Pontianak (Antara Kalbar) - Ketidakpuasan pemilik modal sebagai cerminan dari watak kapitalisme yang cenderung rakus dengan menggunakan cara yang ekspansif, akumulatif dan represif menjadi ancaman bagi kearifan masyarakat lokal serta sumber daya alam di sekitarnya.
"Masyarakat adat mempunyai kearifan tersendiri dalam mengelola alam sekitar yang mungkin tidak dipahami lingkungan di luar itu," kata Giring, penggiat lingkungan dari Pancur Kasih saat diskusi tentang Hari Bumi di Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat di Pontianak, Senin.
Menurut dia, banyak kasus yang akhirnya melibatkan masyarakat lokal dengan aparat dan pemerintah. Ia mencontohkan kasus di Desa Semunying Jaya, Kabupaten Bengkayang. Di desa tersebut, lahan milik masyarakat adat tetap digunakan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit meski terjadi pertentangan.
"Akibatnya, faktor kuasa, senjata dan kapital, terlibat di dalamnya," kata Giring.
Sementara masyarakat lokal sesungguhnya mempunyai cara tersendiri dalam berhubungan dengan alamnya masing-masing. "Mungkin di Bengkayang berbeda dengan di Landak, atau Kapuas Hulu," ujar Giring yang juga Pemred di Majalah Kalimantan Review.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, Silvester Thomas Daliman SH mengatakan, konsep kedaulatan sebuah negara, tidak membiarkan kedaulatan lain di dalam wilayahnya.
"Sehingga kekuatan komunitas lokal, `diisap` oleh kekuatan negara," ujar Thomas Daliman.
Ia menilai, cara pandang yang berbeda membuat kerap terjadi pertentangan antara hukum negara dan hukum adat masyarakat lokal.
Selain itu, dari sudut pandang masyarakat kapitalis, sesuatu yang tidak berguna, misalnya tanaman durian atau kuburan yang dianggap penting bagi masyarakat adat, sah saja kalau disingkirkan.
"Sementara bagi masyarakat lokal, tidak hanya menyangkut soal aturan tertulis saja, melainkan juga ada faktor sosial, lingkungan, dan sebagainya," kata dia.
Sistem hukum juga tidak disiapkan untuk menunjang hukum adat yang berlaku di suatu daerah.
Hendrikus Adam dari Walhi Kalbar mengatakan, kearifan lokal dari sebuah komunitas penting untuk dijadikan potensi, rujukan maupun konsep pengelolaan berkelanjutan."Yang sebenarnya dapat didukung bersama-sama," kata Hendrikus Adam.
Ia mencontohkan bagaimana masyarakat lokal dalam membersihkan lahan sebelum berladang. "Masyarakat luar mungkin melihat itu hanya menimbulkan asap, membakar lahan, dan sebagainya," kata dia.
Padahal di kalangan Dayak Bekatik misalnya, ada proses panjang yang harus dilalui sebelum melakukan kegiatan pembersihan lahan. "Dan itu dimulai dengan pertemuan-pertemuan di tingkat masyarakat lokal sendiri, jadi tidak serta merta," katanya menegaskan.
Selain diskusi dengan tema "Membumikan Kearifan Komunitas Mengelola Sumber Daya Alam", juga ditampilkan pameran foto dan lukisan tentang lingkungan.
Zul MS, pelukis yang ikut menampilkan karyanya di pameran tersebut mengatakan, ia merekam dan menuangkan dalam kanvas apa yang dirasakan pada saat itu. "Apa yang terjadi dengan lingkungan kita saat itu. Dengan menuangkan dalam bentuk lukisan, mungkin bisa mewakili perasaan atau keluhan masyarakat lain yang tidak terungkap ke publik," kata Zul MS.
(T011/N005)
Kapitalis Ancam Kearifan Lingkungan Masyarakat Lokal
Senin, 22 April 2013 20:23 WIB