Jakarta (ANTARA Kalbar) - Keberadaan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional yang selama ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat karena dianggap eksklusif berbiaya mahal, akhirnya harus berakhir alias bubar.
Adalah Mahkamah Konstitusi membatalkan Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur program penyelenggaraan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI).
"Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Ketua Majelis Hakim Mahfud MD saat membacakan putusan di Jakarta, Selasa (8/1).
Pasal 50 ayat (3) UU Sistem Pendidikan berbunyi: "Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional".
Dalam pertimbangannya, Mahkamah memahami konsepsi SBI sebagaimana dimaksudkan dalam UU Sisdiknas untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia agar peserta didik memiliki daya saing tinggi dan kemampuan global, karena Indonesia sebagai negara besar mau tidak mau harus mampu berperan aktif dalam percaturan global.
"Walaupun demikian, menurut Mahfud maksud mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi tidak semata-mata mewajibkan negara memfasilitasi tersedianya sarana dan sistem pendidikan yang menghasilkan peserta didik yang memiliki kemampuan yang sama dengan negara-negara maju, tetapi pendidikan harus juga menanamkan jiwa dan jati diri bangsa.
Selain itu, kata Hakim Konstitusi Anwar Usman, dengan pembedaan antara sekolah SBI/RSBI dengan sekolah non-SBI/RSBI, baik dalam hal sarana dan prasarana, pembiayaan maupun hasil pendidikan, akan melahirkan perlakuan berbeda antara kedua sekolah tersebut termasuk terhadap siswanya.
"Pembedaan perlakuan demikian bertentangan dengan prinsip konstitusi yang harus memberikan perlakuan yang sama antarsekolah dan antarpeserta didik apalagi sama-sama sekolah milik pemerintah," katanya.
Mahkamah juga mengatakan program RSBI/SBI cenderung hanya keluarga dengan status ekonomi mampu dan kaya yang dapat menyekolahkan anaknya pada sekolah SBI/RSBI, walaupun terdapat perlakuan khusus dengan memberikan beasiswa kepada anak-anak dengan latar belakang keluarga kurang mampu secara ekonomi untuk mendapat kesempatan bersekolah di SBI/RSBI.
"Tetapi hal itu sangat sedikit dan hanya ditujukan pada anak-anak yang sangat cerdas, sehingga anak-anak yang tidak mampu secara ekonomi yang kurang cerdas karena latar belakang lingkungannya yang sangat terbatas, tidak mungkin untuk bersekolah di SBI/RSBI," kata Anwar.
Mahkamah menyebutkan pendidikan berkualitas menjadi barang mahal yang hanya dapat dinikmati oleh mereka yang mampu secara ekonomi sehingga bertentangan dengan prinsip konstitusi yang menjadikan penyelenggaraan pendidikan sebagai tanggung jawab negara.
Pasal 50 ayat (3) UU Sistem Pendidikan diuji oleh sejumlah orang tua murid dan aktivis pendidikan ke MK karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Para pemohon tersebut adalah Andi Akbar Fitriyadi, Nadia Masykuria, Milang Tauhida (orang tua murid), Juwono, Lodewijk F Paat, Bambang Wisudo, Febri Antoni Arif (aktivis pendidikan).
Para pemohon merasa dirugikan hak konstitusional karena praktiknya terjadi diskriminatif dan sangat sulit dan mahal untuk menyekolahkan anak-anaknya di RSBI.
Dalam permohonan sejak 2006 pemerintah telah mengembangkan program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI).
Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) hingga 2011 jumlah RSBI di seluruh Indonesia mencapai 1.305 sekolah. Rinciannya, Sekolah Dasar (239), Sekolah Menengah Pertama (356), Sekolah Menengah Atas (359), dan Sekolah menengah Kejuruan (351).
Hingga kurun waktu 2006-2010, Kemendikbud telah mensubsidi 1.172 RSBI menjadi SBI dengan total bantuan sebesar Rp11,2 triliun. Selain Kemendiknas, RSBI dan SBI juga telah mendapatkan bantuan dana dari pemerintah daerah dan masyarakat.
Keberadaan pasal itu menimbulkan perbedaan praktik antara sekolah umum dan RSBI/SBI, misalnya, dalam sekolah umum fasilitasnya minim dan guru-gurunya kurang memenuhi kualifikasi sedangkan dalam sekolah RSBI fasilitas lengkap dan guru-gurunya berkualitas.
Disambut Baik
Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti menyatakan sangat bersyukur atas putusan MK yang mengabulkan semua pengajuan "judicial review" terhadap RSBI.
"Kami berharap Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menghormati hukum dan putusan MK itu. Mendikbud harus memberikan contoh kepada kami semua di dunia pendidikan untuk patuh terhadap hukum," kata Retno Listyarti.
Dia mengatakan FSGI memberikan apresiasi kepada MK yang telah menetapkan putusan yang berpihak pada rakyat dan keadilan.
Menurut dia, lembaga negara yang bisa diharapkan untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi rakyat saat ini hanya MK.
Dia juga berharap putusan MK itu tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah dan DPR dengan menciptakan kebijakan yang berbeda tetapi sejenis dengan RSBI.
"Jangan membangkitkan kembali roh RSBII dengan nama lain," ujarnya.
Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS Ahmad Zainuddin mengapresiasi putusan MK yang membatalkan peraturan pengadaan RSBI.
Zainuddin melalui siaran persnya menyatakan bahwa putusan MK itu merupakan langkah maju bagi upaya peningkatan kualitas mutu pendidikan nasional, karena jika ingin berdaya saing global maka sekolah harus memiliki kemampuan dan kompetensi global.
Dia mengatakan, semua pihak tentu sangat menginginkan adanya sekolah yang berkualitas dan bermutu seperti sekolah-sekolah yang ada di luar negeri sana.
Namun, katanya, tentu saja keinginan tersebut bisa dipenuhi jika pemerintah benar-benar merancang model sekolah yang memiliki kompetensi unggul tanpa harus membebani masyarakat dengan biaya yang mahal.
Menurut dia, sekolah unggul bukan hanya dinilai dari "outcome" kognitif maupun medali olimpiade yang diraih saja.
Ia mengatakan, sekolah unggulan adalah sekolah yang mampu menghasilkan siswa yang berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur sesuai dengan amanat UUD 1945.
Zainuddin berharap adanya pemerataan kesempatan bagi semua siswa untuk belajar disekolah yang berkualitas tanpa adanya diskriminatif dan kastanisasi pendidikan.
Dia menegaskan bahwa dengan keputusan MK ini maka sangat perlu untuk merevisi UU Sisdiknas seperti pada pasal 50 ayat (3) karena masyarakat tak bisa mengakses satuan pendidikan RSBI/SBI ini lantaran biayanya yang mahal.
Untuk itu politisi PKS ini mendesak pemerintah untuk segera merumuskan model sekolah unggul dan berkualitas yang dapat diakses oleh seluruh warga.
"Pasalnya anggaran pendidikan di dalam APBN cukup besar, harusnya mampu mewujudkan model pendidikan yang berkualitas," katanya.
(A025/Z003)
RSBI/SBI Akhirnya Harus Bubar
Rabu, 9 Januari 2013 16:17 WIB