Jakarta (ANTARA) - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa hilirisasi Indonesia di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mampu memproduksi 78 ton emas.
Bahlil dalam kegiatan REPNAS National Conference & Awarding Night di Jakarta, Senin mengatakan bahwa hal itu bisa tercapai setelah Presiden Joko Widodo berhasil meminta PT Freeport agar membangun smelter berskala besar yang mampu memisahkan emas dari konsentrat tembaga.
"Dari presiden pertama sampai presiden terakhir ini, Pak Jokowi yang bisa meminta setengah maksa Freeport membangun smelter yang berskala besar dan sampai produknya bisa memisahkan emas dengan konsentrat tembaga, itu di zamannya Pak Jokowi. Ini sejarah," kata Bahlil.
Bahlil mengungkapkan bahwa ketika dirinya masih di Papua, sering terjadi aksi demonstrasi terkait operasional Freeport Indonesia karena diduga yang dihasilkan bukan hanya konsentrat tembaga.
"Dulu waktu saya masih di Papua selalu kita demo Freeport, ini jangan-jangan dia mengeluarkan konsentrat tidak hanya tembaga yang lain-lain, kenapa? Karena kita nggak punya smelter," ujarnya.
Dia mengungkapkan bahwa kala itu, smelter yang ada kerja sama Freeport dengan Jepang, turunannya hanya bisa menghasilkan tembaga. Sedangkan anoda dan emas belum bisa diproses.
Bahlil menjelaskan, pada tahun 2021, ketika dirinya masih menjabat sebagai Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) bersama Menteri ESDM meminta PT Freeport agar membuat smelter dengan total investasi 3 miliar dolar AS.
"Totalnya 3 miliar dolar AS investasinya, dan sekarang (smelternya) sudah diresmikan dan itu adalah pabrik terbesar di dunia dengan sistem single line," terang Bahlil.
Menurutnya, pencapaian tersebut belum pernah terjadi sejak era presiden pertama Republik Indonesia. Di era Jokowi, Indonesia memiliki dua smelter yang dapat mendukung hilirisasi yakni smelter milik Freeport Indonesia di Gresik dan smelter Amman Mineral di Sumbawa Barat.
Pasalnya sebelum ada smelter di dalam negeri, produk tembaga dengan kadar kemurnian 99 persen masih harus dikirim ke luar negeri, seperti Filipina dan Thailand, sehingga Indonesia tidak bisa mendeteksi berapa banyak emas yang terkandung dalam konsentrat tersebut.
Namun, dengan adanya smelter milik Freeport Indonesia di Gresik, Bahlil menyebut dari 3 juta ton konsentrat tembaga yang diolah, dihasilkan sekitar 60 ton emas dan 900 ribu anoda tembaga, beserta produk turunannya.
Sementara itu, di smelter Amman Mineral di Sumbawa Barat, dari 900 ribu ton konsentrat mampu menghasilkan 220 ribu ton tembaga dan 18 ton emas.
"Jadi, dari dua industri ini kita sudah mempunyai 78 ton emas per tahun. Kalau tidak ada hilirisasi bagaimana kita bisa tahu barang ini," kata Bahlil.
Bahlil menegaskan bahwa jika investor ingin berkontribusi membangun Indonesia, hal tersebut sangat diperbolehkan. Pemerintah membuka peluang kolaborasi dengan pihak yang memiliki teknologi, kapital, dan pasar.
Namun, pemerintah tidak lagi menggunakan pendekatan lama dan kini lebih fokus pada kerja sama yang saling menguntungkan. Indonesia menyediakan bahan baku, sementara investor membawa teknologi dan membangun industri di dalam negeri.
Dengan regulasi yang baik, kolaborasi ini diharapkan dapat menciptakan kawasan pertumbuhan ekonomi baru. Pemerintah ingin memastikan investasi membawa manfaat besar bagi ekonomi lokal dan memperkuat pembangunan nasional.
"Ke depan insya Allah cara-cara lama nggak akan kita pakai lagi, kita ingin you, ente punya teknologi, ente punya kapital, ente punya pasar, kami punya bahan baku. Jadi kalau mau kita kolaborasi bawa teknologimu di sini, bangun industri di sini, regulasnya kita buat yang baik. Supaya apa? Ada penciptaan kawasan pertumbuhan ekonomi yang baru," kata Bahlil.