Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Serikat Pekerja (SP) PT PLN (Persero) Abrar Ali menyatakan, pembahasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) termasuk di dalamnya soal skema power wheeling, sebaiknya menunggu pemerintahan baru terbentuk akhir Oktober mendatang.
Permintaan tersebut, kata Abrar Ali, dikarenakan hingga kini masih bergulir penolakan terhadap RUU tersebut dari para stakeholder khususnya tentang skema power wheeling (pemanfaatan bersama jaringan listrik PLN oleh swasta).
"Ini mengindikasikan RUU tersebut masih menyimpan sejumlah potensi masalah yang dikhawatirkan dapat merugikan masyarakat dan negara, sehingga sebaiknya dilanjutkan pada periode rezim berikutnya," kata Abrar dalam keterangan, di Jakarta, Kamis.
Lebih lanjut, Abrar menilai kekhawatiran yang muncul terhadap kemungkinan ketidakmampuan PLN menyediakan energi listrik apabila terjadi demand yang tinggi, terkesan sangat didramatisasi.
“Terlalu didramatisasi soal lonjakan demand tersebut. Buktinya, hingga saat ini kita masih eksis melayani kebutuhan listrik masyarakat dan dunia industri. Soal nanti ada lonjakan demand, PLN akan mengantisipasi dengan pertumbuhan jumlah pembangkit baru,” kata Abrar.
Menurut dia, soal power wheeling dalam RUU EBET pun harus membutuhkan kajian lebih lanjut, mengingat masih ada penolakan termasuk dari anggota DPR sendiri.
“Kan masih ada penolakan, antara lain dari Anggota Komisi VII DPR Mulyanto yang menyatakan power wheeling tidak sekadar mengatur soal sewa jaringan transmisi PLN oleh swasta. Ada implikasi yang krusial, PLN tidak lagi menjadi satu-satunya lembaga dalam sistem single buyer and single seller (SBSS), tapi membentuk multi buyer and multi seller system (MBMS)," ujar Abrar mengutip sikap Anggota Komisi VII DPR Mulyanto.
Selain itu, kata Abrar lagi, pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi juga mengingatkan skema power wheeling berpotensi menambah beban APBN dan merugikan negara. Alasannya, power wheeling akan menggerus permintaan pelanggan organik PLN hingga 30 persen dan pelanggan nonorganik hingga 50 persen.
Penurunan ini tidak hanya memperbesar kelebihan pasokan PLN, tapi juga menaikkan harga pokok penyediaan (HPP) listrik. Dampaknya dapat membengkakkan APBN untuk membayar kompensasi kepada PLN, sebagai akibat tarif listrik PLN di bawah HPP dan harga keekonomian.
Oleh karena itu, Abrar menegaskan pembahasan RUU EBET hendaknya dilanjutkan pada masa presiden terpilih periode 2024-2029 mendatang.
“Jadi kita masih ada waktu untuk melakukan pembahasannya, sehingga tidak ada yang dirugikan. Jangan hanya ingin memaksakan harus selesai sebelum periode presiden sekarang yang akan berakhir pada Oktober mendatang. Kasihan rakyat dan akan menjadi beban negara nantinya,” ujar Abrar pula.
Pembahasan RUU EBET sebaiknya tunggu pemerintahan baru
Kamis, 11 Juli 2024 15:34 WIB