Pontianak (Antaranews Kalbar) - Kementerian Pertanian dan pemerintah provinsi di Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat menggandeng lebih dari 16.000 petani kecil untuk membantu mereka beradaptasi dengan perubahan iklim menggunakan teknik khusus yang disebut Pertanian Konservasi.
Pendekatan baru ini membantu para petani untuk menghadapi perubahan cuaca ekstrem, sambil meningkatkan produksi dan memperbaiki tanah mereka.
Kemudian, dengan dukungan dari FAO dan USAID, hampir 800 kelompok tani di 28 kabupaten di NTT dan NTB memperkuat pemahaman dasar petani untuk melaksanakan Pertanian Konservasi (PK).
Pada Kamis (7/2), dilaksanakan lokakarya di Kupang Nusa Tenggara Timur untuk menandai secara resmi berakhirnya proyek.
Dalam rilis yang diterima dari FAO, disebutkan bahwa lokakarya ini adalah salah satu even utama disamping kunjungan lapangan ke lokasi pengembangan PK di Desa Camplong yang dihadiri oleh perwakilan utama pemerintah nasional dan daerah, LSM, FAO dan USAID.
"Dengan Pertanian Konservasi, penggunaan air dihemat, tanah dilestarikan, dan penggunaan pupuk semakin efektif. Sistem ini akan berkelanjutan guna melindungi tanah, air, dan lingkungan," ungkap Gubernur NTT, Victor Laiskodat di Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Di antara petani termiskin di Indonesia, petani kecil yang terlibat dalam pertanian konservasi meningkatkan produktifitas jagung mereka menjadi lebih dari 4-5 ton dengan menggunakan pertanian konservasi selama puncak kekeringan ketika El Nino pada 2015 dan 2016, sementara itu dengan metode tradisional hanya memberi 2,5 ton atau bahkan kurang.
Selain produksi jagung yang lebih tinggi, banyak petani juga menanam berbagai jenis kacang dan tanaman lain untuk meningkatkan kesuburan tanah dan menyediakan makanan bergizi bagi keluarga mereka.
Setelah empat tahun menerapkan teknik-teknik baru, petani juga telah menunjukkan bahwa kualitas tanah mereka meningkat lebih subur, dengan kandungan karbon dan nitrogen tanah yang jauh lebih tinggi.
"Teknik pertanian konservasi amat bermanfaat terutama diterapkan di lahan kering-iklim kering. Teknik pertanian ini memungkinkan untuk mengkonservasi air di daerah perakaran. Hal ini membuat tanah mampu menyimpan air di saat musim hujan dan tetap menyimpannya saat musim kemarau. Hal ini membuat petani di daerah kering mampu panen sampai dua kali dalam setahun," ungkap Deddy Nursyamsi, Koordinator Nasional Projek Pertanian Konservasi/ Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP).
Deddy mengungkapkan dengan intensitas panen yang semakin meningkat, tenaga kerja juga semakin banyak untuk terserap dalam pertanian, petani perempuan dan pemuda tani banyak terlibat dalam pengembangan teknik ini.
"Pada akhirnya teknik ini mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani," ujar dia.
Pada awal 2018, setelah apa yang telah dicapai di NTT dan NTB, praktik pertanian konservasi ini berhasil diperkenalkan kepada petani di tiga provinsi yang juga mempunyai lahan kering dan iklim kering yaitu Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Gorontalo.
Anang Noegroho Direktur pertanian Bapenas mengatakan pertanian konservasi yang diimplementasikan bersama FAO merupakan model iptek pertanian berkelanjutan yang diharapkan dapat meningkatkan produktivitas lahan kering ditengah perubahan iklim yang semakin serius
"Bapenas mengharapkan pola teknik pertanian konservasi ini dapat menjadi salah satu model yang dapat direplikasi di lokasi lainnya dalam mendukung ketahanan pangan lokal," ujar Anang.
Awalnya, kelompok tani belajar melalui Sekolah Lapangan Pertanian Konservasi, sebuah teknik belajar bagi petani yang dikembangkan di Indonesia lebih dari 20 tahun yang lalu dan sekarang diadopsi di seluruh dunia. Petani berkolaborasi untuk mengamati secara langsung praktik kombinasi teknik pertanian konservasi di lahan mereka sendiri sebagai tempat belajar dengan mengamati mencatat dan mendiskusikan apa yang terjadi selama uji coba, dengan difasilitasi oleh penyuluh pertanian.
"Teknik-teknik pertanian konservasi memungkinkan para petani untuk meninggalkan praktik-praktik pertanian konvensional yang dapat menyebabkan turunnya kesuburan lahan dan hilangnya sebagian besar panen mereka menghadapi perubahan iklim, dan juga memperkenalkan tingkat mekanisasi yang cocok guna mendapatkan hasil yang lebih tinggi. Kami berharap teknik ini akan lebih diperluas di Indonesia untuk mengembangkan pertanian dan petani yang lebih tangguh dan membawa kesejahteraan bagi para petani," kata Perwakilan FAO di Indonesia Stephen Rudgard pada acara penutupan di Kupang.
Kementan gandeng 16 ribu petani NTT - NTB untuk adaptasi perubahan iklim
Sabtu, 9 Februari 2019 12:08 WIB