Mempawah (Antara Kalbar) - Kalimantan dirancang pemerintah sebagai pusat produksi dan pengolahan hasil tambang dan lumbung energi nasional.
Koridor ekonomi tersebut terdapat di dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 yang bertumpu pada potensi sumber daya alam yakni melalui sektor perkebunan, khususnya kelapa sawit.
Fokus pada Kalbar, dimana dalam dua dekade ini areal perkebunan kelapa sawit tumbuh seluas 1,1 juta hektare. Sementara pada 2025 mendatang sektor perkebunan sebagai komoditas unggulan tersebut ditargetkan terus tumbuh menjadi 1,5 juta hektare.
Konsesi perkebunan kelapa sawit di Kalbar diantaranya dikelola PTPN XIII dan 455 swasta. Luasan konsesinya tersebar di berbagai kabupaten/kota.
Namun dari aspek produktivitas, angka produksi Crude Palm Oil (CPO) Kalbar saat ini dinilai belum memuaskan alias rendah yakni dikisaran dua ton hektare pertahun. Kemampuan produksi Kalbar itu tertinggal separuhnya dengan produksi nasional, yakni empat ton CPO per hektare per tahun.
Di level nasional, industri perkebunan Kalbar berada diurutan ke-4. Artinya secara bisnis industri kelapa sawit di Kalbar yang digeluti ratusan perusahaan itu saat ini memiliki pangsa pasar yang cukup besar dan menjanjikan, baik domestik maupun global.
Peluang dan tantangan itu yang harus dimanfaatkan seluruh industri kelapa sawit di Kalbar dengan baik. Salah satunya menerapkan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagai jaminan standar mutu produk olahan, yang didukung oleh pemerintah daerah, khususnya dinas yang berwenang terkait penerbitan sertifikasi ISPO industri kelapa sawit.
Prospek dan dilema industri kelapa sawit
Trend industri kelapa sawit dinilai memiliki prospek cerah kedepannya. Berbagai pendapat cenderung mendorong pengembangan industri kelapa sawit di Kalbar dilakukan dengan pola intensifikasi berbasis pemanfaatan teknologi.
Apalagi animo petani swadaya mandiri yang ingin mengembangkan kelapa sawit di daerah saat ini belum diimbangi dengan pengetahuan. Termasuk bagaimana melakukan peremajaan dan pengembangan.
Dengan pola intensifikasi, revitalisasi pangan dan ketahanan energi dinilai akan selaras dengan UU No. 18 Tahun 2004 tentang perkebunan yang seyogianya berdasarkan asas, tujuan dan fungsi yang memberi manfaat, berkelanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, serta berkeadilan.
Prospek industri kelapa sawit di Kalbar harus bermanfaat terhadap aspek ekonomi petani, pekerja dan masyarakat. Apalagi pada tahun 2019 mendatang Kalbar dipastikan sudah memiliki sarana penunjang industri, yakni pelabuhan internasional Kijing di pesisir Kabupaten Mempawah yang difasilitasi pemerintah melalui IPC Pelindo II (BUMN).
Pemerintah menyatakan pembangunan pelabuhan internasional Kijing sebagai supporting industry. Hal itu guna menekan biaya industri terkait ekspor-impor komoditas di daerah, sekaligus memacu pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Provinsi Kalbar yang terintegrasi dengan MP3EI.
Namun ditengah optimisme menopang pertumbuhan makro ekonomi khususnya terhadap pengembangan sektor perkebunan Kalbar itu, belakangan ekspansi kelapa sawit justru menuai resolusi dari Uni Eropa. Di dalam negeri, juga dihadapkan dengan regulasi baru terkait Permen LHKNnomor 17 tahun 2017 tentang Perubahan atas Permen Nomor 12 tahun 2015 tentang Pembangunan HTI yang mengatur kewajiban pemulihan gambut yang rusak maupun alokasi kawasan fungsi lindung ekosistem gambut dalam tata ruang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Industri (UPHHK-HTI).
Menariknya berbagai pendapat cenderung menilai resolusi Uni Eropa hanyalah manuver dan kecemasan karena produk kelapa sawit dan turunannya justru dikhawatirkan mengancam produk Uni Eropa di pasar global.
Stakeholder dan pelaku industri kelapa sawit khususnya di Kabupaten Mempawah bergeming. Mereka konsisten akan tetap fokus mengembangkan industri kelapa sawit dengan optimisme. Apalagi Indonesia telah berkomitmen kepada dunia dan berkontribusi menekan dampak pemanasan global.
Mencermati regulasi Permen LHK Nomor 17 tahun 2017, secara positif diantaranya menilai sebagai bentuk koreksi pemerintah terhadap komitmen dan konsistensi tata kelola ekosistem gambut pada areal HTI. Regulasi itu juga menekankan pentingnya komitmen pelestarian industri kehutanan di areal konsesi.
Persoalan karhutla pada areal perkebunan gambut sepanjang dua dekade terakhir tak hanya merusak lingkungan hingga berdampak hilangnya vegetasi lahan gambut. Dampaknya terhadap kelangsungan hidup manusia justru ke berbagi aspek kehidupan, khususnya terdampak pada kesehatan dan ekonomi.
Disisi lain, pemegang IUPHHK-HTI berkeluh kesah terdampak atas Permen LHK Nomor 17 tahun 2017 tersebut. Jika sebelumnya mendapat areal konsesi di lahan gambut yang masih diperkenankan berproduksi, kini potensi kehilangan garapan di areal konsesi justru dikhawatirkan pengusaha sebagai pemegang izin.
Regulasi Permen LHK dikhawatirkan menggerus produktifitas kelangsungan industri, perampingan unit kerja hingga berdampak pengurangan tenaga kerja. Meluas pula terhadap pengurangan potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan devisa negara.
Dilema HTI kelapa sawit terhadap regulasi baru Permen LHK pun menarik diulas. Pemerintah Daerah dan lintas kementerian terkait seyogianya dapat merumuskan produk hukum yang komprehensif dan solutif. Kepastian hukum tersebut dinilai penting dalam rangka menata iklim investasi sektor perkebunan yang tepat hingga berkontribusi terhadap pendapatan daerah dan negara yang lebih kondusif dan berkelanjutan.
Solusi alternatif, produktif dan optimisme
Industri kelapa sawit di Kalbar sebenarnya telah menghadapi era global dan pasar bebas. Perjalanannya bahkan sudah berada diparuh jalan menopang visi MP3EI 2025 dengan capaian "Lumbung Energi Nasional".
Optimalisasi pemanfaatan komoditas kelapa sawit dan turunannya baik secara kualitas maupun kuantitas sebagai nilai tambah jadi tantangan yang harus dijawab industri kelapa sawit. Sebagai bentuk tanggung jawab sosial tanpa mengabaikan masyarakat maupun lingkungan, khususnya di Kalbar.
Peningkatan kapasitas SDM dan teknologi diperlukan dalam mendorong produktivitas yang berdaya saing. Terus berkembang di era global yang kompetitif.
Sinergis menjadi kata kunci mendongkrak sektor hulu dan hilir itu. Hingga mampu berinovasi mengoptimalkan pengolahan turunan kelapa sawit menjadi nilai tambah yang signifikan dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Sebagaimana telah dilakukan negara maju dalam mengolah dan mengembangkan turunan kelapa sawit sebagai produk yang memberi nilai tambah itu. Tak hanya mengolah CPO dan Palm Oil, melainkan mampu berinovasi menghasilkan energi terbarukan seperti biosel, mengolah cangkang sawit menjadi briket sekaligus berkemampuan meminimalisasi dampak limbah mengolah tankos menjadi pupuk dan sebagainya.
Sudah sepantasnya Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Perguruan Tinggi terkait pemanfaatan Teknologi Tepat Guna terlibat aktif. Jika sinergitas itu ditopang dengan daya dukung yang mumpuni, niscaya stakeholder, Badan Penjamin Perkebunan Daerah (BPPD) bersama industri yang didukung Penanaman Modal Asing (PMN) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang bermintan dan berkemampuan mengembangkan pola intensifikasi industri sawit Kalbar lebih produktif.
Dalam konteks menopang ketahanan pangan dan energi, keberadaan dan pertumbuhan industri kelapa sawit di Kalbar dinilai sudah berada pada koridor yang tepat, utamanya dalam menopang struktur ekonomi nasional maupun global. Sinergitas yang berkelanjutan merupakan sabuk pengaman yang dapat mengamankan kedaulatan ketahanan pangan dan energi nasional itu.
Sejalan dengan capaian Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) tahun 2011-2025 dimana pertumbuhan tahunan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional ditargetkan mencapai 12,7 persen.
Pertumbuhan PDB tersebut antara lain diasumsikan terjadi pertumbuhan wilayah di dalam koridor sebesar 12,9 persen. Dan pertumbuhan wilayah di luar koridor yang diasumsikan mengalami peningkatan sebesar 12,1 persen sebagai hasil dari adanya efek berganda pengembangan kawasan koridor ekonomi Indonesia. Semoga.