Pontianak (Antara Kalbar) - Tahun 2014 menjadi tahun penuh warna bagi jajaran Kepolisian Daerah Kalimantan Barat karena terjadi banyak peristiwa yang mencerminkan baik buruknya personel di tubuh institusi penegak hukum tersebut.
Bermula dari pelantikan dan serah terima jabatan komandan di markas Polda Kalbar dari Brigjen (Pol) Arie Sulistyo kepada pejabat pengganti Brigjen (Pol) Arief Sulistyanto oleh Kapolri Jenderal (Pol) Sutarman pada 13 Mei.
Pejabat lama dimutasi dan menjadi staf ahli madya Kapolri, sementara pejabat baru adalah mantan Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri. Sebuah harapan baru.
Menyusul pergantian pimpinan tersebut, pejabat baru pun menyusun sejumlah rencana strategis guna mengatasi permasalahan keamanan dan hukum di wilayah hukum Polda Kalbar yang meliputi 14 kabupaten/kota dengan luas wilayah 146.807 kilometer persegi atau 7,53 persen dari luas Indonesia, atau 1,13 kali luas pulau Jawa tersebut.
Batas-batas wilayahnya meliputi utara berbatasan dengan Sarawak (Malaysia), selatan dengan Laut Jawa dan Kalimantan Tengah, timur dengan Kalimantan Timur dan barat dengan Laut Natuna dan Selat Karimata.
Hanya selang beberapa hari setelah sertijab, Arief Sulistyanto membuat Komitmen Integritas yang terdiri dari lima poin sebagai bentuk keikhlasannya mengemban tugas pengabdian sebagai anggota Polri pada Polda Kalbar. Salah satu poin pentingnya adalah sebagai atasan, ia berkewajiban memberi suri tauladan kepada bawahan, melindungi, mengayomi, dan membimbing serta mengarahkan bawahan dan mengendalikan pelaksanaan tugas, serta tidak memberi beban yang dapat menimbulkan penyimpangan anggota.
Komitmen integritas tersebut kemudian dipublikasikan dan disosialisasikan kepada sejumlah elemen masyarakat Kalbar ketika kunjungan silaturahmi pejabat baru tersebut ke sejumlah tempat.
Setelah komitmen itu, pada 17 Mei, Arief kemudian mengeluarkan surat perintah untuk seluruh personel jajaran Polda Kalbar. Perintah itu di antaranya mengimplementasikan komitmen integritas dalam setiap pelaksanaan tugas kepolisian.
Adapun poin penting perintahnya itu, di antaranya tidak bekerja sama membantu ataupun turut mengambil peran dengan kejahatan dan pelaku kejahatan dalam bentuk apapun, tidak meminta setoran, jatah ataupun bentuk benda/jasa dari pihak-pihak yang melakukan kegiatan ilegal/kejahatan, dan tidak melakukan pungutan liar dalam pelayanan masyarakat baik dalam bidang lalu lintas, penegakan hukum dan bentuk pelayanan Polri lainnya.
Sebagian porsonel polisi, tampaknya mendukung dan mengikuti perintah tersebut. Namun sebagian lainnya ternyata tak luput dari kesalahan dan kelalaian hingga adanya pemecatan personel.
Salah satu bentuk dukungan tersebut, misalnya dalam penertiban kasus-kasus hukum seperti pertambangan emas tanpa izin (PETI).
Seperti yang telah dilakukan Polres Landak, di Bongo Munti, Desa Ambarang, Kecamatan Ngabang, pada Kamis (28/8). Namun dalam penertiban tersebut, personel polres setempat dihadang massa yang memprotes penertiban tersebut. Akibatnya satu personel bernama Brigadir Supriyanto, terjatuh dari perahu yang ditumpanginya seusai menabrak batu di aliran sungai setempat. Anggota Polres Landak tersebut sempat hilang dan ditemukan dalam keadaan meninggal sehari kemudian.
Kemudian Polres Sekadau juga melakukan penertiban PETI di areal perkebunan kelapa sawit di dusun Amak, Desa Sungai Kunyit, Kecamatan Sekadau Hilir pada Selasa (14/10).
Menurut Kapolda Arief Sulistyanto, dalam operasi penertiban PETI, Polda Kalbar berhasil menertibkan 64 lokasi PETI di 12 dari 14 kabupaten/kota. "Sebanyak 64 titik lokasi PETI itu, terdiri sebanyak 44 lokasi di darat, dan 20 lokasi di sungai," kata Arief Sulistyanto.
Operasi PETI gencar dilakukan, setelah terungkapnya kasus Monterado yang menewaskan sebanyak 18 orang, baik dari pekerja PETI maupun para pendulang, akibat tertimbun tanah yang longsor di lokasi penambangan.
Selain itu data Polda Kalbar mencatat aktivitas PETI paling banyak di Kabupaten Bengkayang, disusul Ketapang, Landak, Sambas dan kabupaten lainnya.
Selain menertibkan PETI, Polda Kalbar juga menahan oknum warga pengumpul dan pengolah emas hasil aktivis PETI, bernama Tuki pada medio Oktober lalu. Polda mengamankan kuitansi jual beli emas milik tersangka itu. Nilai penjualan emas untuk Agustus 2013, sebanyak 60 kilogram emas bernilai Rp30 miliar.
Selain itu, Direktorat Reserse Narkotika Polda Kalbar pada Rabu (22/10) juga telah menggagalkan penyelundupan seberat 5,2 kilogram sabu-sabu dari Malaysia, yang masuk dari perbatasan Aruk (Kabupaten Sambas) - Biawak (Malaysia).
Sabu-sabu seberat 5,2 kilogram itu, disimpan dalam bodi mobil Terios warna hitam dengan nomor polisi B 1164 TAO, yang dibawa oleh dua tersangka Samuel Samallo (42) dan Jawan (60).
"Kedua orang tersebut merupakan warga Kota Singkawang," kata Dirnarkoba Polda Kalbar Kombes (Pol) Hendi Handono.
Tim Dirnarkoba menangkap kedua orang tersebut saat sedang makan di rumah makan nasi Cahaya II di Sambas. Untuk menemukan barang bukti mobil tersebut dibawa ke sebuah bengkel, lalu ditemukan 11 paket sabu-sabu yang telah dibungkus rapi yang disimpan dalam bodi mobil tersebut.
Kemudian juga diungkap sindikat penyelewengan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada Selasa (28/10).
Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda mengungkap sindikat penyelewengan solar bersubsidi, mulai dari pengantre, operator dan pengawas SPBU, penampung hingga perusahaan yang membeli bahan bakar minyak tersebut. Polda mengamankan delapan orang yang terlibat dalam kasus tersebut.
"Terungkapnya sindikat penyelewengan BBM bersubsidi ini dari informasi masyarakat yang selalu tidak kebagian solar bersubsidi di SPBU Jalan Komodor Yos Sudarso (Nipah Kuning), Kecamatan Pontianak Barat," kata Direskrimsus Polda Kalbar Kombes (Pol) Widodo.
Kedelapan tersangka tersebut, yakni operator SPBU tersangka Fa dan Ra, pengawas SPBU, yakni De dan Do, kemudian DN pengantre BBM bersubsidi, To pemilik mobil yang digunakan untuk antre solar bersubsidi, dan IE penampung solar bersubsidi tersebut.
Kemudian barang bukti yang diamankan uang tunai Rp35 juta, solar sebanyak 816 liter, dan dua unit mobil, yakni satu truk dan satunya mobil biasa.
Untuk pengembangan selanjutnya, kami juga memeriksa pemilik CV Restu Lestari yang bergerak di bidang penjualan pasir, berinisial HF alias Akian. Karena selama ini CV tersebut diduga membeli solar bersubsidi tersebut.
Modus sindikat penyelewengan BBM bersubsidi tersebut menggunakan sekitar belasan truk yang antre setiap harinya di SPBU Nipah Kuning, satu truk bisa membeli solar bersubsidi sekitar 80 liter. Kemudian satu truk bisa antre lima hingga sepuluh sekali/hari atau sekitar 800 liter/truk/hari.
Mereka membeli solar bersubsidi tersebut Rp5.700/liter atau lebih tinggi dari harga normal Rp5.500. Kelebihan harga itulah yang mereka berikan untuk operator dan pengawas SPBU. Kemudian solar bersubsidi tersebut dijual ke penampung seharga Rp6.500/liter. Penampung menjual kembali solar bersubsidi tersebut ke CV Restu Lestari seharga Rp7.500/liter.
Pengungkapan kasus-kasus tersebut, agaknya menjadi bukti adanya keseriusan jajaran polisi di Kalbar dalam melaksanaan tugas, fungsi, serta komitmen dan perintah pimpinan dalam penegakan hukum di Kalbar dan menjadi polisi baik.
Namun di antara pengungkapan kasus tersebut, ternyata pada tahun yang sama, "wajah" Polda Kalbar juga tercoreng dengan adanya oknum polisi yang terlibat dalam kasus narkoba dan ditangkap di Malaysia.
Polisi narkoba
Seorang perwira polisi telah ditangkap Polis Diraja Malaysia saat berada di sebuah hotel di Kuching, Sarawak, Malaysia Timur, Jumat (29/8). Perwira tersebut AKBP Idha Endri Prastiono. Ia ditangkap Polisi Diraja Malaysia karena diduga terlibat dalam jaringan narkoba internasional. Bersama dia juga ditangkap Bripka MH Harahap, anggota Polsek Entikong.
Untuk mempertanggungjawabkan perbuatan oknum tersebut, Polda Kalbar menggelar sidang Komisi Kode Etik (KKE) terhadap tersangka AKBP Idha Endri Prastiono terkait kasus penyalahgunaan wewenang, pelanggaran disiplin dan tindak pidana.
Majelis Hakim sidang, Irwasda Polda Kalbar Kombes (Pol) Didik Haryono, dengan anggota komisi Kepala Biro SDM Kombes (Pol) Dwi Setiadi, Kepala Bidang Hukum Ajun Komisaris Besar (Pol) D Marbun, Direktur Pengamanan Objek Vital Kombes (Pol) Budhy, dan Direktur Reserse Narkoba Polda Kalbar Kombes (Pol) Handy Handono, pada Jumat (10/10), memutus pemberhentikan tidak dengan hormat (PTDH), AKBP Idha Endri Prastiono.
"Saya berharap sidang itu bisa memberikan efek jera, sehingga tidak dicontoh bahkan oleh anggota lainnya," kata Kapolda Kalbar, Arief Sulistyanto menanggapi pelaksanaan sidang kode etik tersebut.
Karena sesungguhnya AKBP Idha bukan hanya membuat malu jajaran Polda Kalbar baik nasional maupun di negara tetangga Malaysia, namun ia juga ternyata telah menyalahgunakan wewenang dengan menguasai mobil Mercedes Benz C 200 milik tersangka narkoba bernama Aciu yang tak lain adalah warga Malaysia. Mobil tersebut dikuasai oleh Idha sebelum ia ditangkap di Malaysia oleh polisi setempat, akhir Agustus lalu.
Ia juga disebut-sebut terkait dalam kasus pengurangan barang bukti narkoba hasil penyitaan Polda saat ia masih bertugas di Kasubdit III Reserse Narkotik Polda Kalbar. Ia terkait dalam kasus narkoba yang melibatkan Ling Chee Luk dan Chin Kui Zen sebagai tersangka narkoba dengan barang bukti narkoba 468 gram, namun seharusnya satu kilogram. Proses penetapan Idha Endri Prastiono sebagai tersangka dimulai 16 November 2013.
Penyidik kasus itu menyebutkan terjadi pengurangan barang bukti setengah kilogram, penangkapan tersangka dalam kasus itu di Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang.
Selain menjalani sidang komisi kode etik dan diberhentikan dengan tidak hormat, di pengadilan umum (tindak pidana), Idha Endri Prastiono dikenakan tindak pidana korupsi melalui pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU nomor nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena diduga melakukan pemerasan dan penyalahgunaan kewenangan.
Pasal tersebut di antaranya mengatur tentang pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
Ketua Majelis Hakim PN Pontianak Torowa Daeli, pada Selasa (11/11), menjatuhkan hukuman delapan tahun penjara, denda Rp200 juta terhadap Idha Endri Prastiono dalam kasus perampasan barang bukti mobil Mercedes Benz C 200 milik orang berperkara.
"Terdakwa (Idha Endri Prastiono, red) terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tidak pidana korupsi bersama-sama sehingga kami menjatuhkan vonis delapan tahun penjara, denda Rp200 juta," kata Torowa Daeli.
Apabila terdakwa tidak membayar uang denda Rp200 juta, maka hukumannya ditambah selama enam bulan kurungan penjara. "Hukuman terdakwa juga dikurangi selama dia (terdakwa) menjalani masa tahanan," ujarnya.
Menurut hakim, ada beberapa hal yang memberatkan terdakwa, yakni akibat perbuatan terdakwa berdampak ketidakpercayaan masyarakat kepada aparat hukum. Sementara hal yang meringankan, selama dalam persidangan terdakwa bersikap sopan, kata Torowa.
Kapolda Kalbar dalam beberapa kesempatan tak lupa selalu mengingatkan agar jajaran kepolisian dapat mengawasi diri sendiri atau menjadi polisi bagi dirinya, serta saling mengingatkan agar tidak salah jalan.
Ia juga mengatakan, pascakasus Idha tersebut, Kapolri Jenderal (Pol) Sutarman, berpesan dengan adanya masalah tersebut jangan sampai semangat anggota Polda Kalbar sekitar 10 ribu orang menjadi mengendor, seperti pesan Kapolri Jenderal (Pol) Sutarman.
Karena itu pula, ia mengajak anggota Polda Kalbar untuk mengawasi diri sendiri atau menjadi polisi bagi dirinya, serta saling mengingatkan agar tidak salah jalan. Harapannya, pada 2015 tidak ada lagi kasus yang melibatkan oknum polisi.
(N005)
Catatan - Baik Buruk Polisi di Tubuh Polda Kalbar
Kamis, 1 Januari 2015 11:26 WIB
Harapannya, pada 2015 tidak ada lagi kasus yang melibatkan oknum polisi