Kashgar, Xinjiang (ANTARA) - Sinar mentari di Kashgar luar biasa cerah, sehangat suhu udara pagi khas musim semi di wilayah selatan Daerah Otonomi Xinjiang.
Suasana di terminal kedatangan bandar udara, jalan raya, dan pusat keramaian lainnya pada tanggal 19 April 2021 terlihat lebih dinamis ketimbang kunjungan pertama ANTARA pada tanggal 4 Januari 2019 di kota yang disebut-sebut pernah menjadi sarang kelompok radikal itu.
Perbedaan mencolok lainnya adalah pemandangan dari bandar udara. Dua tahun lalu bisa langsung terlihat alam perbukitan batu yang seakan membentengi wilayah terluar China itu dengan Uzbekistan, Tajikistan, Afghanistan, dan Pakistan. Sekarang sudah banyak bangunan bertingkat, termasuk juga kegiatan komando militer.
Polisi berseragam juga tidak lagi tampak siaga di mana-mana seperti dua tahun lalu saat awal-awal munculnya perhatian dunia atas isu penahanan beberapa warga etnis minoritas Muslim Uighur di beberapa kamp "konsentrasi" untuk menjalani pendidikan kembali di bidang hukum dan bahasa nasional sekaligus keterampilan guna menambah kecakapan hidup atau life skill.
Kesan saling curiga dalam relasi antarmasyarakat setempat saat daerah yang banyak dihuni etnis Uighur itu dilanda serangkaian terorisme pada rentang 1992-2014 itu juga sudah mulai sirna.
Boleh dibilang Kashgar telah berubah total. Kemiskinan dan keterbelakangan seperti dikesankan seorang warga Pakistan yang pernah berkunjung ke Kashgar pada 1992 sudah berubah total.
"Dulu saya datang ke sini naik bus dari Islamabad. Dua hari lamanya karena medannya cukup berat. Sesampainya di sini, saya melihat hampir semua orang bawa senjata tajam, ada yang di saku atau diselipkan di celana. Masyarakatnya benar-benar miskin," ujar pria asal Ibu Kota Pakistan saat ditemui dalam kunjungan ketiganya ke Kashgar itu.
Secara geografis Kashgar memang sangat dekat dengan Pakistan. Naik pesawat cuma 40 menit. Padahal ke Urumqi, Ibu Kota Xinjiang, bisa 2,5 jam. Dari Beijing ke Kashgar malah 6 jam, hampir sama lama penerbangannya dengan Beijing-Jakarta.
Zona waktunya sama dengan Beijing karena memang China yang luas wilayahnya hampir 10 juta kilometer persegi itu punya satu zona waktu. Irisan waktunya sama dengan Waktu Indonesia Bagian Tengah (Wita).
Maka tidak heran, kalau pukul 21.00 di Kashgar langit masih sangat cerah. Bahkan pukul 20.16, Masjid Idkah masih menggelar shalat jamaah Ashar.
Puasa akan terasa lama sekali kalau sahurnya di Beijing pada 19 April 2021 yang waktu Imsaknya pukul 03.56, sedangkan buka puasanya di Kashgar dengan waktu Magrib pukul 21.48 seperti yang dialami ANTARA dan rekan wartawati asal Tunisia.
"Ini sejarah dalam hidup saya. Selama Ramadhan, baru kali ini saya berpuasa hampir 20 jam," kata Iman Toumi yang bekerja pada China-Arab TV itu terlihat kegerahan di tengah teriknya matahari yang membakar wilyah Kota Tua.
Walau begitu, gadis berusia 28 tahun tersebut tidak akan menyerah. Tetap berpuasa di tengah menjalankan tugas liputan yang sangat padat selama lebih dari sepekan di Xinjiang.
Kashgar dan kota-kota lain di Xinjiang atau bahkan di China sekalipun suasananya tidak ada yang berbeda, antara bulan puasa dan bukan. Meskipun menjadi rumah besar bagi etnis Uighur, tidak semua warga Kashgar memeluk agama Islam. Apalagi di kota itu ada etnis Han yang secara mayoritas di China tidak beragama dan belakangan juga diikuti oleh etnis Uighur.
Warung-warung dan lapak-lapak penjual makanan di Kashgar buka seperti biasa pada siang hari. Masyarakat lokal yang beretnis Uighur pun tidak sungkan-sungkan makan dan minum di luaran.
Para pedagang makanan di Kota Tua sebagai salah satu tujuan utama wisata Kashgar itu juga buka dan mengolah makanan seperti biasa sepanjang hari.
Di sebelah utara gerbang masjid yang dibangun pada tahun 1648 Masehi atau era Dinasti Ming itu masyarakat setempat terlihat makan, minum, dan merokok saat hari masih sangat cerah di bulan Ramadhan.
Masih di sekitar Masjid Idkah, terdapat bangunan bernama Gucheng Meishi Guangchang, semacam pusat jajanan serba ada khas Kashgar. Jenis makanan yang dijual sama dengan di pasar tradisional Kota Lama.
Bedanya, pujasera itu di dalam gedung. Namun situasinya tetap sama, orang bebas makan dan minum kapan saja tanpa harus menunggu Magrib tiba.
Jamaah Bubar
Suasana di dalam Masjid Idkah juga biasa-biasa saja. Tidak ada persiapan yang sangat berarti menjelang azan Magrib. Bahkan, usai shalat jamaah Ashar, orang bubar sendiri-sendiri, kecuali Mehmet Jumah, salah satu imam, yang bertahan karena sedang melayani wawancara para pemburu berita dari berbagai negara.
"Tidak ada paksaan, mau puasa atau tidak. Pemerintah di sini menjamin kebebasan orang beragama atau tidak," kata putra Jumah Thayer, imam Masjid Idkah, yang meninggal akibat tikaman orang tak dikenal seusai memimpin shalat Subuh pada 30 Juli 2014 itu.
Ia mengakui bahwa jamaah di masjid yang sangat bersejarah itu secara kuantitas berkurang dalam beberapa tahun terakhir. Jika beberapa tahun yang lalu, jumlah jamaah di masjid bisa dipadati sekitar 5.000 orang setiap shalat Jumat. Sama halnya dengan jumlah jamaah pada shalat Idul Fitri dan Idul Adha di masjid yang menjadi ikon Kota Wisata Kashgar itu.
"Namun sekarang tinggal 800 hingga 900 orang," ujar pria yang juga pernah diwawancarai di masjid itu pada tanggal 4 Januari 2019.
Maka tidak heran, kalau jamaah shalat Ashar pada Senin (19/4) sore itu sedikit sekali untuk ukuran bangunan masjid yang berdiri di atas lahan seluas 1,68 hektare tersebut.
Masjid berdinding warna kuning kecokelatan tersebut tetap menggelar shalat jamaah lima waktu dengan protokol ketat.
Pintu gerbang masjid itu baru dibuka pada jam-jam shalat lima waktu sejak pandemi COVID-19. Sama seperti masjid-masjid lain di China, termasuk di Beijing, yang hanya dibuka untuk umum pada jam-jam shalat lima waktu sesuai yang tertera di jawal shalat yang dipasang di beranda gapura atas dalih pengendalian wabah pneumonia tersebut.
Jangan harap dibukakan pintu masjid, meskipun hanya terlambat beberapa menit dari jadwal shalat lima waktu, seperti yang dialami ANTARA di Masjid Huashi Beijing dan Masjid Idkah Kashgar. Padahal kedatangan ke Masjid Idkah untuk kepentingan liputan bersama awak media asing lain dengan didampingi staf Kementerian Luar Negeri China, Pemerintah Daerah Otonomi Xinjiang, dan pimpinan Partai Komunis lokal tentunya.
Saat itu ANTARA memisahkan diri sebentar dari rombongan karena harus memotret suasana dan aktivitas masyarakat di luar masjid pada sore hari ketika jarum jam sudah menunjuk angka 8 malam itu.
Setelah menerima penjelasan singkat, barulah sekelompok orang dari etnis Uighur yang tadinya duduk-duduk di depan toko sebelah utara gerbang Masjid Idkah mengizinkan ANTARA untuk memasuki kembali areal masjid.
Beberapa pengunjung yang sepertinya wisatawan dicegah oleh orang-orang tersebut saat berusaha mengikuti jejak ANTARA. Mereka hanya diperkenankan memotret di halaman luar pintu gerbang masjid yang sangat ikonik bagi Kota Kashgar.
Pada sore hari, halaman masjid dipadati warga dan wisatawan. Berbagai jenis permainan dan hiburan, termasuk unta tunggangan yang bisa disewa pengunjung untuk berkeliling di sekitar halaman luar masjid.
Saat dikonfirmasi mengenai penutupan masjidnya, Jumah membantahnya dengan mengatakan bahwa penutupan kegiatan ibadah hanya terjadi saat Revolusi Budaya pada 1970-an dan awal-awal COVID-19 melanda.
"Siapa pun boleh shalat di sini, kecuali pegawai negeri sipil dan pengurus partai (Partai Komunis China) yang memang menurut peraturan tidak diizinkan," kata Jumah yang juga pimpinan Asosiasi Islam Kashgar itu. (Bersambung)
Berpuasa Ramadhan di Xinjiang, larangan atau pilihan? (Bagian 1)
Minggu, 25 April 2021 8:40 WIB