Nairobi (ANTARA Kalbar/Xinhua-OANA) - Dalam dua pekan belakangan, benua Afrika telah mengalami perang saudara yang telah merenggut korban dalam pembangungan sosial ekonomi negara yang terpengaruh.
Namun, korban terbesar bisa jadi adalah perempuan yang diculik dan diperkosa oleh gerilyawan dalam konflik tersebut. Sebagian perempuan itu telah ditawan di luar kemauan mereka dan dipaksa menikah, demikian hasil penelitian yang dilakukan mengenai konflik berkepanjangan yang melanda Sierra Leone, Liberia, Uganda, Rwanda dan Republik Demokratik Kongo (DRC). Penelitian itu diluncurkan di Nairobi, Kamis (6/12).
Sebagai imbalan bagi pernikahan tersebut, perempuan itu biasanya mendapatkan perlindungan dari gerilyawan selain makanan dan tempat tinggal, kata para peneliti.
Mereka mengatakan itu adalah satu bentuk kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan selain diperkosa, kehilangan lahan serta menyaksikan anggota kelurga mereka dibunuh.
Itu bukan hanya melanggar hak asasi manusia internasional serta banyak hukum nasional, sebagian kaum intelektual juga menganggap kawin paksa sebagai satu bentuk perbudakan seksual.
Profesor Studi Hukum-Sosial York University, yang berpusat di Kanada, Annie Bunting adalah penulis laporan mengenai penelitian itu, kata Xinhua --yang dipantau ANTARA di Jakarta, Jumat pagi.
Ia mengatakan tentara yang berperang biasanya memerlukan perempuan untuk penyaluran seks, melahirkan, merawat anak, mengolah lahan serta mendukung strategi perang. Studinya selama tiga tahun mengenai kawin paksan mendapati ikatan itu juga tak diakui berdasarkan hukum adat Afrika.
Di Uganda, Tentara Pembebasan Tuhan (LRA) --yang telah memerangi pemerintah di bagian utara negeri tersebut selama lebih dari 20 tahun-- menggunakan ikatan kawin paksa dalam konflik bersenjata mereka.
LRA dikatakan telah mengembangkan sistem untuk memaksa perempuan yang diculik agar bertindak sebagai istri petempurnya. Mereka juga memainkan peran penting dalam mendorong moral anggota milisi itu.
Sierra Leone tenggelam dalam perang saudara 10 tahun antara 1992 dan 2002. Perempuan yang diculik terdaftar untuk menyediakan tenaga kerja guna memerangi prajurit pemerintah.
Di Liberia, laporan Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran menunjukkan kekerasan yang berlandaskan jenis kelamin meliputi kawin paksa adalah praktek umum.
Selain itu, anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu belakangan diambil dari perempuan setelah konflik berakhir. Perempuan dan anak perempuan mengalami kesulitan untuk diterima kembali oleh masyarakat.
Annie Bunting menambahkan pegiat dan penyintas atau pelaku kekerasan gender sendiri menghadapi resiko. Namun, perlakuan terhadap anak yang dilahirkan di tempat penawanan beragam dari negara ke negara.
Di sebagian negara konflik, mereka sepenuhnya dirangkul oleh milisi, sementara di sebagian negara lain mereka dipandang sebagai warga kelas dua.
(C003)