menjadi menjadi pembicara bersama pewarta foto lepas, Kemal Jufri dan Kepala Antara Foto Hermanus Prihatna sehubungan dengan pameran Kilas Balik Pewarta Foto Antara, pada Februari 2012.
Wajahnya sumringah, setiap bertemu dan bercengkerama dengan sahabat-sahabat fotografer segala usia. Di suatu siang bolong pada pemakaman pewarta foto kawakan Ed Zoelverdi di Rawamangun, Julian juga terlihat hadir di antara hadirin.
Menabur bunga di pusara sang Mat Kodak dan berfoto grup dengan sejumlah fotografer pers yang hadir. "Gile, kita komplit gini kalo ada temen yang lewat ya," canda Julian yang tampak letih tapi dengan senyum yang lepas.
Kehadiran terakhir Julian dalam suatu gathering fotografi jurnalistik adalah saat opening pameran foto Kemal Jufri di Salihara, pada 11 Mei.
Kembali ke NUH. Di tempat tidur yang sandarannya ditegakkan, Julian memainkan i-pad nya. Dia sangat berhasrat untuk menghirup udara segar di luar kamar isolasi dan mampir ke acara workshop SIPF, khususnya yang menghadirkan trio fotografer terkenal dari Magnum, antara lain Stuart Franklin dengan eksibisinya bertajuk "Footprint : Our Lanscape in Flux, Mark Power : The Sound of Two Songs", serta Jacob Aue Sobol : I, Tokyo. diskusi dan pameran mereka bakal di adakan di "ArtScience Museum di Marina Bay Sands".
"Kalo toh gua gak sempet ngeliat workshop mereka bertiga pada tanggal 10 Oktober, gua akan liat pamerannya pada tanggal 18 aje. Karena di atas tanggal itu, gua udah boleh keluar dari isolasi ini dan pindah ke apartemen," ucap Julian mengemukakan rencananya.
"Apalagi tanggal segitu kan temen-temen bangsa Maman dan Jay (Subyakto) bakal ke sini," tambahnya lagi. Namun manusia yang fana hanya dapat merencanakan, Sang Khalik menentukan berbeda, karena pada Minggu dinihari, 14 Oktober, tepat pada pukul 02.19 waktu NUH, jantung Julian tak lagi berdetak. Nafasnya berhenti.
Julian akhirnya ke luar juga dari ruang isolasi, tapi untuk digegas ke ruang ICU karena beberapa jam sebelumnya, menurut Yanti Korompis, salah satu sahabat keluarga Julian, pewarta foto tangguh itu kesulitan bernafas.
Ketika sepasang buah hati Julian, Rian Namora dan Luna Nauli terbang bergabung dengan ibunya Suri Alwi Sihombing di NUH, Julian tak lagi sadarkan diri. Dia hanya meracau, hingga maut menjemputnya.
Jay Subyakto akhirnya berkunjung ke NUH lebih awal, bukan untuk menyimak pameran foto gang Magnum tentu, tapi untuk menjemput jenasah sahabat lamanya. Pagi-pagi benar Jay telah terbang bersama sahabat-sahabat Julian di Kompas, termasuk Rene Pattiradjawane dan Myrna Ratna.
Setibanya di Singapura, Jay langsung ke kawasan industri, Toa Payoh, dimana jenasahnya telah dibawa ke sana untuk di dandani. Jay memilih peti jenasah terbaik terbuat dari kayu oak. Peti tempat pembaringan Julian dibaringkan untuk terakhir kalinya itu berwarna coklat tua.
Mereka memantaskan jas berwarna hijau tua milik almarhum, yang dibawa Jay dan Maman untuk dikenakan kepada yang empunya.
Pada kaki Julian dipasangkan sepatu hitam dengan tali merah, yang disesuaikan dengan selera Julian yang kadang-kadang nyeleneh.
"Ini kita pilihin yang Julian banget deh¿, kata Jay melalui percakapan telpon genggam. Malam ini, pukul 18.30-an jenasah Julian akan diterbangkan dengan Garuda ke Cengkareng dan langsung di bawa ke rumah duka di jalan Perkici 2 Blok EA 3 no.50, Bintaro Jaya Sektor 5. Pemakaman di jadwalkan pada hari Senin, di TPU Tanah Kusir.
(A025)
Julian Sihombing: Ars Longa Vita Blues (Bagian I)
Minggu, 14 Oktober 2012 19:42 WIB