Jakarta (Antara Kalbar) - Pengamat sektor kelautan dan
perikanan Abdul Halim menginginkan berbagai pihak dapat meningkatkan
koordinasi dalam rangka mengatasi permasalahan yang kerap ditemui Anak
Buah Kapal (ABK) Indonesia yang bekerja di kapal asing.
"Permasalahan pokoknya adalah ruwetnya mekanisme koordinasi
antarkementerian atau lembaga negara yang bertanggung jawab untuk
mengelola isu ketenagakerjaan di atas kapal perikanan," kata Abdul Halim
di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, permasalahan itu terletak
di semua tingkatan birokrasi, seperti dari fase penyiapan tenaga kerja,
fase kerja ABK, hingga fase pasca-ABK bekerja.
Abdul Halim
yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Center of Maritime Studies
for Humanities itu juga menyatakan, pemerintah Indonesia belum
meratifikasi Konvensi ILO No. 188/2007 sehingga kerap kesuliatan
mengadvokasi hak-hak ABK yang bekerja di kapal asing.
Dia
juga mengungkapkan, sejumlah pelanggaran yang dialami ABK Indonesia
antara lain adalah dalam bentuk pemalsuan identitas dan dokumen pelaut,
minimnya informasi mengenai pekerjaan serta tiadanya sisitem pelatihan
dan pengembangan kapasitas ABK.
Bahkan, lanjutnya, tidak jarang pula ada ABK yang mengalami kasus tindak kekerasan hingga penghilangan nyawa.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti
menginginkan berbagai pihak dapat terus berupaya melindungi ABK
Indonesia yang diperkirakan masih banyak yang mengalami kondisi tidak
manusiawi di berbagai lautan internasional.
"Indonesia
pemasok terbesar dalam dunia tenaga kerja ABK," kata Menteri Susi dalam
konferensi pers di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),
Jakarta, Selasa (24/1).
Menurut dia, pada saat ini
diperkirakan ada terdapat sekitar ratusan ribu warga negara Indonesia
yang bekerja di kapal asing, yang rata-rata berada dalam kondisi
kesejahteraan yang minim dan tidak memadai.
Menteri Susi
juga mencontohkan, ketika kunjungan Wakil Presiden ke Hawaii (Amerika
Serikat) juga ditemukan adanya ABK Indonesia yang bekerja di kapal asing
yang ternyata tidak bisa mendarat ketika kapal berlabuh.
Alasan mengapa mereka tidak bisa menginjakkan kaki di daratan, ungkap
Susi, adalah karena para ABK tersebut tidak memiliki dokumen yang legal
atau resmi. Kalau para ABK itu tidak memiliki dokumen resmi, lanjutnya,
maka bisa dipastikan pula bahwa mereka juga tidak memiliki proteksi
terhadap kondisi mereka.
KKP juga telah meluncurkan laporan
penelitian berdasarkan pengalaman langsung dari para saksi mata yang
menjadi korban perdagangan orang di kapal, dan merupakan hasil kerja
sama IOM (Organisasi Internasional Migrasi) Indonesia dan Satgas
115-KKP, serta bantuan UI dan Coventry University.
Penelitian IOM itu meliputi penipuan yang sistematis dan terstruktur
dalam praktek rekrutmen dan eksploitasi ABK dari berbagai negara di
kawasan Asia Tenggara, termasuk berbagai pernyataan saksi mata mengenai
kekerasan dan pembunuhan di laut, serta membuang jasad secara ilegal.
Kemudian, kasus eksploitasi tenaga kerja seperti memaksa ABK untuk
bekerja lebih dari 20 jam per hari, berbagai tindakan melawan hukum
antara lain mematikan transmitter kapal, menggunakan peralatan yang
dilarang dan membahayakan, 'transshipment' ilegal, pemalsuan dokumen dan
'logbook'.
Terakhir adalah tumpang tindih regulasi yang
mengakibatkan ketidakjelasan tanggung jawab institusi pemerintah terkait
dengan pengawasan rekrutmen tenaga kerja, kondisi kerja, perusahaan
perikanan, agensi perekrutan, dan kapal.
Tingkatkan Koordinasi Atasi Masalah ABK Indonesia
Kamis, 26 Januari 2017 16:54 WIB