Jakarta (Antara Kalbar) - Poros Maritim Dunia yang digaungkan Presiden Joko Widodo mesti mengikuti keberhasilan diplomasi Deklarasi Djuanda yang berhasil menerapkan kepentingan Indonesia dalam regulasi tingkat internasional.
"Deklarasi Djuanda berhasil memenangkan national interest Indonesia dengan cara damai, meski berhimpitan dgn kepentingan besar bangsa lain. Kepentingan kala itu adalah kedaulatan terhadap perairan laut di antara pulau-pulau," kata Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Riza Damanik di Jakarta, Sabtu.
Untuk itu, menurut dia, keteladanan terbaik warisan diplomasi Indonesia yang membanggakan bangsa Indonesia dan hasilnya masih dinikmati warga dunia hingga hari ini adalah Deklarasi Djuanda.
Selain itu, ujar dia, Deklarasi Djuanda mengajarkan batas kemuliaan penguasaan modal dan teknologi maritim sebuah bangsa adalah menghormati kedaulatan bangsa lain.
"Hal ini selanjutnya membuahkan perombakan tata kelola laut dunia menjadi lebih adil," katanya.
Ia juga menyatakan, Deklarasi Djuanda menyempurnakan pemahaman kepada dunia bahwa sumber daya agraria kepulauan Indonesia itu tidak saja di darat, bahkan objek reforma agraria lebih besar di laut.
Maka, lanjutnya, Deklarasi Djuanda seharusnya cukup mengajarkan cara memberantas kapal asing pencuri ikan secara tuntas dan bermartabat, serta mengajarkan bagaimana memilih prioritas poros maritim dan membangun tol laut.
"Yakni, menyambungkan antara keteladanan melindungi segenap bangsa dan seluruh wilayah Indonesia dengan pilihan kebijakan luar negeri," kata Riza.
Berdasarkan ensiklopedia dunia maya Wikipedia, Deklarasi Djuanda yang dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja, adalah deklarasi yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.
Sebelum deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939).
Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut.
Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan (Archipelagic State) yang pada saat itu mendapat pertentangan besar dari beberapa negara, sehingga laut-laut antarpulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan bukan kawasan bebas.
(M040/T. Susilo)