Singkawang (Antara Kalbar) - Seorang lelaki beretnis Tionghoa dengan muka dan tangan penuh coretan hitam serta berpakaian dayak itu tampak kerasukan, menari tanpa ada gerakan yang jelas.
Di tangan kanan terdapat sebuah pedang tajam sepanjang sekitar 30 centimeter. Sementara kedua kakinya masing-masing menginjak sebilah besi tajam.
Dia berdiri di atas semacam kursi altar terbuat dari kayu yang diusung oleh delapan orang yang juga mengenakan pakaian adat Dayak.
Saat melewati panggung yang antara lain terdapat Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu, Wakil Gubernur Kalimantan Barat Chrstiandy Sanjaya, Walikota Singkawang Awang Ishak dan ratusan warga masyarakat lain, pria berusia 30 tahunan itu yang masih "kerasukan" mendadak berhenti sambil menari-nari.
Tanpa ada yang mengomando tiba-tiba tangan kanannya menusukkan pedang yang dibawanya ke pipi kanan hingga tembus ke pipi kirinya.
"Ahhhhh.....," teriakan penonton termasuk Mari Pangestu tak terhindarkan sambil memalingkan mukanya tak kuasa untuk melihat.
Tapi aneh bin ajaib. Lelaki itu tak kesakitan dan tak ada setetes darah yang muncrat dari pipinya. Malah lelaki itu makin menjadi-jadi menarinya, layaknya orang kerasukan.
Bahkan laki itu bersama rombongannya terus berjalan dengan pedang yang masih menancap di pipinya, tanpa sedikit pun merasakan kesakitan.
Masih ada lagi sekitar 500 laki, wanita, baik tua maupun muda hingga masih anak-anak memamerkan kejadian seperti itu, yakni pipinya, bibirnya, hidungnya ditusuk berbagai benda tajam hingga tembus ke sebelah sisinya.
Masyarakat Singkawang, Kalimantan Barat, menyebut mereka dengan Tatung, yakni orang yang memiliki ilmu kebal sehingga saat tubuhnya ditusuk benda tajam tidak kesakitan apalagi mati layaknya manusia normal.
Bagi masyarakat yang tidak terbiasa menyaksikan pertunjukan yang dilakukan oleh Tatung akan membuat kengerian luar biasa.
Jika dipikir dengan akal sehat sudah tentu apa yang dilakukan Tatung sesuatu hal yang tak lazim. bagaimana mungkin muka ketika ditusuk benda tajam sama sekali tak mengeluarkan darah apalagi kesakitan.
Gambaran itu ditemui saat perayaan Festival Cap Go Meh yang diadakan di Singkawang, Kalimantan Barat, pada Jumat (14/2).
Cap Go Meh diperingati masyarakat Tionghoa yang menganut Tri Dharma (Sam Kaw) sebagai hari raya umat Budha, Konghucu dan penganut Taoisme. Hari kelima belas bulan pertama yang pada tahun kuda (2014) adalah yang ke 2564, Jatuh pada Jumat 14 Februari 2014.
Pada hari ke-15 ini, masyarakat Tionghoa atau peranakan Tionghoa di berbagai dunian termasuk Indonesia, meyakini dewa turun ke dunia. Oleh karena itu masyarakat Tionghoa boleh berkeluh kesat saat iring-iringan pawai lewat.
Iring-iringan perayaan Cap Go Meh juga diyakini memberikan energi positif serta dapat memberikan keselamatan dan kemakmuran. Dengan keyakinan mengundang energi positif banyak masyarakat yang akhirnya merayakan Cap Go Meh dengan berbagai macam hal menarik.
Melalui ritual
Para Tatung sebelum memperagakan kemampuan mukanya ditusuk benda tajam tanpa kesakitan ternyata harus melakukan kegiatan ritual sesuai keyakinan dan kepercayaannya.
Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kalimantan Barat Simplisius, mengatakan mereka tidak bisa sembarang melakukan atraksi seperti itu tapi harus melalui sejumlah ritual.
"Mereka harus sudah dilatih dan terlatih serta menjalankan ritual yang harus dilakukan dengan berbagai tingkatan agar badannya tidak kesakitan," kata Simplisius.
Menurut dia, keberadaan Tatung memang sudah menjadi atraksi yang menarik dalam setiap perayaan Cap Go Meh di Singkawang yang berlangsung sekali setahun dan itu yang menjadikan makin banyak wisatawan domestik, wisatawan nusantara, bahkan wisatawan datang ke kota itu.
A Liu, seorang Tatung, mengaku dirinya sudah 10 tahun menjadi Tatung dan hampir setiap perayaan Cap Go Meh selalu menampilkan atraksi seperti itu.
Dia mengakui bahwa sebelum perayaan puncak Cap Go Meh dirinya selama beberapa hari melakukan kegiatan ritual sesuai keyakinan dan kepercayaan yang dianutnya.
"Saya harus melakukan kegiatan ritual selama beberapa hari agar ada roh yang bisa melindungi saya sehingga tak kesakitan saat muka saya ditusuk benda tajam," katanya tanpa mau mengatakan bentuk kegiatan ritual apa yang harus dilakukan sebelum Cap Go Meh.
Menurut dia, Tatung yang lain juga melakukan kegiatan ritual dan yang membedakan adalah tingkatan kegiatan ritual yang dijalankan.
"Kegiatan ritualnya ada yang ringan dan berat," katanya.
Dirinya yakin bahwa ada roh atau dewa yang melindungi dirinya sehingga saat tubuhnya ditusuk pedang atau benda tajam lainnya tidak berdarah.
Bukan hanya itu, dirinya juga memamerkan kemampuannya duduk diatas sebilah pedang dan perutnya ditusuk dengan tombak. Tapi sekali lagi sama sekali tidak melukai apalagi keluar darah.
Selain itu, dia juga sudah terbiasa berdiri atau duduk di kursi yang dipenuhi paku tanpa kesakitan walau memiliki tubuh yang besar.
"Perlu belajar bertahun-tahun untuk bisa menjadi Tatung yang memiliki kemampuan seperti itu," kata Liu menambahkan.
Mari Pangestu mengatakan kegiatan budaya seperti ini akan terus dijaga dan dihidupkan di tahun-tahun mendatang sebagai upaya melestarikan tradisi Kota Singkawang.
Sekalipun Cap Go Meh merupakan tradisi Tionghoa tapi pada kenyataannya etnis Melayu dan Dayak juga ikut berbaur dan bnersama-sama merayakan kegiatan itu.
"Adanya Cap Gomeh bisa memperkuat toleransi antaretnis yaitu Tionghoa, Melayu dan Dayak. Tradisi seperti ini yang harus dijaga selain bisa menjadi destinasi baru bagi pariwisata di Indonesia," kata Mari Pangestu.
Artikel - Mereka Menjadi Tatung Saat Cap Go Meh
Minggu, 16 Februari 2014 14:56 WIB
erlu belajar bertahun-tahun untuk bisa menjadi Tatung