Beijing (ANTARA) - Awal tahun 2020 dibuka dengan "geger" diplomatik antara Indonesia dan China gara-gara isu Natuna mengemuka lagi.
Mungkin sudah yang kedua kalinya Presiden Joko Widodo harus turun tangan langsung ke Natuna untuk menghadapi keangkuhan China itu.
Dan sepertinya hampir setiap periode pemerintahan negara yang mengklaim dirinya berkuasa di Laut China Selatan itu "menggoda" Indonesia di Natuna.
Berbagai spekulasi pun berkembang setelah kapal Badan Keamanan Laut (Coast Guard) China bermanuver di perairan sekitar Natuna dengan dalih mengawal kapal-kapal pencari ikan mereka menjelang berakhirnya tahun 2019.
Apalagi insiden tersebut berselang beberapa hari setelah Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mengadakan serangkaian pertemuan bilateral dengan Menteri Pertahanan Nasional China Jenderal Wei Fenghe dilanjut dengan Wakil Ketua Komisi Militer Pusat China Jenderal Xu Qiliang di Beijing pada 15-18 Desember 2019.
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sudah beberapa kali mengunggah status di akun media sosialnya mengenai masuknya kapal-kapal ikan China di perairan sekitar Natuna.
Sayangnya, peringatan Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) Tjiptadi dengan nomor lambung 381 tidak digubris karena kapal Coast Guard China menganggap bahwa itu wilayahnya.
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi pun memanggil Duta Besar China untuk Indonesia Xiao Qiang untuk menyampaikan nota protes karena China secara terang-terangan melanggar Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia sebagaimana tertuang dalam Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982.
Protes dari Jakarta itu bertepuk sebelah tangan karena lagi-lagi Beijing mengabaikannya.
"Saya perlu tekankan bahwa posisi China sesuai dengan aturan hukum internasional, termasuk UNCLOS. Apakah Indonesia menerima atau tidak, tidak akan mengubah kenyataan objektif bahwa China punya hak dan berkepentingan di wilayah perairan itu," tegas juru bicara Kementerian Luar Negeri China (MOFA) Geng Shuang pada press briefing rutin di Beijing, Kamis (2/1) lalu.
Amarah
Tidak jelas, siapa dan dari media mana yang melontarkan pertanyaan itu pada hari pertama press briefing rutin tahun 2020 tersebut? Yang jelas, jawaban diplomat kelahiran Beijing pada 1973 yang mulai berkarier di MOFA pada 1995 memantik kemarahan dari publik di Indonesia.
Bahkan tidak sedikit media sosial di Indonesia merisaknya dengan menggambarkannya sebagai diplomat yang pongah dan angkuh.
Tanggapan Geng juga dianggap makin memperkeruh situasi dan kontraproduktif di tengah upaya-upaya yang telah dilakukan oleh kedua negara dalam meningkatkan hubungan diplomatik.
Apalagi Indonesia bukan negara yang terlibat dalam sengketa (claimant state) di Laut China Selatan dan justru lebih aktif dalam mendorong terciptanya stabilitas di kawasan sehingga tanggapan sang jubir itu menjadi tidak tepat dilontarkan.
Isu Natuna terus bergulir di Lanting (Ruang Biru) yang biasa digunakan untuk press briefing rutin MOFA di Beijing, meskipun media di China tidak banyak yang memberitakannya.
Namun semuanya berubah pada Selasa (7/1) sore tatkala ANTARA mengajukan tiga pertanyaan yang sebenarnya sangat standar dari sudut pandang mana pun.
Walau begitu kesadaran Geng seakan tergugah dalam menjawab tiga pertanyaan yang diajukan dalam bahasa Inggris. Bagaimana persiapan acara peringatan 70 tahun hubungan diplomatik China-Indonesia? Apakah pemimpin China dan Indonesia akan bertemu di China atau di Indonesia? Akankah insiden baru-baru ini di perairan Kepulauan Natuna memengaruhi persiapan perayaan ulang tahun ke-70 hubungan diplomatik China-Indonesia?
Dalam pertanyaan tersebut, ANTARA sengaja mendahulukan subjek China daripada Indonesia demi menjaga kepatutan diplomasi di negeri orang.
Alhasil, Geng menjawab semua pertanyaan tersebut dengan lancar menggunakan bahasa Mandarin. Bahkan saat menjawab pertanyaan ketiga, pria yang saat ini menjabat Deputi Direktor Jenderal Departemen Informasi MOFA tersebut dengan nada kalem dan ramah. Berbeda dengan situasi pada tanggal 2 Januari 2019.
"Anda tadi menyebutkan beberapa perkembangan terkini di laut. Yang dapat saya katakan bahwa China dan Indonesia telah berkomunikasi tentang hal ini melalui saluran diplomatik," ujarnya sambil tersenyum.
Ia mengakui adanya perbedaan perspektif antara kedua negara dalam melihat permasalahan yang sedang menyita perhatian publik di Indonesia itu. "Namun perbedaan itu sifatnya parsial dan tidak esensial," ujarnya menambahkan.
Justru menurut dia, sebagai sama-sama negara di pesisir Laut China Selatan, China dan Indonesia memikul tanggung jawab bersama yang besar dalam memelihara perdamaian dan stabilitas di kawasan.
"Kami selalu memandang hubungan China-Indonesia dari perspektif strategis dan jangka panjang karena kami percaya bahwa Indonesia juga akan fokus pada hubungan bilateral dan stabilitas regional secara menyeluruh, mampu menyelesaikan perbedaan dengan China, dan menciptakan suasana yang kondusif dan menguntungkan kedua negara dalam menyambut perayaan ulang tahun ke-70 hubungan diplomatik ini," katanya menambahkan.
Beberapa hari sebelumnya, Dubes RI untuk China Djauhari Oratmangun juga dua kali mendatangi MOFA untuk mengikhtiarkan permasalahan tersebut mereda.
Isu peringatan hubungan diplomatik Indonesia-China cukup menyadarkan kedua negara bahwa 70 tahun merupakan waktu yang relatif panjang dalam suatu jalinan kemitraan yang pernah mengalami dinamika putus-sambung.
"Saya tahu kemarin wajah saya viral di Indonesia," tutur Geng saat menjabat tangan ANTARA beberapa saat setelah turun dari podium di ruang yang bisa menampung sekitar 600 orang itu.
Beberapa awak media asing juga menyampaikan apresiasi atas hangatnya suasana press briefing pada sore itu.
"Pertanyaannya bagus, jawabannya pun bagus," kata Mohamad Asghar dari Kantor Berita Pakistan APP sambil menyalami Geng dan ANTARA.
Di balik melunaknya China di Natuna
Minggu, 12 Januari 2020 5:58 WIB