Jakarta (Antara Kalbar) - Peluncuran Satelit 3S milik Telkom sukses
dilakukan pada 14 Februari 2017 pukul 18.39 waktu setempat di Kourou
Guyana, Prancis. Peluncuran satelit itu telah memenuhi harapan banyak
pihak, umumnya rakyat Indonesia karena nantinya akan sangat membantu dan
mendukung pembangunan ekonomi berbasis digital.
Terkait peluncuran satelit tersebut Direktur Utama Telkom Alex J
Sinaga menyampaikan apresiasinya terhadap kesuksesan peluncuran satelit
itu.
Ia juga mengapresiasi kerja keras Telkom serta mitra manufaktur
dan launcher (pelontar) satelit Telkom 3S itu. Satelit tersebut
diproduksi oleh Thales Alenia Space dan diluncurkan oleh roket milik
Arianespace.
"Praise the Lord. Congratulations. Thank you very much for Thales
and Arianespace for this fantastic job," ujarnya pada kesempatan
tersebut. Ia juga menyampaikan ucapan terimakasih kepada rombongan yang
hadir dari Kementerian Kominfo dan Kementerian BUMN.
Dirut Telkom menyatakan sangat bangga atas suskesnya peluncuran
satetlit Telkom 3S itu serta berharap ke depan peran Telkom semakin
strategis dalam mendukung program Nawacita, khususnya dalam
mengembangkan ekonomi Indonesia yang berbasis digital.
Dengan adanya peluncuran satelit itu juga diharapkan pelayanan
Telkom kepada masyarakat Indonesia ke depan semakin baik serta
menjangkau daerah terpencil dan terluar.
Setelah peluncuran Satelit Telkom 3S, semua rombongan pada 15
Februari 2017 kembali ke Indonesia. Beberapa orang ada yang sengaja
mampir ke Suriname.
Suriname adalah negara yang menarik untuk diceritakan karena di
sana banyak orang Suriname keturunan Jawa. Catatan dan informasi yang
tersedia menyebutkan, Suriname (Surinam) dahulu bernama Guyana Belanda
atau Guiana Belanda.
Suriname adalah sebuah negara di Amerika Selatan, bekas jajahan
Belanda. Negara itu berbatasan dengan Guyana Prancis di timur dan Guyana
di barat, sedangkan di selatan berbatasan dengan Brasil dan di utara
dengan Samudra Atlantik, dengan luas keseluruhan 163.821 km2 .
Keturunan Jawa
Di Suriname terdapat banyak warga keturunan Jawa yang dibawa ke sana dari Hindia Belanda (Nusantara) antara tahun 1890-1939.
Wilayah Suriname mulai dikenal luas sejak abad ke-15, yaitu
ketika bangsa-bangsa imperialis Eropa berlomba menguasai Guyana, suatu
dataran luas yang terletak di antara Samudera Atlantik, Sungai Amazon,
Rio Negro, Sungai Cassiquiare, dan Sungai Orinoco.
Semula dataran ini oleh para ahli kartografi diberi nama Guyana
Karibania. "Guyana" berarti dataran luas yang dialiri oleh banyak
sungai, dan "Karibania" berasal dari kata "Caribs", yakni nama penduduk
asli yang pertama kali mendiami dataran tersebut.
Pada 1870, Pemerintah Belanda menandatangani sebuah perjanjian
dengan Inggris untuk mendatangkan imigran asing ke Suriname. Perjanjian
ini diimplementasikan secara resmi pada 1873 sampai 1917, dimana
rombongan imigran Hindustan pertama dari India didatangkan, termasuk
imigran dari Jawa yang didatangkan pada 1890 - 1939.
Seiring dengan ditempatkannya para imigran di sektor perkebunan,
Suriname mengalami kemajuan pula dalam beberapa bidang lainnya, seperti
telekomunikasi, pembuatan jalan raya, dan pembukaan jalur hubungan laut
langsung antara Suriname dan Belanda.
Namun sebenarnya tidak semua "orang Jawa" di Suriname adalah
etnis Jawa, karena terdapat juga suku Sunda, Madura, dan beberapa suku
lainnya. Tetapi karena mayoritas kuli kontrak itu adalah etnis Jawa,
suku-suku selain Jawa berasimilasi sebagai orang Jawa.
Dilihat dari asalnya, kurang lebih 70 persen orang Jawa itu
berasal dari Jawa Tengah, 20 persen dari Jawa Timur, dan 10 persen dari
Jawa Barat. Kurang lebih 90 persen termasuk etnis Jawa; 5 persen Sunda;
2,5 persen Madura dan 2,5 persen suku lain, termasuk juga orang-orang
dari Batavia (kini Jakarta).
Di antara suku Jawa tersebut, mayoritas berasal dari Karesidenan
Kedu (Kabupaten Magelang dan sekitarnya). Itulah sebabnya, bahasa Jawa
yang dituturkan di Suriname mirip dengan bahasa Jawa Kedu.
Bahasa selain Jawa seperti Sunda dan Madura sudah tak dituturkan
lagi serta tidak memberi pengaruh apapun terhadap bahasa Jawa yang
dituturkan di Suriname.
Diguncang kudeta
Pada 25 Februari 1980, lima tahun setelah kemerdekaannya, Suriname
diguncang oleh kudeta yang dilancarkan pihak militer, Pelakunya adalah
para Sersan yang dipimpin Sersan Mayor Desiree Delano Bouterse dan
Sersan Roy Dennis Horb.
Peristiwa kudeta ini telah mengakibatkan jatuhnya Pemerintah
Demokrasi Parlementer pertama sejak kemerdekaan Suriname. Sebagai reaksi
terhadap pemberontakan tersebut, pada 8 Desember 1982 pihak militer
melakukan penembakan terhadap 15 tokoh oposisi demonstran.
Peristiwa ini telah menjadi penyebab bagi dihentikannya bantuan
pembangunan Belanda kepada Suriname yang berdampak pada semakin buruknya
kondisi perekonomian negara itu.
Pemerintahan militer diakhiri dengan penyelenggaraan pemilihan
umum pada November 1987 yang telah mengembalikan kekuasaan pemerintah
kepada golongan sipil.
Namun pemerintahan hasil pemilu ini tidak berjalan lama.
Kemudian, pelaksanaan Pemilu 25 Mei 2000 mengantarkan kembali R.R.
Venetiaan (NPS) ke tampuk kursi kepresidenan dan memimpin Suriname untuk
masa lima tahun (tahun 2000-2005).
Saat ini Presiden Suriname dijabat oleh Dasai Bouterse dari
partai National Democratic yang diangkat sejak 20 Agustus 2010. Dia
berasal dari partai National Democratic.
Populasi Suriname terdiri dari beberapa kelompok minoritas.
Kelompok terbesarnya adalah Hindustani. Berdasarkan data statistik dari
Biro Pusat Administrasi Kependudukan Suriname, jumlah penduduk Suriname
pada sensus tahun 2003 tercatat 481.146 orang.
Sekitar 14,7 persen merupakan suku Jawa, sebagian besar
Hindustan, dan selebihnya adalah suku Kreol, Tionghoa, dan lain-lain.
Mayoritas beragama Kristen, sedangkan Islam hanya 13,5 persen.
Bahasa resmi di Suriname adalah Bahasa Belanda, juga bahasa
Sranang Tongo, bahasa Hindustani, dan bahasa Jawa Suriname. Ada juga
bahasa asal bahasa Karibia dan bahasa Arawakan, yakni bahasa orang India
Suriname.
Selain itu, bahasa Inggris digunakan secara luas, terutama yang
terkait dengan fasilitas dan toko yang berorientasi pariwisata. Demikian
sekilas profil Suriname yang kami dapatkan. Kami sungguh bersyukur
dapat berkunjung ke negara itu.
Duta Besar RI untuk Suriname Dominicus Supratikto (Tikto) asal
Yogya begitu respek dan sangat membantu kami, sehingga perjalan kami ke
Suriname berjalan lancar.
Perjalanan kami menghabiskan waktu lebih kurang lima jam, yakni
dua jam perjalanan darat hingga perbatasan, dilanjutkan naik kapal ferry
selama 30 menit, kemudian dilanjutkan jalan darat selama dua jam utuk
sampai di Ibukota Paramaribo.
Warung Bu Toeti
Sebelum masuk ke kota Paramaribo, kami terlebih dahulu mampir di salah
satu warung milik orang Suriname keturunan Jawa. Namanya "Warung Bu
Toeti". Sungguh terasa sekali nuansa Jawa-nya.
Selain pemilik warung masih berbahasa Jawa, juga disain warung
dan warna yang disajikan bernuansa Jawa. Ada juga kain batik dan gambar
wayang Jawa, sementara makanan yang disajikan adalah makanan khas Jawa
seperti telo teri, soto serta goreng tahu dan urap. Sungguh kami merasa
seperti mudik ketika Lebaran di Indonesia.
Setelah makan siang, kami melanjutkan kunjungan ke lokasi pertama
dimana orang Jawa atau para imigran Jawa tiba di Suriname pada 1890.
Konon ceritanya, saat itu jumlah orang Jawa dari Hindia Belanda
(Nusantara) yang diturunkan dari kapal laut lebih kurang 3.000 orang
yang semuanya dipekerjakan di kebun-kebun maupun pabrik gula milik
Belanda.
Kamipun tak lupa mampir ke pabrik gula di Parimaribo. Kami
disambut oleh bapak tua keturunan Jawa yang bernama Bimbo. Dia sangat
antusias menjawab pertanyaan ketika tahu kami datang dari Indonesia.
Bimbo langsung membawa kami ke sudut-sudut lokasi pabrik dengan
bahasa "Jawa medok". Menurut dia, dulu hampir sebagian besar buruh
pabrik adalah orang Jawa. Selebihnya orang India keling dan orang Kreol.
Sayang sekali pabrik gula di Paramaribo itu sudah tidak
beroperasi lagi semenjak Belanda melepaskan Suriname pada 25 November
1975. Sebagai dampaknya, kebun-kebun tebu di Suriname lenyap. Para
pekerja yang semula bekerja di pabrik tebu kemudian beralih menjadi
buruh toko dan buruh pabrik lainnya.
Setelah mengunjungi pabrik gula yang sudah tidak beroperasi itu,
rombonganpun sepakat untuk mampir sholat di Masjid Darul Falah. Pengurus
masjid tersebut adalah Ustadz Sobri asal Cilacap dan masih WNI yang
juga berkedudukan sebagai Ketua "Nurusobri Islamic Foundation of
Suriname".
Selesai beramah-tamah dengan Ustadz Sobri, rombongan melanjutkan
perjalanan ke tempat penginapan (hotel) untuk bersitirahat. Pada malam
harinya kami akan dijamu oleh Dubes Dominicus Supraptikto yang juga akan
memperkenalkan kami ke beberapa pengusaha Jawa Suriname.
Kami pun mendapat informasi bahwa penganut Islam keturunan Jawa
masih ada yang shalatnya berkiblat ke arah barat, karena masih memegang
kebiasaan leluhurnya dulu di Indonesia yang sholatnya mengarah ke barat.
Sejatinya arah kiblat yang benar di Suriname adalah ke timur.
Meskipun berbeda pemahaman arah kiblat, kerukunan agama di
Suriname sangat baik, karena tidak pernah ada konflik terjadi terkait
persoalan agama.
Tepat setelah shalat magrib, kami memenuhi undangan makan malam
Dubes Indonesia untuk Suriname. Dalam jamuan makan tersebut hadir pula
istri Dubes serta beberapa pengusaha lokal Suriname keturunan Jawa,
yaitu Mr Marciano Dasai selaku Direktur Wahida Collections, Mr Jurmic
Kartodongso sebagai Dirketur Jammie dan Suja Management, dan Mr Erwin
Atmodimedjo sebagai Managing Director of Solve IT.
Mr. Marciano berbisnis di bidang pakaian dan furniture yang
diimpor dari Indonesia. Dia menyelesaikan kuliah S1 dan S2 di UGM
Yogyakarta, dan sekarang sedang menyelesaikan studi S3 di perguruan
tinggi yang sama.
Sementara itu Mr Jurmic adalah seorang "entertainer" yang populer
di Suriname dengan group lawaknya "Dast Cabaret" serta berbisnis
sebagai pengusaha restoran dan sosis terkenal, sedangkan Mr Erwin adalah
pengusaha di bidang IT, semengtara Dr Jim adalah pemilik Rumah Sakit
dan Pembiayaan Syariah.
Keesokan harinya, pada 16 Februari 2017 kami diajak oleh Dubes
Tikto untuk bertemu dengan beberapa pengusaha Suriname guna melihat
kemungkinan kerjasama bisnis atau usaha dengan pengusaha Indonesia.
Beberapa peluang usaha yang ditawarkan adalah di bidang industri
kayu/furniture serta tambang dan wisata.
Dari pertemuan tersebut, para pengusaha Suriname tertarik untuk
datang ke Indonesia pada April 2017. Mereka akan bertemu beberapa
pengusaha dan pimpinan BUMN terkait guna membicarakan kemungkinan
kerjasama usaha yang akan difasilitasi oleh Kementerian Kominfo dan
Kementerian BUMN serta akan dikoordinasikan oleh Kedutaan Besar RI di
Suriname.
Sudah dua malam kami berada di Suriname. Sebelum berangkat ke
Bandara untuk pulang ke Indonesia, kami menyempatkan diri untuk
berkeliling kota Suriname serta berkunjung ke rumah-rumah peninggalan
Belanda dan Istana Presiden Suriname.
Di pasar-pasar kami pun banyak menjumpai orang-orang keturunan
Jawa yang juga masih bisa berkomunikasi dalam bahasa Jawa. Barang-barang
yang dijual ada batik serta lukisan khas Jawa dan souvenir bernuansa
Jawa.
Dalam siaran radiopun kami mendengar lagu-lagu Jawa. Salah satu
radio yang cukup terkenal di sana adalah radio "Mustika" yang juga masih
berbau jawa.
Sungguh banyak cerita dan pengalaman menarik yang kami dapatkan
di Suriname. Rasanya tidak cukup dan mampu kami tulis di sini. Yang
jelas, kami merasa Indonesia ada di Suriname, dan mudah-mudahan "rasa
Indonesia" itu serta budaya Jawa di sana tetap terjaga, selain tetap
menjadi bagian dari kekayaan budaya Suriname.
Kami harus segera berangkat ke Bandara. Jadwal kami harus kembali
ke Jakarta melalui Amsterdam tepat jam 14.00 waktu Suriname. Selamat
tinggal Suriname!!!
Penulis*, Asisten Deputi Bidang Pertambangan, Industri Strategis dan Media 1 Kementerian BUMN.
(A015/N004)
Ada rasa Indonesia di Suriname (catatan perjalanan)
Rabu, 22 Februari 2017 12:37 WIB