Pontianak (Antara Kalbar) - Pakar linguistik, Prof Dr James T Collins menyatakan pentingnya upaya mendokumentasikan bahasa Melayu yang tersebar di Kalimantan Barat secara lengkap sebagai garis dasar untuk kajian berikutnya di kemudian hari.
"Untuk itu, dibutuhkan penelitian secara empiris, langsung ke lapangan, sehingga dapat ditampilkan citra profil bahasa Melayu di Kalbar yang benar, faktual dan nyata, bukan sekedar anggapan pihak kolonial yang menilai bahasa Melayu sebagai bahasa pendatang," kata James T Collins dalam diskusi bulanan di Majelis Adat Budaya Melayu (MABM) Kalbar di Pontianak, Selasa.
Menurut dia, penelitian secara empiris akan menunjukkan fakta sesungguhnya, bukan sekadar pengetahuan umum yang kurang memperhatikan luas dan jangkauan serta nomenklatur yang digunakan.
Namun, lanjut dia, data tentang bahasa Melayu di Kalbar masih minim. Bahkan, di pentas nasional dan internasional, banyak yang belum tahu tentang diversifikasi bahasa Melayu di Kalbar.
Salah satu literatur lama yang ada yakni kamus Melayu - Inggris karangan Thomas Bowrey tahun 1701 terbitan London, terdapat peta yang menghubungkan pulau Kalimantan dengan bahasa Melayu. Sepanjang abad ke-18 dan sebagian abad ke-19, daerah Borneo Barat sangat jarang dilaporkan dalam dokumen dan arsip kolonial.
"Informasi tentang bahasa Melayu di daerah Kalbar sangat terbatas. Mungkin karena pandangan para penjajah tentang kedudukan orang Melayu di Kalimantan," ujar dia dalam diskusi yang bertemakan "Bahasa Melayu di Kalbar : Perlunya Penelitian Empiris dan Kontemporer".
Sejumlah ahli linguistik Barat tidak memerinci mengenai diversifikasi bahasa Melayu di Kalbar. Dalam "The Language Atlas of The Pacific Area" (Wurm dan Hattori, 1983), di lembar 48 hanya label "Western Coastal Malay" yang digunakan untuk merujuk segala varian bahasa Melayu di wilayah geografi itu.
Tahun 1996, para sarjana dari Australia kembali menerbitkan sebuah atlas bahasa. Disusun oleh P Muhlhausler dan DT Tryon yang bekerja sama dengan Stephan Wurm. Ruang lingkup atlas menjadi lebih kecil, dan istilah "Western Coastal Malay" telah diganti dengan istilah Melayu Sambas, Melayu Pontianak, dan bahasa Melayu lainnya. Sepanjang Sungai Kapuas dipetakan sebagai wilayah dialek Melayu Pontianak.
Kemudian, setelah peta tersebut, mulai muncul tulisan akademis yang tidak bersandarkan ilmu kolonial. "Metodologi yang digunakan berdasarkan pengumpulan data di lapangan," kata dia.
Ia mengakui, kebanyakan tulisan dan penelitian tentang dialek Melayu di Kalbar dapat dihitung sebagai tulisan deskriptif dalam kerangka linguistik struktural. "Kajian ini harus diperkuat dengan tambahan metodologi atau ilmu lain," kata James T Collins dari Northern Illinois University, Amerika Serikat.
Misalnya penggunaan teknologi GPS untuk menentukan lokasi kampung yang berbahasa Melayu serta melihat pola distribusi itu agar memperoleh gambaran yang lebih luas. Atau, ilmu sosiologi untuk melihat bahasa Melayu sebagai satu bahasa dalam konstelasi diversitas bahasa di Kalbar.
"Peranan dialek Melayu dan bahasa nasional juga perlu diteliti, karena derap modernisasi di Kalbar sangat cepat," ujar dia. Para sarjana linguistik seharusnya juga memanfaatkan sumber sejarah dan demografi untuk memahami perluasan penggunaan bahasa Melayu.
Ia mencontohkan saat ini di wilayah Sulawesi Tengah yang digunakan adalah bahasa Melayu Manado. Padahal, dua abad sebelumnya, masih ada pengguna bahasa Melayu Sulawesi Tengah.
Namun, karena Sulawesi Tengah dibawah wilayah karesidenan Sulawesi Utara, maka guru atau tenaga pendidik yang dikirim dari Manado atau Sulawesi Utara. Lambat laun, bahasa yang diserap adalah bahasa Melayu dari kalangan guru asal Manado itu.