Jakarta (ANTARA) - Para ilmuwan di Houston, AS menemukan bahwa virus corona (SAR-CoV2) telah bermutasi terus menerus seiring perjalanan penularannya yang luas, dan itu mungkin yang membuat virus tersebut menjadi lebih menular sekarang ini.
Dalam studi yang dirilis, Rabu (23/9), para ilmuwan memaparkan 5.000 urutan genetik virus corona yang mengungkapkan akumulasi mutasi virus yang terus-menerus, salah satunya mungkin yang membuatnya menjadi semakin mudah menular.
Namun, laporan baru tidak menemukan bahwa mutasi ini membuat virus lebih mematikan atau mengubah hasil klinis. Semua virus mengakumulasi mutasi genetik, dan kebanyakan tidak signifikan, kata para ilmuwan seperti dilaporkan Washington Post, dikutip Sabtu.
Coronavirus seperti SARS-CoV-2 relatif stabil seiring penyebaran virus, karena memiliki mekanisme mengoreksi diri saat bereplikasi. Tetapi, setiap mutasi adalah “lemparan dadu” (banyak kemungkinan), dan dengan penularan yang begitu luas di Amerika Serikat—yang terus melihat puluhan ribu infeksi baru yang dikonfirmasi setiap hari—virus telah memiliki banyak peluang untuk berubah, berpotensi dengan konsekuensi yang merepotkan, kata studi tersebut.
Studi baru, yang belum ditinjau sejawat, telah diunggah di MedRxiv. Tampaknya ini menjadi agregasi tunggal terbesar dari urutan genetik virus di Amerika Serikat sejauh ini.
Sekumpulan urutan yang lebih besar diterbitkan awal bulan ini oleh para ilmuwan di Inggris, dan, seperti studi Houston, menyimpulkan bahwa mutasi yang mengubah struktur “spike protein” di permukaan virus mungkin mendorong penyebaran yang terlalu besar.
David Morens, ahli virologi di Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular (NIAID), meninjau studi baru dan mengatakan temuan menunjukkan kemungkinan kuat bahwa virus, karena telah berpindah melalui populasi, menjadi lebih mudah menular, dan ini “mungkin memiliki implikasi pada kemampuan kami untuk mengontrolnya.”
Morens mencatat bahwa ini adalah studi tunggal, dan "Anda tidak ingin menafsirkan secara berlebihan apa artinya ini". Tetapi virus, katanya, berpotensi merespons—melalui mutasi acak—terhadap intervensi seperti pemakaian masker dan jarak sosial.
“Mengenakan masker, mencuci tangan, semua itu adalah penghalang penularan, tetapi karena virus menjadi lebih menular, secara statistik lebih baik untuk meningkatkan hambatan itu,” kata Morens, penasihat senior Anthony S. Fauci, direktur NIAID.
Ini berimplikasi pada formulasi vaksin, kata Morens. Ketika orang memperoleh kekebalan, baik melalui infeksi atau vaksin, virus dapat berada di bawah tekanan selektif untuk menghindari respons kekebalan manusia.
"Meskipun kita belum tahu, masih ada kemungkinan bahwa virus corona ini, ketika kekebalan tingkat populasi kita cukup tinggi, virus corona ini akan menemukan cara untuk menghindari kekebalan kita," kata Morens.
“Jika itu terjadi, kita akan berada dalam situasi yang sama seperti flu. Kami harus mengejar virus dan, saat virus bermutasi, kami harus mengutak-atik vaksin kami. "
Peter Thielen, ahli biologi molekuler di Laboratorium Fisika Terapan Universitas Johns Hopkins, mengatakan para ilmuwan perlu terus mempelajari virus untuk melihat apakah mutasi baru yang diidentifikasi oleh peneliti Houston mengubah "kebugaran" virus, “dan apakah penularan SARS-CoV -2 benar-benar meningkat sebagai hasil dari mutasi ini."
Di Houston pada peneliti mengelompokkan pola penyebaran virus corona, di mana mereka menemukan pola penyebaran yang berbeda dari ketika awal virus menjangkiti warga kota hingga sekarang ini. Gelombang pertama, virus hanya menjangkiti orang kalangan atas (kaya) dan lebih tua, sedangkan gelombang kedua mulai banyak menjangkiti orang muda dan yang berpenghasilan rendah.
Penyebaran cepat COVID-19 diduga karena virus bermutasi
Sabtu, 26 September 2020 9:38 WIB