Jakarta (ANTARA) - Sejak Hamas menyerang Israel pada 7 Oktober 2023, pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menganggap Iran berada di baliknya, padahal Iran menandaskan tak tahu dan apa lagi merancang serangan tersebut.
Akan tetapi, kehadiran perwira-perwira militer Iran di Suriah dan Lebanon yang keduanya berbatasan dengan Israel, membuat Israel memiliki petunjuk bahwa Iran bermain api dengan mereka.
Israel mungkin memiliki bukti kuat bahwa perwira-perwira militer Iran itu mentor untuk kelompok-kelompok anti-Israel di Lebanon, khususnya Hizbullah, dan di Palestina, khususnya Hamas.
Keyakinan itulah membuat Israel merasa sah membunuhi perwira-perwira militer Iran itu. Akan tetapi, negara Yahudi itu memang sudah terbiasa mengeksekusi tokoh-tokoh Iran yang dianggap membahayakan keamanan nasionalnya.
Seiring dengan kian sulitnya melumpuhkan Hamas dan kian sengitnya serangan Hizbullah dari Lebanon selatan, Israel menjadi kian sering mengeksekusi tokoh-tokoh militer Iran itu yang diyakini sebagai organisator gerakan Hamas, Hizbullah, Houthi, dan milisi-milisi Syiah lain di Timur Tengah.
Uniknya, Iran kesulitan mencari alasan untuk menyerang balik Israel, sampai pada 1 April 2024 ketika Israel melanggar garis merah yang dibentangkan Iran.
Tanggal itu Israel merudal kompleks Kedutaan Besar Iran di Damaskus, Suriah. Tujuh orang tewas akibat serangan itu, termasuk Panglima Korps Pengawal Revolusi Islam Iran di Suriah Brigadir Jenderal Mohammad Reza Zahedi.
Iran kali ini tak mau cuma menggertak karena kompleks diplomatik adalah bagian dari kedaulatan sebuah negara sehingga setiap serangan terhadap kompleks ini sama halnya dengan menyerang negara itu.
Pasal 51 Piagam PBB sendiri menyatakan setiap negara berhak membela diri dari serangan luar. Dan, pasal ini pula yang dipakai Iran untuk penguat bagi aksinya menembakkan sekitar 300 rudal dan drone ke Israel pada 14 April.
Setelah lama hanya bisa mengancam membalas ketika panglima-panglimanya dibunuhi Israel dan lama menduga Israel berada di balik berbagai sabotase serta terorisme di dalam negeri Iran, pemerintahan Presiden Ebrahim Raisi menyimpulkan Israel tak boleh dibiarkan terus mengusik tanpa ada balasan.
Dalam pandangan Iran, serangan Israel di Suriah dan serangan teroris di dalam negeri Iran beberapa waktu lalu, adalah berkaitan satu sama lain.
"Iran beranggapan tak membalas serangan-serangan itu hanya menjadi pintu masuk untuk serangan-serangan berikutnya, baik dari Israel maupun dari negara lain," kata Shireen Hunter, pakar hubungan internasional dari Universitas Georgetown di AS, kepada The New Arab pada 15 April.
Tak ingin kelihatan lemah
Premis itu pula yang membuat Iran masuk wilayah Pakistan beberapa bulan sebelum serangan pada 14 April ke Israel, untuk menghantam basis teroris di Pakistan.
Iran ingin memberi pesan untuk tak akan berdiam diri dan pesan ini pula yang termuat dalam serangan rudal dan drone pada 14 April. Iran ingin memberi pesan bahwa Israel tak akan dibiarkan terus mengeksekusi warganya tanpa ada balasan.
Lain dari itu, menyerang Israel adalah unjuk kekuatan yang jika tak dilakukan, akan membuat Israel dan musuh-musuh Iran di dunia Arab serta kawasan lainnya, bahkan rakyat Iran sendiri, melihat pemerintah Iran lemah.
Walaupun serangan pada 14 April itu berhasil dipatahkan Israel, bahkan sebagian besar hancur sebelum mencapai teritori Israel, serangan itu menjadi pelajaran berharga bagi Israel bahwa konflik dengan Iran sudah bukan lagi konflik tidak langsung, melainkan konflik dan perang terbuka.
Sejumlah pejabat pemerintahan AS, sebagaimana laporan New York Times pada 17 April 2024, menilai Israel salah perhitungan karena selama ini menganggap Iran tak akan berani membalas, apalagi menyerang wilayahnya langsung dari Iran yang satu sama lain berjarak 1.700 km.
Iran sendiri mengaku tak berniat menghancurkan Israel dan hanya membidik instalasi-instalasi militer Israel. Iran juga menyatakan tak menginginkan perang terbuka baik dengan Israel maupun AS.
Meminjam laporan New York Times, pada malam setelah Israel menyerang kedubes Iran di Damaskus, Kementerian Luar Negeri Iran memanggil Duta Besar Swiss di Teheran untuk menegaskan pendapat mereka bahwa AS dan Israel bertanggung jawab dalam serangan 1 April di Damaskus.
Swiss adalah salah satu saluran yang digunakan Iran untuk berhubungan dengan AS, karena mereka tak memiliki hubungan diplomatik. AS sendiri, melalui Oman dan Swiss, menegaskan tak terlibat dalam serangan Damaskus dan menandaskan tak mau berperang dengan Iran.
Sejak itu, pemerintah Iran aktif membuka saluran komunikasi tidak langsung dengan AS, termasuk niat balas menyerang Israel.
Seraya menyatakan serangan Israel pada 1 April itu melanggar kedaulatan Iran sehingga harus dibalas, Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amir Abdollahian berkata kepada sejumlah pejabat Arab, Eropa, dan PBB bahwa Iran akan membalas serangan Israel tapi dilakukan secara terbatas karena tak mau memicu perang kawasan.
Faktanya, serangan rudal dan drone yang dilancarkan Iran ke Israel itu memang tidak menimbulkan kerusakan fatal, bahkan berhasil dicegat oleh sekutu-sekutu Israel, termasuk Yordania.
Mungkin tak akan terjadi
Kini dunia cemas menantikan apakah Israel akan membalas serangan Iran itu. Dunia makin cemas karena Iran juga bersumpah akan menyerang lagi Israel dengan lebih dahsyat dan tanpa peringatan, jika diserang balik oleh Israel.
Bahkan Jenderal Ahmad Haghtalab dari Korps Pengawal Revolusi Iran mengancam menyerang situs-situs nuklir Israel dan menyatakan Iran akan mengaktifkan lagi proyek senjata nuklirnya.
Dan jika perang terbuka itu pecah, maka tak hanya Israel dan Iran yang menghadapi kehancuran karena seluruh Timur Tengah dan bahkan dunia bakal terkena getahnya.
Proksi-proksi Iran dipastikan aktif di seantero Timur Tengah, tak hanya menyerang Israel, tapi juga kepentingan sekutu-sekutu Israel, terutama AS, di kawasan itu.
Itulah yang ditakutkan AS, terlebih negara ini tengah menghadapi pemilu di mana para pemilih di sana sangat sensitif terhadap keselamatan jiwa tentaranya di luar negeri. Ini ditambah oleh kecenderungan pasifis atau anti-perang pada bagian besar rakyat AS.
Menghadapi kenyataan ini, Presiden AS Joe Biden lalu menegaskan kepada PM Netanyahu bahwa AS tak akan merestui perang dengan Iran. Sikap sama pasifis dirangkul negara-negara Arab yang sudah lelah oleh konflik dan perang.
Negara-negara Teluk, termasuk Arab Saudi dan Yordania yang wilayahnya berada di antara Israel dan Iran, bahkan kali ini pasti tak membolehkan wilayah udaranya digunakan Israel untuk menyerang Iran.
Namun, bahaya terbesar perang Israel-Iran adalah terganggunya perekonomian dunia yang sensitif terhadap pergerakan harga minyak, apalagi Iran bisa memblokade atau mengganggu jalur minyak global, khususnya Selat Hormuz.
Pada 2022, melalui Selat Hormuz ini berlayar kapal-kapal tanker yang mengangkut 21 juta barel minyak per hari yang setara dengan 21 persen tingkat konsumsi minyak dunia dan 30 persen pasokan minyak dunia.
Bayangkan saja, dampak embargo minyak Rusia yang menguasai 14 persen pasokan minyak akibat invasi di Ukraina saja sudah begitu dahsyat terhadap perekonomian global, apalagi jika kawasan yang menguasai 30 persen pasokan minyak dunia diganggu perang.
Bahkan kalaupun Iran tak mengganggu jalur energi global itu, sentimen buruk terhadap harga minyak global pasti sangat besar. Resultante paling dahsyatnya adalah naiknya suku bunga dan inflasi yang bisa memicu krisis multidimensi, termasuk krisis energi yang efeknya bisa ke mana-mana.
Oleh karena itu, perang Iran-Israel mungkin tak akan terjadi, walau permusuhan di antara kedua negara makin sulit dipadamkan.
Drama berbalas serang Israel-Iran, skenario konflik berikutnya
Oleh Jafar M Sidik Jumat, 19 April 2024 8:52 WIB