Jakarta (ANTARA) - Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla atau JK saat bersaksi dalam sidang kasus korupsi mantan Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina Karen Agustiawan mengatakan, Pertamina tidak perlu menunggu perintah untuk melaksanakan kebijakan energi.
Perintah dimaksud, kata dia, yakni yang berasal dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
"Pertamina itu dalam hal urusannya bisa langsung melakukan," kata JK dalam sidang pemeriksaan saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.
Kesaksian JK tersebut seiring dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Karen yang tidak meminta tanggapan tertulis kepada Dewan Komisaris Pertamina dan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sebelum penandatanganan perjanjian jual beli gas alam cair atau Liquefied Natural Gas (LNG) dengan perusahaan Amerika Serikat, Corpus Christi Liquefaction LLC (CCL) Train 1 dan Train 2.
JK menuturkan kebijakan tersebut dilakukan Pertamina berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Perpres itu, menurutnya, telah disusun oleh berbagai tim, yang antara lain meliputi Kementerian ESDM.
"Jadi ini sudah keputusan bersama," katanya menambahkan.
Dari aturan tersebut, lanjut dia, Pertamina yang kemudian mengatur kebijakan turunannya secara teknis serta melaksanakannya.
"Persoalan LNG mau beli di mana, tidak diatur oleh instansi lain. Hanya oleh Pertamina sebagai lembaga atau organisasi bisnis yang berhak untuk itu," ucap JK menegaskan.
Sebelumnya, Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan didakwa merugikan negara sebesar 113,84 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau setara dengan Rp1,77 triliun akibat dugaan korupsi pengadaan LNG di Pertamina pada 2011-2014.
Mantan Dirut PT Pertamina itu didakwa memperkaya diri sebesar Rp1,09 miliar dan sebanyak 104.016 dolar AS atau setara dengan Rp1,62 miliar, serta memperkaya suatu korporasi, yaitu perusahaan AS, Corpus Christi Liquefaction LLC (CCL) senilai 113,84 juta dolar AS atau setara dengan Rp1,77 triliun, yang mengakibatkan kerugian keuangan negara.
Selain itu, Karen turut didakwa memberikan persetujuan pengembangan bisnis gas pada beberapa kilang LNG potensial di AS tanpa adanya pedoman pengadaan yang jelas dan hanya memberikan izin prinsip tanpa didukung dasar justifikasi, analisis secara teknis dan ekonomis, serta analisis risiko.
Karen juga disebut tidak meminta tanggapan tertulis kepada Dewan Komisaris Pertamina dan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sebelum penandatanganan perjanjian jual beli LNG CCL Train 1 dan Train 2, serta memberikan kuasa kepada Yenni Andayani selaku Senior Vice President (SVP) Gas and Power Pertamina 2013-2014 dan Hari Karyuliarto selaku Direktur Gas Pertamina 2012-2014.
Keduanya diberi kuasa untuk masing-masing menandatangani LNG SPA (Sales and Purchase Agreement) CCL Train 1 dan Train 2, meski belum seluruh Direksi Pertamina menandatangani Risalah Rapat Direksi (RRD) untuk LNG SPA CCL Train 1 dan tanpa didukung persetujuan direksi untuk LNG SPA CCL Train 2.
Untuk itu, Karen didakwa melakukan perbuatan yang diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.