Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi VII Bidang Energi DPR RI Mulyanto menilai skema power wheeling yang masuk dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) dapat mengurangi peran PLN dan bahkan berpotensi meliberalisasi sektor kelistrikan nasional.
"Skema power wheeling akan mengurangi peran PLN, meliberalisasi sektor kelistrikan, dan dikhawatirkan berdampak pada harga listrik," kata Mulyanto di Jakarta, Kamis.
Power wheeling merupakan mekanisme transfer energi listrik dari pembangkit swasta ke fasilitas operasi milik negara/PLN dengan memanfaatkan jaringan transmisi/distribusi PLN.
Mulyanto mengatakan RUU EBET merupakan inisiatif DPR. Hanya saja saat pembahasan di DPR ada sejumlah usulan dari pemerintah untuk dimasukkan dalam pembahasan RUU EBET, salah satunya pasal tentang power wheeling.
"Selama pembahasan lebih dari satu tahun, RUU EBET, yang belum selesai pasal tentang power wheeling tersebut," ujar Mulyanto dalam diskusi bertajuk "Menyoal Penerapan Skema Power Wheeling dalam RUU EBET".
Sementara itu, Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development Indef Abra Talattov mengatakan usulan skema power wheeling sebagai pemanis atau sweetener dalam menstimulasi investasi pembangkit EBT tidak memiliki urgensi sama sekali.
"Tanpa adanya gula-gula pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik, pemerintah sebetulnya sudah menggelar karpet merah bagi swasta untuk memperluas bauran EBT sebagaimana yang dijaminkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik
(RUPTL) 2021-2030," katanya.
Ia menjelaskan dalam RUPLT itu, target tambahan pembangkit EBT mencapai 20,9 gigawatt (GW) dengan porsi swasta mencapai 56,3 persen atau setara dengan 11,8 GW.
Artinya, dengan menjalankan RUPTL 2021-2030 secara konsisten saja, secara
alamiah bauran pembangkit EBT hingga akhir 2030 akan mencapai 51,6 persen.
Ide penerapan skema power wheeling, menurut Abra, menjadi tidak relevan mengingat saat ini beban negara yang semakin berat menahan kompensasi listrik akibat kondisi oversupply listrik yang terus melonjak.
Saat ini, kondisi sektor ketenagalistrikan terjadi disparitas yang lebar antara supply dan demand listrik, yang mana diproyeksikan oversupply listrik pada 2022 menyentuh 6-7 GW.
"Situasi oversupply listrik tersebut berpotensi makin membengkak karena masih adanya penambahan pembangkit baru hingga 16,3 GW pada 2026 sebagai implikasi dari megaproyek 35 GW," rincinya.
Menurut Abra, risiko tambahan beban APBN juga dapat muncul karena adanya potensi tambahan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik sebagai konsekuensi masuknya pembangkit listrik dari skema power wheeling yang bersumber dari energi terbarukan yang bersifat intermiten.