Jakarta (ANTARA Kalbar) - Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa pemberian sumbangan dari seseorang kepada peserta pemilihan kepala daerah (pilkada) bukan termasuk suap meski penerima sumbangan adalah pejabat petahana (incumbent).
"Kalau 'incumbent' ditetapkan menjadi calon bupati dan menerima sumbangan, artinya sumbangan tersebut diberikan untuk pribadi calon karena yang bersangkutan sudah ditetapkan sebagai calon pilkada dan sah menerima sumbangan sesuai aturan," kata Yusril dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Jakarta, Senin.
Yusril menjadi saksi ahli dalam sidang pemberian suap kepada mantan Bupati Buol Amran Abdullah Batalipu sebanyak Rp3 miliar agar mendapatkan Izin Usaha Perkebunan (IUP) dan Hak Guna Usaha (HGU) di Buol, Sulawesi Tengah dengan terdakwa pengusaha Siti Hartati Murdaya.
Mantan menteri hukum dan HAM itu menilai bahwa sepanjang sesuai dengan aturan dalam pasal 83 Undang-undang No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, maka seorang calon bupati dapat meminta atau mendapatkan sumbangan.
"Dalam penyelenggaraan pilkada, calon berhak meminta atau mendapat sumbangan, dan bila calon itu adalah 'incumbent' memang agak sedikit membingungkan bagi masyarakat awam di kampung untuk memisahkannya, tapi UU mengatakan bahwa ia berhak menerima sumbangan," jelas Yusril.
Pasa1 83 ayat 3 UU No 32 tahun 2004 menyatakan bahwa sumbangan dana kampanye dari perseorangan dilarang melebihi Rp50 juta dan dari badan hukum swasta dilarang melebihi Rp350 juta.
Sehingga bila ada orang yang memberikan sumbangan kampanye pilkada melebihi jumlah batasan yang diatur UU maka Yusril menilai bahwa penerapan pasal yang tepat bukanlah UU Tindak Pidana Korupsi.
"Tidak secara eksplisit pasal pidana UU tersebut mengatur mengenai niat pemberian sumbangan pilkada tersebut, tapi mengingat konteksnya adalah sumbangan pilkada, jadi semestinya yang diberlakukan adalah UU Pildaka bukan UU Tipikor, tidak boleh kalau kelebihan sumbangan langsung lari ke pidana suap atau korupsi," tambah Yusril.
UU tidak atur
Ia juga menilai bahwa bila seseorang memberikan sumbangan pilkada punya niat khusus terhadap calon, maka UU tidak mengatur hal itu.
"Orang yang memberi sumbangan pasti ada apa-apanya tapi itu wajar saja, jadi itu dikembalikan ke hati orang masing-masing, jadi UU tidak bisa mengatur batin, apalagi kalau calon tersebut adalah 'incumbent' sehingga pengusaha serba sulit, bila tidak dikasih sulit, dan tidak dikasih juga sulit jadi yang dibutuhkan adalah kebijaksanaan," tambah Yusril.
Dalam perkara tersebut, Hartati selaku Direktur PT Hardaya Inti Plantation dan PT Citra Cakra Murdya dianggap melakukan perbuatan memberikan suap senilai Rp1 miliar pada 18 Juni 2012 dan Rp2 miliar pada 26 Juni 2012 kepada penyelenggara negara yaitu bupati Buol saat itu Amran Abdullah Batalipu untuk mendapatkan surat Izin Usaha Perkebunan (IUP) dan Hak Guna Usaha (HGU) untuk lahan seluas 4.500 hektar dan sisa lahan 75.090 hektar di Buol yang masuk dalam izin usaha tapi tidak memiliki HGU.
Atas perbuatan tersebut, jaksa menuntut Hartati dengan dakwaan pertama dari pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 jo pasal 64 ayat 1 jo pasal 44 ayat 1 ke-1 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda maksimal Rp250 juta.
(T.D017)
Yusril: Sumbangan ke Calon Bupati 'Incumbent' Bukan Suap
Senin, 7 Januari 2013 13:52 WIB