Jakarta (Antara Kalbar) - Kementerian Komunikasi dan Informatika mengidentikasi bahwa komunikasi publik antarkelompok masyarakat memanas menjelang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 9 Juli 2014.
Identifikasi itu disebutkan dalam rilis berita yang diterima Antara di Jakarta, Minggu, dari kegiatan "focus discussion group" (FDG) yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika bekerja sama dengan Center for Indonesian Reform (CIR) di Jakarta, Jumat (27/6).
FDG bertema "Komunikasi Publik di Masa Transisi Kepemimpinan Nasional" itu menampilkan peneliti media, pengamat politik, sosial, dan ekonomi.
Awesometric, perusahaan yang bergerak di bidang monitoring media berbasis internet melakukan pantauan berseri sejak 10 April hingga 25 Juni 2014.
Berdasarkan perhitungan jumlah "mentions", pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa unggul di media sosial (facebook 478.506 posting dan twitter 8.768.106 kicauan) berbanding dengan Joko Widodo dan Jusud Kalla (facebook 216.262 posting dan twitter 5.415.993 kicauan).
Namun di media "online" berbahasa Indonesia, Joko Widodo dan Jusuf Kalla unggul (316.062) dibanding Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa (237.770).
Sementara di media "online" berbahasa Inggris, Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa unggul tipis (2.272) dibanding Joko Widodo dan Jusuf Kalla (1.699).
Associate Director Awesometric, Tomi Satryatomo menjelaskan pemberitaan media mulai memanas saat penetapan capres dan cawapres tetapi perbincangan publik semakin tajam saat debat antarcapres.
Hal itu itu berarti debat merupakan alat efektif untuk menstimulasi publik dalam menentukan sikap politiknya.
Disebut bahwa dilihat dari pergeseran yang menarik, Prabowo-Hatta mendominasi media sosial untuk basis kelas menengah-bawah-desa (facebook) maupun kelas menegah-atas-kota (twitter) sedangkan Joko Widodo-Jusuf Kalla masih menjadi media di berita online.
Dinamika komunikasi menggambarkan kompetisi yang ketat untuk mempengaruhi persepsi publik dan meningkatkan elektabilitas kandidat.
Pengamat politik dari Universitas Indonesia Yon Mahmudi melihat aspek lain.
"Pilpres dengan dua pasangan kandidat jelas menghemat biaya politik karena hanya berlangsung satu putaran namun biaya sosial meningkat karena terjadi ketegangan dan renggangnya hubungan antara kelompok yang berbeda pilihan politik," kata dosen Fakultas Ilmu Budaya UI dan menjabat Vice Director Institute of Leadership Development UI itu
Kedua capres dipersepsi publik mencerminkan dua gaya kepemimpinan yang berbeda, katanya.
Prabowo dipersepsi sebagai figur yang tegas, berani dan membawa ketertiban sedangkan Joko Widodo mewakili sosok yang merakyat, komunikatif, dan membangun kebersamaan.
"Presiden terpilih akan melahirkan kultur kepemimpinan baru. Yang penting, apakah gaya kepemimpinan itu efektif mendorong reformasi birokrasi dan meningkatkan kualitas pelayanan publik," kata Yon.
Direktur Eksekutif CIR Sapto Waluyo menelusuri karakter" netizen" (publik yang mengakses internet apakah sama dengan "the real citizen" (warga negara) yang tinggal di berbagai daerah dengan kondisi beragam.
"Kita menyaksikan perbincangan panas di dunia maya, bahkan terjadi twitwar (perang virtual). Di lapangan juga mulai terlihat bentrok antara pendukung capres bahkan ancaman provokasi kekerasan seperti di Yogyakarta," kata Sapto.
Menurut dia perlu mekanisme kontrol di media sosial.
Staf Khusus Menkominfo Ahmad Mabruri menerima masukan kritis dalam diskusi.
"Pemerintah menjamin kebebasan berpendapat sesuai konstitusi tetapi juga menjaga stabilitas sosial-politik," katanya.
Keseimbangan peran, menurut dia, perlu dilakukan di masa Pilpres, jangan sampai terjadi benturan, apalagi konflik yang meluas sehingga menggoyahkan stabilitas nasional.
Komunikasi Publik Memanas di Jejaring Sosial
Senin, 30 Juni 2014 10:35 WIB