Jakarta (ANTARA) - Indonesia merupakan negara yang sangat kaya raya, khususnya dalam sektor energi baru terbarukan (EBT). Bayangkan saja pada sumber daya air, negeri ini dilimpahi danau, sungai, dan laut yang luas. Selalu diterangi sinar mentari dan dilintasi angin sepanjang waktu.
Potensi EBT yang sangat besar tersebut merupakan salah satu kunci dalam mencapai Visi Indonesia Emas 2045, yakni pembangunan ekonomi berkelanjutan melalui pemanfaatan EBT sebagai sumber energi nasional.
Oleh karena itu, transisi energi diperlukan untuk mendukung tercapainya pembangunan berkelanjutan. Transisi energi merupakan salah satu upaya untuk mencapai keberlanjutan, ketahanan, dan kemandirian energi melalui peralihan dari sistem produksi dan konsumsi energi berbasis fosil ke sumber energi baru dan energi terbarukan. Salah satu upaya dalam mendukung transisi energi tersebut adalah pemanfaatan energi hidrogen.
Salah satu EBT yang berpotensi menjadi energi kunci dalam visi tersebut adalah hidrogen. Hidrogen dapat diproduksi melalui bermacam cara dan teknologi. Hidrogen bukanlah pembawa energi primer sehingga perlu diproduksi dari sumber-sumber utama yang ramah lingkungan seperti air, angin, Matahari, dan sumber energi lainnya.
Hidrogen juga kini dipertimbangkan oleh sebagian besar negara untuk mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2040--2070. Faktor yang mendorong perkembangan hidrogen rendah karbon di dunia adalah biaya listrik dari EBT yang sudah semakin bersaing, teknologi hidrogen yang sudah siap untuk ditingkatkan, dan fleksibilitas teknis.
Indonesia sendiri memiliki potensi hidrogen sangat besar karena dilimpahi sumber-sumber utama ramah lingkungan. Selain itu, sebagai negara kepulauan Indonesia memiliki peluang untuk mendorong ekonomi hidrogen karena dilewati beberapa jalur pelayaran penting di dunia, Selat Malaka, Laut Jawa, dan Selat Makassar.
Sayangnya potensi pemanfaatan hidrogen sendiri di Indonesia belum optimal. Sebagian besar hidrogen yang kini digunakan di Indonesia berasal dari gas Bumi dan dimanfaatkan di sektor industri, terutama sebagai bahan baku pupuk. Konsumsi hidrogen di Indonesia saat ini sekitar 1,75 juta ton per tahun, didominasi dengan pemanfaatan untuk urea (88 persen), amonia (4 persen), dan kilang minyak (2 persen).
Padahal berdasarkan pemodelan NZE dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), permintaan hidrogen rendah karbon secara nasional dari berbagai sektor diproyeksikan akan tumbuh pada tahun 2031-- 2060, termasuk kebutuhan hidrogen rendah karbon tumbuh dari sekitar 0,2 PJ (setara dengan 26.000 barel minyak) pada tahun 2031, naik menjadi 34,3 PJ di 2040, dan memuncak hingga mencapai 609 PJ pada tahun 2060.
Guna mewujudkan pemanfaatan hidrogen sebagai EBT, Pemerintah kemudian menerbitkan Strategi Hidrogen Nasional. Strategi ini memiliki tiga pilar, yakni Indonesia akan mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil untuk menjamin kedaulatan dan ketahanan energi. Kedua, Indonesia akan mengejar target dekarbonisasi dengan mengembangkan pasar hidrogen domestik. Dan ketiga, Indonesia akan mengekspor hidrogen dan turunannya ke pasar global dengan memanfaatkan keunikan sebagai negara maritim.
Dalam mewujudkan strategi untuk mematangkan dan mewujudkan pemanfaatan hidrogen sebagai EBT, tentu diperlukan katalis. Ibu Kota Nusantara (IKN) yang saat ini dalam proses pembangunan hingga 2045 dapat menjadi katalis bagi Strategi Hidrogen Nasional. Lalu bagaimana dan seberapa besar peluang IKN dalam menjadi katalis untuk pilar Strategi Hidrogen Nasional?
Strategi Tiga Kota
Pembangunan IKN yang dilakukan oleh Pemerintah bersama sektor swasta domestik dan internasional bertujuan untuk mencapai Visi Indonesia Emas 2045. IKN sendiri dibangun sebagai kota hutan cerdas (smart forest city).
Selain itu, IKN juga ditetapkan sebagai kota pertama di Indonesia yang mencapai target NZE. Target tersebut harus dicapai oleh Nusantara pada tahun 2045 atau 15 tahun lebih cepat dari target NZE nasional di tahun 2060.
Hal ini tentunya menjadikan energi ramah lingkungan atau EBT menjadi sumber energi primer (utama) dan satu-satunya yang digunakan di IKN. Terkait hal ini, strategi infrastruktur energi IKN mengutamakan hidrogen sebagai gas ramah lingkungan bagi aktivitas masyarakat Nusantara.
Tahapan awal untuk mewujudkan hal tersebut adalah pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (solar farm) sebesar 50 MW. PLTS ini dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk menjalankan elektrolisis di mana metode ini merupakan proses untuk memproduksi hidrogen hijau dari salah satu sumber listrik yakni PLTS yang berteknologi EBT.
Produksi hidrogen melalui metode tersebut memungkinkan IKN memiliki pasokan gas hidrogen bagi kebutuhan domestik masyarakat perkotaan tersebut. Gas hidrogen nantinya disalurkan melalui jaringan gas secara mandiri melalui infrastruktur multi-utility tunnel (MUT).
MUT merupakan infrastruktur yang dibangun di bawah jalan utama dan dibagi menjadi tiga kompartemen dan setiap kompartemennya dapat menampung berbagai jaringan utilitas, termasuk jaringan gas kota. Setiap bagian kompartemen MUT memiliki tinggi sekitar 2,2 meter dan dapat dimasuki oleh dua orang dewasa, memungkinkan para teknisi dapat melakukan pengecekan, penambahan, dan perbaikan jaringan pipa gas tanpa harus melakukan penggalian secara konvensional.
Pembangunan MUT di IKN menjadi infrastruktur kunci dalam meminimalisasi salah satu tantangan terkait upaya transisi menuju pemanfaatan hidrogen yakni masalah perpipaan. Kehadiran MUT memungkinkan gas-gas hidrogen dapat langsung disalurkan kepada masyarakat, dunia usaha, dan industri tanpa harus merombak jaringan perpipaan secara konvensional dan keseluruhan yang membutuhkan biaya mahal.
Melalui pembangunan PLTS dan infrastruktur MUT, IKN dapat dikatakan berhasil menjadi katalis untuk mewujudkan dua dari tiga pilar Strategi Hidrogen Nasional, yakni mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil dan memenuhi kebutuhan pasar domestik yang dalam hal ini bagi masyarakat serta dunia usaha di IKN.
Kemudian bagaimana IKN dapat menjadi katalis dengan pilar ketiga dari Strategi Hidrogen Nasional yakni membantu mengekspor hidrogen secara internasional? Hal ini dapat dijawab melalui Strategi Tiga Kota IKN.
Strategi Tiga Kota IKN merupakan upaya untuk mewujudkan konsep Tiga Kota yang kokoh, IKN, Balikpapan, dan Samarinda. Strategi ini akan membentuk segitiga pembangunan ekonomi yang saling melengkapi. IKN menjadi hub dari berbagai inovasi perekonomian dan energi hijau, sedangkan Samarinda berperan sebagai distributor utama sektor energi yang baru, rendah karbon, dan berkelanjutan melalui jalur darat, sedangkan Balikpapan sebagai hub untuk pasar ekspor energi level regional dan global melalui jalur laut.
Melalui peranan masing-masing kota tersebut maka Provinsi Kalimantan Timur ditargetkan menjadi superhub ekonomi baru sekaligus mewujudkan provinsi tersebut sebagai eksportir hidrogen hijau perdana di Indonesia. IKN sebagai hub menjadi pusat pemanfaatan utama gas hidrogen, Samarinda dapat menjadi distributor utama hidrogen ke Sarawak dan Sabah Malaysia, serta Brunei Darussalam. Adapun Balikpapan menjadi hub ekspor hidrogen ke negara-negara ASEAN lainnya seperti Singapura, Filipina, dan Vietnam.
Melihat berbagai peran tersebut, IKN dengan berbagai perencanaan dan strateginya, dipastikan sebagai salah satu katalis kunci untuk mewujudkan Strategi Hidrogen Nasional guna mencapai target NZE dan Indonesia Emas 2045.
Editor: Achmad Zaenal M
IKN sebagai katalis kunci wujudkan Strategi Hidrogen Nasional
Minggu, 5 Mei 2024 13:29 WIB